search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Jejak Sejarah Keislaman Bali Dirunut dari Hubungan Diplomatik Majapahit
Minggu, 23 April 2023, 16:23 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/Jejak Sejarah Keislaman Bali Dirunut dari Hubungan Diplomatik Majapahit

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Jejak keislaman di Bali bisa setidaknya dirunut dari hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). 

Pada 1380-an, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya, sehingga ia mengundang negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan Gelgel di Bali sebagai negara taklukan pun turut diundang, yang diwakili oleh Dalem Ketut Ngalesir (1380- 1460). 

Kerajaan Gelgel adalah pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertua Dalem Ketut Ngalesir.

Setelah menghadiri pertemuan tersebut, perjalanan pulang raja pertama Kerajaan Gelgel tersebut diantar oleh 40 prajurit Majapahit yang beragama Islam. Prajurit Majapahit tersebut kemudian menetap dan membangun masyarakat sendiri di Gelgel, yang kemudian dikenal dengan Kampung Gelgel.

Informasi di atas diperkuat sumber lisan yang dikumpulkan dari cerita-cerita lisan komunitas muslim di Kampung Gelgel secara turun temurun. Seperti dicatat buku Bulan Sabit di Pulau Dewata, Jejak Kampung Islam Kusamba-Bali, tulisan I Gde Parimartha, Ida Bagus Gde Putra, dan Luh Pt.Kusuma Ririen, warga Islam yang pertama kali datang ke Gelgel (sebagai pusat pemerintahan di Bali sejak abad XIV) adalah rombongan pengiring raja sejumlah 40 orang dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Gelgel I, Ketut Ngalesir.

Sumber lain, dari Babad Dalem, menyebutkan yang berbeda. Bahwa pengislaman di Bali dilakukan oleh utusan dari Mekah ke kerajaan Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar abad ke-16. 

Hanya saja sumber itu tidak merinci lebih jauh, nama utusan dan kapan utusan tersebut datang menghadap raja. “Jika menilik sejarah, pada abad ke-15 dan ke-16 ada dua pusat kerajaan Islam di Jawa, yaitu Demak dan Mataram,” tulis historia.id.

Jika melihat bahwa Demak saat itu menjadi pusat penyebaran agama Islam, sehingga diberi julukan kota Mekah di kawasan Nusantara, Mekah yang dimaksud sumber tadi kemungkinan besar merujuk ke Kerajaan Demak di Jawa. 

Sedangkan Dalem Waturenggong merupakan penerus Dalem Ngalesir. Abad itu juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara. Sementara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya.

Kerajaan Majapahit sendiri runtuh setelah mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518. Kehancuran Majapahit ini dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Selain Kampung Gelgel, perkampungan muslim dapat dijumpai di seluruh pelosok kabupaten di Bali. Di Denpasar ada Kampung Kepaon, Kampung Serangan, dan Kampung Jawa. Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis. 

Di Kabupaten Jembrana ada Kampung Loloan dan Yeh Sumbul. Di Kabupaten Karangasem terdapat Kampung Ujung, Sidemen, Saren, dan Nyuling. Sedangkan di Kabupaten Buleleng kita menjumpai Kampung Pegayaman; dan di Kabupaten Gianyar terdapat Kampung Sindu Keramas.

Masing-masing kampung punya sejarah yang berbeda tentang asal-usul keislamannya. Namun ada pola umum terbentuknya kampung Islam di Bali. Yakni adanya ikatan historis antara kampung dengan kerajaan lokal (Puri) di Bali. 

Ikatan itu dibangun melalui kisah sejarah yang menyebutkan bahwa warga muslim di kampung-kampung tersebut berasal dari para prajurit Jawa, kawula asal Sasak (Lombok), atau etnis Bugis yang dilindungi dan diberi wilayah permukiman oleh para Raja Buleleng, Badung, dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.

Ambil misal Kampung Serangan di Kota Denpasar. Menurut cerita lisan, keberadaan Kampung Serangan berawal dari kedatangan seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu dan 40 anak buah kapalnya yang melarikan diri dari Makassar, Sulawesi Selatan, karena tidak sepaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya. 

Awalnya, kedatangan Syeikh Haji Mu di pulau Bali dicurigai oleh penguasa Puri Badung.

Karena dianggap mata-mata Belanda, Syekh Haji ditawan oleh Puri. Namun mereka berhasil meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pamecutan III, bahwa mereka bukanlah mata-mata Belanda. 

Akhirnya Syekh Haji Mu pun dibebaskan dan tinggal di Istana Puri Pamecutan untuk sementara. Baru kemudian mereka dipindahkan ke Kampung Celagi Gendong, sebelah barat kerajaan, agar tidak bercampur dengan warga.

Dalam perjalanan waktu, ternyata kerajaan terkesan dengan keahlian perantau Bugis ini dalam melaut sehingga mereka pun akhirnya direlokasi ke ke Pulau Serangan, yang saat itu masih hutan belantara. 

Sejak saat itu, Syeikh Haji Mu dan pengikutnya menetap Pulau Serangan. Hubungan antara perantau Bugis dengan Kerajaan Badung semakin berjalan erat. Bahkan kemudian Haji Mu meminta izin kepada Raja Pamecutan untuk membuatkan satu tempat ibadah kecil, atau mushola. Izin pun dikabulkan.

Sampai saat ini, mushola itu masih berdiri kokoh, meskipun sudah direnovasi dan berubah menjadi masjid yang dikenal dengan Masjid Asysyuhada. Ikatan historis antara Kampung Islam Bugis Pulau Serangan dengan Kerajaan Pamecutan Badung mengkristal menjadi persaudaraan Islam-Hindu hingga saat ini.

Pola serupa terjadi di kampung-kampung yang sudah disebut tadi. Kampung Islam umumnya berasal dari tanah catu, pemberian Puri (negara tradisional) bagi perantau dari Jawa, Lombok, maupun Bugis-Makassar. 

Para penguasa saat itu dengan sengaja menempatkan mereka dalam wilayah permukiman yang terpisah dengan warga Bali yang beragama Hindu. Wilayah baru itu umumnya hutan atau wilayah-wilayah pesisir dekat dengan pelabuhan. 

Dalam wilayah itu, warga muslim diberi kebebasan dan otonomi untuk beribadat dan memiliki pemerintahan sendiri yang bersifat self governing community.

Pola terbentuknya kampung Islam itu kemudian bermetamorfosis menjadi desa dinas. Ciri utama desa dinas adalah heterogenitas, tempat tinggal warga muslim berbaur dengan warga Bali yang beragama Hindu. Warga memperoleh perlindungan dan pelayanan administratif dari desa dinas. (Diolah dari Berbagai Sumber)


 

Editor: Juniar

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami