search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Saat Ibu Muda Kehilangan Suara: Konflik Rumah Tangga dan Seruan Minta Tolong yang Terabaikan
Minggu, 15 Juni 2025, 14:42 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/united family food/Saat Ibu Muda Kehilangan Suara: Konflik Rumah Tangga dan Seruan Minta Tolong yang Terabaikan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beberapa waktu lalu, seorang ibu muda berusia 28 tahun dilarikan ke ruang gawat darurat setelah mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak cairan detergen. 

Tidak diketahui secara pasti seberapa banyak cairan berbahaya yang ia konsumsi, namun yang jelas ini adalah panggilan darurat bukan hanya secara medis, tetapi juga secara sosial dan budaya.

Dari wawancara yang kami dapatkan, ibu muda ini telah mengalami tekanan emosional yang cukup berat selama dua bulan terakhir, terutama karena konflik rumah tangga dengan pasangannya. Kondisi ini diperparah oleh rasa lelah fisik dan mental dalam merawat kedua anaknya tanpa dukungan yang cukup. 

Ia mengatakan 2 minggu terakhir ini tampak sedih, cenderung menangis namun tidak mampu bercerita. Ia juga mengatakan beberapa hari yang lalu bertengkar dengan suami hingga membanting pintu dan barang-barang. Aktivitas sehari-harinya yaitu mengurus kedua anaknya setelah ia berhenti kuliah dan menikah. Ia dikenal sebagai pribadi yang emosional, mudah meledak saat tertekan, namun juga mudah hancur saat merasa tidak dimengerti.

Ketidakberdayaan dalam tekanan rumah tangga

Dalam memahami kasus seorang ibu muda yang melakukan upaya bunuh diri setelah mengalami konflik rumah tangga, kelelahan dalam mengasuh anak, dan perubahan peran hidup, depresi muncul sebagai akibat distorsi kognitif dan skema berpikir negatif yang menetap dalam diri individu, terutama dalam tiga domain utama yang dikenal sebagai triad kognitif yaitu pandangan negatif tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan.

Pada kasus ini, pasien menunjukkan tanda-tanda yang jelas dari triad kognitif tersebut. Ia kemungkinan memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri, seperti merasa tidak mampu menjadi ibu yang baik, merasa gagal sebagai istri, atau merasa kehilangan identitas setelah berhenti kuliah. Pandangan negatif terhadap dunia terlihat dari persepsi bahwa lingkungan sekitar, terutama pasangan yang tidak memberikan dukungan, sehingga ia merasa sendirian dalam menghadapi beban hidupnya.

Sementara itu, pandangan negatif terhadap masa depan tercermin dalam keputusasaan yang mendorongnya melakukan tindakan ekstrem dimana ia merasa situasi tidak akan membaik, dan mengakhiri hidup adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaan emosional yang ia alami.

Selain itu, adanya distorsi kognitif seperti membayangkan hal terburuk yang terjadi, menganggap orang lain berpikir buruk tentang dirinya, dan over generalisasi. Ia kemungkinan besar meyakini bahwa konflik dengan suami menandakan bahwa seluruh hidup dan pernikahannya gagal, serta dirinya tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari situasi tersebut. 

Distorsi ini memperkuat skema negatif yang sudah tertanam dalam pola pikirnya, sehingga setiap peristiwa emosional diproses secara bias dan memudahkan pemunculan gejala depresif.

Munculnya depresi dan perilaku bunuh diri dalam konteks pengalaman kegagalan atau penderitaan yang berulang dan tidak dapat dikendalikan disebabkan dari proses belajarnya bahwa usaha apa pun tidak akan merubah situasi dan keadaaan, sehingga muncul perasaan tidak berdaya dan pada akhirnya menyerah terhadap keadaan.

Dalam kasus ini selama dua bulan terakhir, ia menghadapi konflik dengan suami yang mencapai puncaknya tanpa penyelesaian yang konstruktif. Ia merasa lelah secara fisik dan emosional dalam mengurus dua anak tanpa dukungan yang memadai. Situasi ini kemungkinan membuat merasa bahwa apa pun yang ia lakukan tidak akan mengubah keadaan, baik dalam hubungan pernikahan maupun dalam kesehariannya sebagai ibu rumah tangga.

Secara kognitif, kondisi ini memperkuat keyakinan bahwa dirinya tidak mampu memperbaiki keadaan, dan bahwa ia tidak mempunyai kendali terhadap kehidupannya. Seiring berjalannya waktu, perasaan tidak berdaya ini berkembang menjadi keputusasaan, yang merupakan komponen utama dalam gangguan depresi dan menjadi faktor risiko kuat untuk perilaku bunuh diri. 

Dalam konteks perasaan tidak berdaya, bunuh diri dapat dilihat sebagai tindakan terakhir dari individu yang merasa tidak punya pilihan lain, tidak mampu menghindari penderitaan, dan tidak melihat adanya harapan untuk sebuah perbaikan.

Kepribadian ambang dan seruan minta tolong

Faktor kepribadian dengan ciri instabilitas emosi, impulsivitas, dan hubungan interpersonal yang penuh konflik umumnya memiliki struktur kepribadian yang rentan terhadap ketakutan untuk ditinggalkan, perasaan hampa yang kronis, dan kesulitan mempertahankan identitas diri secara stabil. 

Pada kasus ini, pasien mengalami perubahan besar dalam hidupnya dimana ia berhenti kuliah, menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, dan menghadapi konflik rumah tangga yang intens yang dapat memicu disorganisasi emosi dan persepsi tentang dirinya. Ia tampak memiliki regulasi afek yang buruk, yang ditampilkan dengan ledakan kemarahan, membanting barang, serta episode menangis tanpa bisa mengungkapkan isi pikiran secara verbal. 

Ini mencerminkan mekanisme gameplay primitif seperti splitting (memisahkan segala sesuatu menjadi "baik" atau "buruk"), acting out (mengekspresikan konflik batin melalui tindakan), dan identifikasi proyektif (menyalurkan emosi negatif ke orang lain dan memancing reaksi yang memperkuat keyakinan internal).

Pada kasus ini ia memiliki hubungan yang sangat intens namun tidak stabil, di mana pasangan sering menjadi "target" dari idealisasi dan kemudian devaluasi. Pertengkaran berulang dengan suami, rasa lelah yang tidak tersampaikan, dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, mencerminkan konflik batin antara kebutuhan akan kedekatan dan ketakutan akan ditolak atau ditinggalkan. 

Upaya bunuh diri dalam konteks ini sering kali bukan hanya mengungkapkan keputusasaan, tetapi juga sebagai komunikasi nonverbal terhadap lingkungan, seruan permintaan tolong, atau bentuk agresi yang diarahkan ke diri sendiri karena konflik internal yang tidak dapat dipertahankan. Untuk itu perlu kita pahami bahwa di balik perilaku impulsif dan emosional pasien, terdapat dinamika batin yang kompleks dan mendalam, yang membutuhkan pendekatan terapeutik penuh kesabaran, empati, dan ketekunan.

Perempuan, emosi, dan budaya

Dalam banyak budaya, termasuk budaya kita di Indonesia, perempuan sering kali diposisikan sebagai pilar rumah tangga yang harus sabar, kuat, dan penuh pengorbanan. Ketika seorang ibu memutuskan untuk berhenti kuliah demi menikah dan mengurus rumah, seringkali ia kehilangan sebagian identitas dirinya. 

Aktivitas sehari-harinya menjadi rutinitas yang padat, namun tak jarang juga sepi dari pengakuan dan penghargaan. Dalam kesunyian itulah, perasaan lelah, tidak berharga, dan tidak didengar bisa tumbuh menjadi luka batin yang dalam.

Ketika konflik rumah tangga berkepanjangan, banyak orang tidak mampu mencerna apa yang dialaminya, tidak mampu beradaptasi dengan keadaan yang dihadapinya, dan tidak mampu mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya. Mereka membiarkan dirinya terbelenggu dengan keadaan yang dihadapinya, tanpa mampu membanding dengan lingkungan, belajar dari pengalaman orang lain dan pengalamannya sendiri. 

Kalau sudah demikian, banyak di antara mereka yang merasakan dunia itu gelap, tidak ada cahaya terang yang menuntunnya untuk berjuang. Semua jalan yang dilaluinya dirasakannya buntu. Akhirnya dalam keadaan yang tidak disadarinya ia memilih jalan pintas, mati. 

Pernahkah mereka yang mau mati berpikir bagaimana keadaannya waktu di dalam kandungan dan setelah lahir dibesarkan oleh kedua orang tuanya? Pernahkah mereka berpikir bagaimana berat orangtuanya membesarkannya untuk menjadikan dirinya orang yang mandiri? Bagaimana ibunya menyusuinya, bagaimana orangtuanya melatih dirinya makan, berjalan dan bermain. 

Semua itu memerlukan kemampuan, kebahagiaan, dan keterpanggilan sebagai orangtua untuk membesarkannya sampai mereka bisa mandiri. Dan sekarang dengan mudah mereka mengakhiri hidupnya, menggantung dirinya agar benar-benar mati

Mengatasi kemelut di dalam diri

Untuk mencegah terjadi keinginan bunuh diri kiranya mereka yang mempunyai masalah dan tidak mampu mengatasinya, bisa berbagi rasa dengan teman atau sahabatnya. Atau bisa meminta bantuan psikiater, psikolog atau tenaga profesional lainnya. Mereka akan membantu mengarahkan klien agar menyadari keadaannya. 

Jika penderita mengalami depresi berat dimana ia mempunyai keinginan untuk melakukan bunuh diri, maka penderita ini harus dirawat di rumah sakit untuk mendapat penanganan intensif. Tidak hanya obat anti-sedih yang diperlukan penderita, tetapi ada tempat untuk mengeluarkan beban yang menghimpit dirinya dan merasa mendapat dukungan sosial. 

Rasa diterima sebagai bagian dari keluarga, dihargai, dan dicintai sangat diperlukan oleh penderita. Psikoterapi suportif oleh psikiater dapat dilakukan untuk meringankan beban yang dialaminya. Mereka hanya ingin ada orang yang mendengarkan keluhannya. 

Ada orang yang memahami masalah yang dihadapinya dari perspektif dirinya. Mereka tidak membutuhkan jawaban atau solusi untuk permasalahannya. Jika dirinya sudah tenang, semua orang akan mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami