Rencana Mata Uang Baru Rusia, China, Brasil, Dampak Ekonominya Dikhawatirkan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Rencana pembentukan mata uang baru oleh Aliansi negara BRICS Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan dikhawatirkan akan berdampak mengerikan pada ekonomi masing-masing negara itu.
Seperti diketahui, BRICS berencana menciptakan alat pembayaran baru. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar dan euro.
Melansir India Times, Wakil Ketua Duma Negara Rusia Babakov menjelaskan, BRICS akan menggunakan mata uang baru dengan komoditas lain, seperti emas dan logam tanah jarang (LTJ).
Perkembangan upaya menciptakan mata uang baru tersebut, rencananya akan dipresentasikan pada KTT BRICS di Afrika Selatan pada Agustus 2023.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, secara teknologi sangat mudah untuk melakukan pengurangan dolar AS. Apalagi dengan transaksi digital seperti sekarang, misalnya dengan menggunakan QR code.
"Seperti di Thailand, Malaysia, kita bisa melakukan aplikasi yang bisa kita download dari internet. Sebenarnya LCT (Local Currency Transaction) semakin mudah kita lakukan, dan untuk settlement ekspor-impor juga sejauh ini sudah banyak aplikasi yang kita gunakan," jelas David kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (13/4/2023).
Kendati demikian, kata David, wacana BRICS untuk membuat mata uang sendiri, akan menjadi lubang hitam untuk negara-negaranya sendiri.
Hal tersebut disampaikan David dengan berkaca pengalaman serupa juga pernah terjadi di Eropa yang tergabung dalam aliansi PIIGS (Portugal, Italia, Irlandia, Greece/Yunani, dan Spanyol) pada 2015 silam.
Saat itu, kata David negara-negara Eropa memutuskan untuk menggunakan mata uang euro, namun saat itu lima negara itu kebijakan fiskalnya tidak bisa sekuat negara anggota Eropa lainnya.
Secara teoritis, melakukan penyatuan mata uang itu, konsekuensinya selain melakukan penyatuan atau integrasi kebijakan moneter, mereka juga harus melakukan integrasi kebijakan fiskal.
"Pengalaman buruk di Eropa, menyebabkan krisis di 2015 dan ada negara PIIGS - Portugal, Irlandia, Italia, Spanyol, Greece waktu itu mengalami masalah," jelas David.
Dengan penyatuan mata uang, suku bunga jadi seragam. Di sisi lain kebijakan fiskal dari masing-masing negara berbeda. Jadi, ada negara-negara yang cenderung mungkin berlebihan dalam belanja pemerintahan, yang akhirnya memicu krisis di Eropa.
Selama krisis keuangan AS pada 2008, zona euro terdiri dari 16 negara anggota yang mengadopsi penggunaan mata uang tunggal, euro.
Sebagian besar negara didorong oleh kebijakan moneter yang sangat akomodatif, negara-negara ini memiliki akses ke modal dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Tak pelak lagi, hal ini menyebabkan beberapa ekonomi yang lebih lemah meminjam secara agresif.
Seringkali pada tingkat yang tidak dapat mereka harapkan, dan pada akhirnya kesulitan untuk membayar kembali saat terjadi guncangan keuangan.
Krisis keuangan 2008 adalah guncangan negatif yang menyebabkan kinerja ekonomi yang buruk, yang membuat mereka tidak mampu membayar kembali pinjaman yang telah mereka peroleh. Selain itu, akses ke sumber tambahan modal juga mengering.
"Artinya mereka melakukan penyatuan mata uang dan suku bunga yang mirip, namun kebijakan fiskalnya tidak sama. Ini yang akan memicu hal yang sama. Kan kita tahu di BRICS juga beragam," tutur David.
"Ada negara yang sudah relatif maju, seperti di China, tapi di satu sisi ada negara lain seperti Afrika Selatan dan India yang mungkin secara ekonomi belum semaju China," kata David lagi.
Aliansi negara PIIGS saat itu, akhirnya melemah ekonominya dan mengalami ketidakstabilan keuangan, padahal telah mendapatkan dana bantuan atau bailout sebesar 750 miliar euro untuk mendukung perekonomian PIIGS pada 2010.
Oleh karena itu, kata David, sebaiknya untuk BRICS atau negara lainnya yang ingin mengurangi ketergantungan akan dolar, bisa menggunakan instrumen transaksi mata uang lokal, biasa disebut sebagai local currency settlement (LCS) atau local currency transaction (LCT).
Sebab, jika pengurangan dolar AS dengan membentuk mata uang baru, masing-masing negara bukan hanya harus mensinergikan kebijakan moneter, tapi juga kebijakan fiskal.
"Ini akan sulit, karena masing-masing negara punya kepentingan, atau objektif politik yang berbeda-beda. Dan ini yang kita belajar betul yang terjadi di krisis di Eropa dan kesiapan kita untuk sinkronisasi aturan, legal, bukan hanya dari sisi moneter, tapi politiknya juga akhirnya," jelas David. (sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Robby
Reporter: bbn/net