search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Warisi Beras Catur, Petani Desa Bukian Pantang Jual Lahan
Senin, 11 Juli 2022, 14:07 WITA Follow
image

beritabali/ist/Warisi Beras Catur, Petani Desa Bukian Pantang Jual Lahan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, GIANYAR.

Desa Bukian, Payangan memiliki bentangan pertanian 339 hektar. Masyarakat mempertahankan pertanian karena mewarisi komoditas unggulan berupa padi beras catur yang biasa digunakan sarana upacara.

Perbekel Desa Bukian, I Made Junarta menyatakan dari luas pertanian 339 hektar terdiri dari 251 hektar sawah produktif. 

“Sawah kami pertahankan. Tidak membangun di lahan sawah untuk komersial, baik dalam bentuk hotel, restoran, vila tidak boleh. Biar penduduk lokal, kalau dikomersilkan tidak boleh,” tegasnya.

Namun, apabila ada warga yang mendirikan bangunan untuk tempat tinggal boleh. 

“Misalnya di rumahnya penuh, lalu ada cecatu, warisan keluarga, dia bangun rumah ditinggali boleh, kami tidak bisa larang,” jelasnya. 

Dikatakan, ketentuan itu hasil sinergi seluruh subak di Bukian terdiri dari 8 subak. 

“Desa kami mempunyai sejarah Tua mengenai Pertanian yang diakui,” ujarnya.

Dalam sejarahnya, di Desa Bukian terdapat komoditas unggulan berupa beras catur. 

“Beras itu semacam jatu Yadnya. Kalau ada membuat upacara besar di seluruh Bali. Sekarang keberadaan tempat beras itu di Puri Payangan. Namun lahan semuanya ada di Bukian,” ujarnya.

Terdiri dari empat beras. Pertama, beras Telaga Waja, kedua beras Jaring Sutra, ketiga beras Kasur Sari dan beras Bianglala. 

“Itu kekuatan pertanian di Bukian. Kami lestarikan, kami berdosa jika dialihfungsikan,” ujarnya.

Sementara itu, sejarah lebih jauh menyatakan jika cikal bakal Payangan ada di Bukian. Karena dikenal dengan hulu sebelum ada kerajaan Payangan ada Padukuhan. Sejak dulu, lahan dan jenis beras catur sudah dibuat. 

“Menurut penelitian arkeolog, tulisan di batu, jaman penataan air sudah ada. Penataan subak sudah dibahas sejak lama,” ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan, beras catur maksudnya adalah posisi beras ditanam sesuai kelompok. 

“Berasnya sama saja. Tempatnya disakralkan. Ada petak Telaga Waja, ada puranya. Dalam upacara, beras ini jadi komando. Kalau kena hama mohon disana, nunas Ica. Dalam penelitian arkeolog memang dianggap lengkap. Ada peninggalan arca,” ujarnya.

Tantangan kepala desa adalah mengedukasi masyarakat untuk menyadari pelestarian itu. 

“Kalau dijual, bagaimana kehidupan ke depan. Selama ini kami bertumpu pada pertanian,” ujarnya.

Meski melestarikan alam pertanian, pihaknya mengambil celah memasukkan pariwisata melalui pembangunan joging track atau jalan setapak sepanjang sawah. 

“Jalan itu lewat pertanian. Kami pernah buat jogging berkuda, tapi covid. Lalu tata Taman Megenda. Konsepnya adalah alam,” jelasnya.

Mengenai peran desa adat sangat mendukung untuk pelestarian. 

“Hampir semua adat punya benda bersejarah. Misalnya pura. Dan sejarah tiap Banjar nyambung sejarahnya. Ada batu per wilayah,” ungkapnya.

Saat ini juga sudah ada aturan terbaru terkait pelestarian pertanian. 

“Mudah-mudahan perbekel berikutnya, generasi berikutnya untuk melihat struktur sejarah Bukian, kekuatan ada disana, beliau menuntun. Mohon restu dari beliau. Makanya mari melestarikan,” tutupnya. 

Editor: Robby

Reporter: bbn/gnr



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami