Cerita Saksi Mata Letusan Gunung Agung Tahun 1963 (3)
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BANGLI.
Daerah-daerah yang terdampak langsung dari letusan Gunung Agung waktu itu adalah daerah Karangasem, Klungkung, Singaraja, Bangli, Gianyar, Badung (masih jadi satu dengan Denpasar), Tabanan, dan Jembrana.
Daerah yang paling parah terkena dampaknya adalah Karangasem dimana sebagian besar wilayahnya yang ada di seputar lereng gunung tertimbun dengan lahar panas. Namun demikian selama letusan terjadi yang berlangsung selama berbulan-bulan juga menimbulkan dampak di wilayah hilir. Aliran lahar yang panas ini merusak fasilitas perkantoran, jalan, dan jembatan serta rumah-rumah penduduk.
Banyak sekali wilayah-wilayah permukiman yang tertimbun dengan bahan-bahan atau material vulkanik. Begitu juga halnya yang terjadi di wilayah Klungkung. Wilayah aliran Tukad Unda yang menjadi daerah aliran lahar panas tertimbun seperti halnya yang terjadi dengan Sungai Unda yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Bali menjadi dangkal permukaannya. Badan sungai menjadi melebar karena timbunan material vulkanik.
Banyak desa wilayahnya tertimbun lahar dan begitu juga ladang masyarakat yang tertimbun lahar. Seingat saya aliran lahar di sepanjang Tukad atau sungai Unda menimbun dasar sungai sehingga menjadi sangat dangkal dibandingkan sebelumnya. Aliran lahar juga menghantam jembatan gantung terpanjang di Bali yang merupakan peninggalan jaman Belanda terputus sehingga menghambat arus lalu lintas dari Karangasem dan Lombok menuju Denpasar dan Bali bagian barat.
Begitu juga hamparan sawah ladang dan pemukiman yang ada di wilayah Sampalan, Gunaksa dan Galiran Kabupaten Klungkung yang menghampar di sebelah selatan jalan raya antara Desa sampalan dan Kusamba tertimbun material vulkanik yang dibawa oleh derasnya aliran lahar panas dari letusan Gunung Agung.
Kalau dahulu sebelum Gunung Agung meletus saya masih ingat ketika diajak pulang kampung ibu saya di Tampuagan Karangasem, ketika melintas di jalan antara Desa Sampalan dan dan Kusamba adalah jalur yang paling saya senangi. Karena sepanjang jalan itu pemandangannya sangat menawan hati.
Hamparan sawah yang ada di sebelah selatan jalan dengan permukaannya kurang lebih 3 meter di bawah permukaan jalan raya dan menghampar luas sampai seolah-olah menyentuh bibir pantai menjadikan pemandangan bak lukisan alam yang menakjubkan. Dimana ada perpaduan pemandangan sawah yang membentang luas dengan birunya air laut nan jauh di ujung selatan.
Apa yang terjadi saat saat Gunung Agung meletus adalah suatu keadaan alam yang sangat jauh berbeda dimana pemandangan alam yang indah itu telah berubah menjadi timbunan material vulkanik yang pada prosesnya dulu membuat banyak sekali masyarakat menderita. Namun pada era tahun 1980 an wilayah-wilayah yang terdampak seperti sampalan, Gunaksa dan Galiran disebut oleh masyarakat sebagai "tambang emas hitam". Dimana masyarakat setempat memanfaatkan timbunan material vulkanik sebagai satu komoditi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Pada saat itu pembangunan sedang tumbuh pelan dan pasti. Ada pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik untuk infrastruktur jalan maupun untuk pembangunan fasilitas umum lainnya. Begitu banyak pula pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta baik itu untuk sarana penginapan seperti hotel-hotel maupun fasilitas ekonomi lainnya.
Semua pembangunan itu memerlukan bahan-bahan atau material dan salah satunya adalah batu kali dan pasir. Material seperti batu kali dan pasir tersedia sangat banyak dan melimpah di wilayah endapan material vulkanik. Dengan demikian masyarakat sekitar wilayah aliran lahar dari letusan Gunung Agung ibaratnya mendapat durian runtuh.
Kalau dahulu mereka sangat menderita karena kehilangan sawah ladang dan tempat tinggal mereka juga tertimbun material vulkanik. Setelah melewati penderitaan puluhan tahun maka saatnya mereka meraup rejeki dari material vulkanik tersebut. Ibaratnya peribahasa bilang: "Berakit rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian".
Begitulah kenyataannya dimana masyarakat yang dulu menderita akibat letusan Gunung Agung kini nasib mereka berubah menjadi sejahtera. Sambil menyelam minum air begitu kira-kira kata kiasan yang tepat bagi mereka, dimana mereka bisa menjual material vulkanik yang ada di wilayah pemukiman mereka dahulu maupun yang ada di areal sawah ladang mereka.
Dengan menambang pasir, batu kali, maupun kerikil yang ada di wilayah mereka sendiri, akan mendatangkan uang dan sekaligus menemukan kembali tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka yang berbentuk sawah ladang. Dalam perjalanan waktu semenjak ditemukannya tambang "emas hitam" maka tidak sedikit masyarakat yang dahulu pada saat peristiwa bencana Gunung Agung meletus merupakan wilayah terdampak dan menderita, kini mereka menjadi berubah menjadi orang kaya baru atau sejahtera.
Baca juga:
Cerita Saksi Mata Letusan Gunung Agung Tahun 1963 (2)
Pada suatu saat beberapa bulan setelah letusan Gunung Agung, saya diajak orang tua saya pergi ke Karangasem. Saya dititipkan di tempat atau rumah kakak perempuan ibu saya. Beliau tinggal bersama suaminya saja karena tidak mempunyai anak. Saya dititipkan di sana kurang lebih seminggu dan saya tidak ingat pasti apakah bulan Mei atau Juni tahun 1963. Yang jelas dalam ingatan saya waktu itu sekolah libur. Apakah libur tersebut merupakan libur rapotan atau diliburkan karena dampak dari bencana Gunung Agung tersebut.
Saya tidak tahu alasan orang tua saya menitipkan saya di rumah saudaranya di Karangasem. Pada awalnya ketika saya baru sampai di sana, perasaan saya sangat senang karena diperlakukan sangat baik oleh bibi saya. Namun setelah saya ditinggal oleh orang tua saya pada sore harinya perasaan saya menjadi gundah gulana. Hampir semalaman saya tidak bisa tidur.
Pertama rasa kesepian tanpa kehadiran orang tua dan saudara-saudara dan yang kedua rasa takut yang sangat dalam mendengar suara dentuman yang bertubi-tubi serta getaran yang saya rasakan terus menerus. Keesokan harinya saya dipindahkan ke rumah kakak perempuan ibu saya yang satu lagi di sebelah utara. Di tempat ini saya merasa lebih baik karena ada saudara misan atau sepupu sebaya untuk diajak bermain.
Pada malam pertama saya menginap di rumah saudara misan saya mendapatkan pengalaman yang tidak mungkin saya bisa lupakan selama hidup saya. Suasana pada malam itu menjadi sangat mencekam ketika suara "kulkul bulus" atau bunyi kentongan bertalu-talu pertanda bahaya dan kemudian ada seruan berantai dari mulut ke mulut agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dikarenakan ada letusan Gunung Agung yang sangat dahsyat.
Pada saat itu kebanyakan orang tua merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang luar biasa. Namun kami sebagai anak-anak mempunyai naluri ingin tahu yang sangat besar. Seketika itu juga kami bertiga berembug dengan topik bahasan "menyaksikan aliran lahar panas". Akhirnya disepakati untuk mencari tempat yang tinggi, maka ditentukanlah sekolah yang lokasinya agak tinggi yaitu SR nomor 1 Karangasem. Maka kami bertiga keluar rumah dengan mengendap-endap di kegelapan malam pergi ke belakang rumah yang merupakan persawahan dan juga sumber air tenaga listrik untuk Kota Karangasem. Nama daerah itu adalah Sekuta.
Setelah melewati beberapa petak sawah maka kami tiba di halaman belakang Sekolah rakyat Nomor 1 Karangasem waktu itu lumrah disebut "Sekolah Tinggi". Mengapa disebut "Sekolah Tinggi", itu karena tempatnya ada di ketinggian permukaan jalan raya yang melintas di depannya. Lokasinya tepat setelah melewati Sungai "Janga" dari arah Denpasar. Setelah kami tiba di belakang sekolah saya melihat sudah banyak berkumpul warga di halaman depan sekolah. Lalu kami pun bergegas menuju halaman depan sekolah. Dari tempat itu saya menyaksikan suatu pemandangan yang sangat menakjubkan dan yang tidak mungkin saya dapat melupakannya.
Gunung Agung nampak dengan megahnya berdiri di arah Barat laut yang seolah-olah berdiri tegak di hadapan saya. Dengan diawali suara menggelegar kemudian disusul dengan semburan api yang berukuran sangat besar keluar dari puncak kawahnya. Tak lama kemudian dari puncak Gunung Agung "menjulur" ke tiga arah "lidah api" yang waktu itu saya pikir berasal dari aliran lava panas.
Sungguh dasyat dan menakjubkan lidah api tersebut mengalir ke arah barat laut, ke selatan, dan ke timur Gunung Agung. Suara gemuruh dan letusan api tersebut berlangsung secara berkesinambungan. Bagaikan kembang api raksasa pemandangan alam tersebut membuat kami terpaku di tempat. Berkali-kali petugas desa dan aparat polisi dan TNI mengintruksikan kepada masyarakat untuk meninggalkan tempat itu. Tidak satupun dari kami yang ada di halaman "Sekolah Tinggi" tersebut beranjak dari tempat.
Berselang beberapa lama tidak sampai satu jam saya mendengar suara gemuruh di bawah arah Sungai "Janga". Masyarakat yang berkumpul bersama saya mulai kelihatan gelisah dan panik. Sesaat kemudian suara gemuruh tersebut semakin keras dan dasyat. Tak lama kemudian lidah api yang tadinya saya lihat jatuh dari puncak Gunung Agung mengalir ke bawah dan kini sudah terlihat melaju kencang di depan mata saya yang berada beberapa puluh meter dari tempat saya berdiri tepatnya di Sungai Janga. Tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata melihat aliran lahar panas yang menyala mengalir deras di sepanjang Sungai Janga. Pada awalnya pemandangan tersebut sangat menarik untuk dinikmati. Tetapi lama kelamaan seiring dengan perubahan cuaca yang semakin panas membuat perasaan takut saya mulai timbul.
Cuaca semakin panas yang mana disebabkan oleh aliran lahar panas tersebut yang membuat kami satu persatu meninggalkan tempat. Kejadian seperti ini sempat saya saksikan beberapa kali setiap malam selama saya ada di Karangasem. Sungai Janga dasarnya berada sekitar 10 meter di bawah jembatan dan kita bisa melihat dasar sungainya. Dengan terjadinya letusan Gunung Agung yang membawa material vulkanik membuat lembah-lembah, sungai-sungai yang dulunya sangat curam dan terjal maka setelah beberapa kali dilanda banjir lahar panas maka menjadi dangkal.
Pada suatu malam hari terakhir saya berlibur di Karangasem saya sempat menyaksikan langsung letusan Gunung Agung dari tempat yang sama. Namun kali ini suasananya berbeda dimana masyarakat tidak berlama-lama menyaksikannya. Hal tersebut disebabkan oleh cuaca sekitar yang begitu panas dan bau tak sedap yang menyesakkan pernafasan. Banjir lahar panas menyala yang mengalir di Sungai Janga sudah semakin meninggi mendekati badan jembatan. Saya dan saudara misan atau sepupu saya sudah merasakan ketakutan akan dasyatnya arus lahar panas yang menyala dan suara gemuruh. Maka kami cepat-cepat meninggalkan tempat sebelum tempat itu menjadi sasaran terjangan banjir lahar panas.
Keesokan harinya saya bersama beberapa anak-anak sebaya saya jalan-jalan di sekitar lokasi tempat banjir lahar panas yang saya saksikan malam sebelumnya. Di sekitar wilayah tersebut adalah tempat perkantoran pemerintah seperti kantor Pekerjaan Umum, Rumah Sakit, Sekolah dan lainnya. Tempat tersebut berada di seputar pertigaan menuju Tirta Gangga atau Singaraja. Pemandangan yang saya lihat sangat memprihatinkan.
Hampir semua bangunan yang ada di sebelah kanan jalan dari arah Subagan (sisi selatan) menuju Kota Karangasem terbenam setinggi jendela dan hanya atap rumah yang kelihatan. Tempat ini memang posisinya kurang lebih 3 meter di bawah permukaan jalan. Sedangkan bangunan rumah-rumah penduduk dan perkantoran yang ada di sebelah utara atau kiri dari arah Subagan menuju Kota Karangasem digenangi endapan lahar panas setinggi lantai bangunan. Tempat ini posisinya memang lebih tinggi daripada yang di sebelah kanan atau sisi selatan.
Saya menyaksikan banyak bangkai hewan berserakan di halaman kantor dan rumah penduduk yang sudah kosong. Ada bangkai sapi, kuda, babi, dan lain-lainnya. Kondisi bangkai hewan-hewan tersebut rata-rata sudah membengkak namun belum mengeluarkan bau busuk. Ada juga beberapa peralatan kantor seperti meja, kursi, bangku, tumpah ruah berserakan di halaman kantor.
Selama melakukan pengamatan di lingkungan wilayah tersebut kami melewati jalan dan halaman rumah atau perkantoran yang sudah digenangi atau tertutup lumpur lahar panas. Seperti halnya di kantor PU (Pekerjaan Umum) yang berlokasi di pojok kiri pertigaan Tirta Gangga. Halamannya terendam lumpur setinggi kurang lebih 50 centimeter.
Ketika saya menginjakkan kaki di sana maka kaki saya terbenam setinggi betis dan terasa masih panas. Tidak banyak beda pemandangannya di sini, keadaannya sangat berantakan. Terdapat berbagai jenis bangkai hewan, peralatan perkantoran dan juga saya lihat sebuah ban luar mobil truk yang berdiri tegak seolah-olah dipatri oleh endapan lahar tersebut.
Pada keesokan harinya, di pagi hari ayah dan ibu saya datang. Beliau membawa kabar yang sangat menggembirakan dimana saya mau diajak pulang. Namun di sisi lain beliau juga membawa kabar yang tidak baik. Kata beliau jembatan gantung yang ada di Tukad atau Sungai Unda Klungkung jebol atau putus sehingga lalu lintas terhambat. Jadi transportasi dari arah barat dan timur terputus.
Bagi masyarakat yang ingin bepergian ke Denpasar dan sebaliknya harus berhenti di sisi timur dan barat. Pada saat itu dimana kondisi lalu lintas terhambat oleh putusnya jembatan maka menimbulkan peluang ekonomi. Masyarakat di lingkungan Tukad Unda mulai mengais rejeki dari jasa penyeberangan orang maupun barang melewati Sungai Unda.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/psk