search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
AKBP Dewa Wijaya Ungkap Kekuasaan Bisnis Di Balik Privatisasi Sempadan Pantai
Minggu, 27 Desember 2020, 07:50 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

AKBP I Dewa Nyoman Agung Dharma Wijaya berhasil meraih gelar doktor setelah dinyatakan lulus dengan status Cum Laude dalam ujian Terbuka secara virtual Disertasi Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram pada 23 Desember 2020.

Perwira polisi asal Desa Bongancina, Buleleng ini mengambil disertasi Penegakan Hukum Sempadan Pantai bagi Ruang Publik (Studi di Senggigi-Lombok dan Moyo Sumbawa).

Pria kelahiran Singaraja 18 Desember 1974 ini, secara umum menyebutkan dalam studi bahwa hukum mengatur sempadan pantai sebagai ruang publik, tidak boleh diprivatisasi. Kenyataannya, korporasi pariwisata memperlakukan kawasan sempadan pantai seolah-olah sebagai bagian dari properti mereka.

Dijelaskannya, pelanggaran tata ruang kawasan sempadan pantai kelihatannya masalah biasa dan remeh-temeh, tetapi jika direfleksikan, merupakan laboratorium istimewa untuk melihat kesenjangan antara hukum yang tertulis dalam kitab peraturan perundang-undangan (law as it is written in the books) dengan bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan (law in action). 

Dewa Nyoman Agung Dharma Wijaya yang baru terpilih sebagai Ketua Persudaraan Shorinji Kempo Indonesia (Perkemi) provinsi Banten periode 2020-2024 ini mengatakan bahwa penelitian ini menarik karena mengungkap ketidakberdayaan hukum mengatur sempadan pantai sebagai ruang publik.

"Tidak hanya melihat bagaimana efektivitas hukum tata ruang, melainkan juga menyingkap patologi hukum yang menyebabkan hukum tidak bekerja efektif, serta kekuatan-kekuatan apa yang mengesampingkan hukum," tandasnya.

Adapun temuan dan kesimpulan disertasinya adalah wibawa struktur dan kekuatan hukum produk perencanaan tata ruang, begitu rapuh di hadapan kepentingan korporasi. 

Setelah mengetahui komponen yang tidak terlihat atau invisible component sebagai lokus dan penyebab tidak efektifnya hukum adalah kekuasaan bisnis.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, menurutnya perlu perubahan paradigma secara transformatif. Perubahan itu harus mendasar hingga pada aspek  filosofis (nilai dan cara pandang) yang mendasari paradigma hukum tata ruang. 

Jika sebelumnya, perencanaan tata ruang merupakan kewenangan sepenuhnya negara (State based), maka setelah Negara tidak bekerja efektif karena tersandera oleh korporasi, perlu perubahan paradigma menjadi state—community based yang partisipatoris-responsif. 

Kedua, sempadan pantai yang sebelumnya dipahami sebagai public space (ruang publik yang pasif/objek/benda mati) menjadi public sphere (yang didalamnya subjek yang aktif bersuara) sehingga ruang publik tidak hanya dalam artian fisik yang pasif melainkan juga ditambahkan opini dan kontrol publik atas tata ruang. 

Jika tata ruang menjadi “public sphere”,  maka setiap korporasi yang mempengaruhi dan mendikte struktur -- setidak-tidaknya menjadi “visible”,  karena publik dan media telah memosisikan sebagai kontrol sosial sehingga perencanaan tata ruang seperti “rumah kaca” yang transparan. 

Apabila dikonkritkan dalam bentuk akuntabilitas tata ruang misalnya, pemerintah daerah membuat Rencana Detil Tata Ruang  yang melibatkan partisipasi publik. 

Penegakan Tata Ruang pun dievaluasi secara transparan dengan mengakomodasi kritik dan masukan dari publik misalnya melalui kotak pengaduan digital yang bisa diakses oleh semua warga.

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami