search
light_mode dark_mode
Di Balik Mata yang Meredup, Ada Jiwa yang Menjerit

Minggu, 24 Agustus 2025, 12:40 WITA Follow
image

bbn/ilustrasI/Di Balik Mata yang Meredup, Ada Jiwa yang Menjerit.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan utama terkait gangguan penglihatan yang dirasakan semakin memburuk. 
Saat wawancara, duduk berhadapan dengan pemeriksa, menggunakan baju lengan panjang bermotif garis, kacamata, serta aksesoris berupa anting, kalung, dan gelang. 

Ia mengungkapkan perasaan khawatir terhadap kondisi matanya dan merasa lelah serta jenuh dengan berbagai pemeriksaan medis yang telah dijalani. Ia tampak menangis saat bercerita, dengan wajah tampak sedih, perasaan kehilangan minat, penurunan kepercayaan diri, serta pandangan masa depan yang suram, meskipun tidak ditemukan ide atau rencana untuk mengakhiri hidup.

Secara riwayat, ia pernah mengalami stres emosional akibat hubungan percintaan yang sempat kandas karena perbedaan agama. Ia pada awalnya beragama Katolik namun kemudian berlanjut hingga pernikahan setelah ia berpindah agama ke Hindu. Ia memiliki seorang anak dan menganggap kehamilan yang pernah dialaminya sebagai sebuah keajaiban mengingat kondisi tuba falopi yang bermasalah dan peluang hamil yang hanya sekitar 20%. 

Ia memiliki riwayat minus tinggi pada matanya, dengan minus -8 di kanan dan -2 di kiri. Ia telah menjalani operasi penggantian lensa pada mata kanan tahun 2023, namun penglihatan tetap tidak membaik, digambarkan seperti “melihat melalui sedotan” (lapang pandang menyempit). Operasi ulang pada November 2024 juga tidak membawa hasil signifikan, kecuali berkurangnya rasa pusing.

Kondisi medis disertai keluhan sistemik, antara lain peningkatan berat badan sekitar 20–25 kg dalam satu tahun, bengkak pada kaki, rambut rontok, serta kelelahan. Ia tidur larut (sekitar pukul 00.00) dan bangun pukul 05.30 dengan rasa lemas. Nafsu makan relatif stabil. Riwayat jatuh berulang akibat keterbatasan penglihatan menambah kecemasannya. 

Ia bekerja di sebuah bank selama 11 tahun dengan beban kerja yang tinggi. Kombinasi gangguan fisik, masalah penglihatan yang tidak kunjung membaik, serta faktor psikosial memunculkan gejala psikologis yang membuatnya semakin merasa terpuruk.

Trauma yang memunculkan pencarian makna hidup

Kehidupan manusia sering kali memperlihatkan keterkaitan erat antara tubuh dan jiwa. Ketika tubuh mengalami penderitaan, jiwa pun ikut terguncang. Sebaliknya, gejolak batin dapat memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kasus seorang perempuan berusia 37 tahun yang kita ulas kali ini memberikan gambaran nyata bagaimana problem medis kronis, pengalaman traumatis, serta tekanan sosial dan spiritual dapat menjalin benang kusut dalam kehidupan seorang individu. 

Ia datang dengan keluhan utama gangguan penglihatan yang kian memburuk. Namun, di balik keluhan medis itu, tampak jelas adanya pergumulan batin adanya rasa lelah, kehilangan minat, kepercayaan diri yang menurun, hingga perasaan bahwa masa depan tampak suram. Menariknya, meski gejala depresi sudah terlihat, ia masih berpegang pada harapan dan tidak menunjukkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Inilah yang membuat kasus ini kaya untuk ditelaah, bukan hanya dari sisi medis, melainkan juga dari dimensi kejiwaan dan makna hidup.

Jika kita telisik lebih jauh, masalah yang dihadapi perempuan ini bukanlah tunggal, melainkan berlapis. Masalah medis menjadi lapisan pertama. Ia memiliki riwayat minus tinggi pada matanya, dengan minus -8 di kanan dan -2 di kiri. Ia telah menjalani operasi penggantian lensa pada mata kanan pada tahun 2023, namun hasilnya tidak memuaskan. Penglihatannya tetap terbatas, seolah ia melihat dunia melalui sedotan. 

Ia menjalani operasi kedua pada November 2024 dengan harapan ada perubahan, tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Rasa pusing memang berkurang, tetapi penglihatannya tidak kembali. Keterbatasan lapang pandang membuatnya beberapa kali jatuh, termasuk jatuh ke got dan jatuh dari tangga hingga kuku kakinya terlepas. Pengalaman jatuh berulang ini bukan hanya melukai tubuh, melainkan juga mengikis rasa percaya dirinya.

Masalah medis ini menimbulkan dampak psikologis yang jelas. Ia merasa lelah, mudah jenuh, kehilangan minat, bahkan menangis saat bercerita tentang keadaannya. Ia merasakan bahwa masa depannya suram. Perasaan tidak berdaya dan putus asa mendominasi, meski ia masih bisa menegaskan bahwa tidak ada keinginan untuk mengakhiri hidup. Hal ini menunjukkan adanya gejala depresi dengan tingkat keparahan sedang, di mana ia masih mempertahankan sebagian fungsi adaptifnya. Namun, jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa memburuk menjadi depresi yang lebih berat.

Selain faktor medis, ia juga membawa sejarah emosional yang panjang. Sebelum menikah, ia menjalani hubungan percintaan yang cukup lama dengan seorang pria Hindu. Hubungan itu sempat kandas karena penolakan orang tua pasangannya, membuatnya merasa ditolak dan ditinggalkan. 

Pengalaman itu meninggalkan luka emosional mendalam. Meski kemudian pasangan itu kembali dan mereka akhirnya menikah, namun jejak luka masa lalu tidak serta-merta menghilang. Ada perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan yang sempat dialami. Luka emosional semacam ini sering kali membentuk dasar kerentanan psikologis seseorang, membuatnya lebih mudah terguncang ketika menghadapi stresor baru.
    
Dimensi spiritual dan psikososial

Dimensi spiritual juga memainkan peran penting dalam kasus ini. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik, namun demi melanjutkan hubungan dengan pasangannya, ia berpindah keyakinan menjadi Hindu. Perubahan identitas spiritual ini bisa menimbulkan konflik batin tersendiri. Di satu sisi, ia berusaha beradaptasi dengan keyakinan barunya. 

Di sisi lain, bisa jadi ada perasaan kehilangan sebagian dari jati dirinya. Pergulatan spiritual seperti ini sering kali menjadi sumber ambivalensi emosional antara penerimaan dan keraguan, antara keterhubungan dan keterasingan. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat menambah beban batin pasien.

Masalah lain yang menekan adalah stres kerja. Ia bekerja di sebuah bank selama lebih dari sebelas tahun. Dunia perbankan dikenal sebagai dunia kerja dengan tekanan tinggi, target yang ketat, serta risiko burnout yang besar. Ia menyebutkan bahwa stresor dari pekerjaannya cukup berat. 

Tekanan yang konstan dari lingkungan kerja semacam ini dapat memperburuk kondisi psikologisnya. Kombinasi antara masalah medis, luka emosional masa lalu, konflik spiritual, serta stres kerja menciptakan badai sempurna yang menggerus energi mentalnya.

Jika kita mencoba menelaah lebih jauh faktor-faktor psikologis yang mungkin menjadi penyebab kondisinya saat ini, beberapa hal menonjol. Pertama, trauma relasional akibat penolakan orang tua pasangan yang meninggalkan jejak mendalam. Rasa ditinggalkan dan tidak diakui sering kali berakar menjadi perasaan tidak layak dicintai. Kedua, stresor pekerjaan yang kronis memicu kelelahan emosional dan burnout. 

Ketiga, kondisi medis kronis yang tidak kunjung membaik membuat pasien kehilangan rasa kontrol atas hidupnya. Ia merasa sudah berusaha tetapi tidak ada hasil, sehingga muncul putus asa. Keempat, perubahan spiritualitas dan identitas menimbulkan ambivalensi emosional. 

Pertanyaan eksistensial seperti “siapa saya sebenarnya?” mungkin muncul, meski tidak selalu diucapkan. Semua faktor ini saling berinteraksi, memperburuk kondisi menjadi sebuah gangguan depresi. Namun, penting juga dicatat bahwa ia masih memiliki kekuatan bertahan. Ia masih bersedia bercerita, masih menangis, dan masih berharap dimengerti. 

Ini adalah tanda bahwa ada dorongan untuk sembuh dan mencari makna. Dalam konteks ini, peran kita sebagai tenaga kesehatan jiwa adalah membantunya menata kembali kehidupannya, baik melalui psikoterapi, dukungan sosial, maupun perawatan diri.    

Solusi untuk jiwa yang menjerit

Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan. Dari sisi psikoterapi, terapi kognitif-perilaku dapat membantu perempuan ini mengenali pikiran-pikiran negatif yang terus menghantuinya, seperti masa depan saya suram atau saya tidak akan pernah sembuh. 
Pikiran-pikiran ini dapat dilatih untuk diganti dengan perspektif yang lebih adaptif. 

Terapi naratif juga penting, karena membantu menulis ulang kisah hidupnya dengan cara yang lebih bermakna. Ia perlu melihat bahwa meski pernah mengalami penolakan dan penderitaan, ia juga memiliki daya juang yang luar biasa. Sementara itu, terapi eksistensial dapat membantu menemukan makna dalam penderitaan, bahwa manusia selalu bisa memilih sikap terhadap penderitaan.

Dari sisi medis, jika gejala depresi menetap atau memburuk, farmakoterapi dengan antidepresan dapat menjadi pilihan, tentu dengan evaluasi menyeluruh. Dukungan sosial juga tidak kalah penting. Pasangan dan keluarga besar perlu dilibatkan dalam proses pemulihan. Ia harus merasa bahwa ia tidak sendirian. Dukungan sosial terbukti menjadi salah satu faktor protektif terkuat terhadap depresi.

Integrasi spiritualitas juga harus diperhatikan. Ia memiliki perjalanan spiritual yang unik. Ia perlu dibantu untuk merekonsiliasi identitas barunya, agar spiritualitas menjadi sumber kekuatan, bukan sumber konflik. Pendampingan rohani dari tokoh agama atau konselor spiritual dapat sangat bermanfaat.

Selain itu, ia perlu diarahkan untuk memperbaiki pola hidup sehari-harinya. Pola tidur yang lebih teratur dapat membantu mengurangi rasa lelah. Aktivitas fisik ringan dapat membantu menurunkan berat badan, meningkatkan energi, dan memperbaiki mood. Pola makan sehat juga penting untuk menjaga keseimbangan tubuh. Teknik relaksasi seperti pernapasan dalam atau meditasi dapat membantu menurunkan tingkat stres.

Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa gangguan penglihatan bukan hanya persoalan medis, melainkan juga persoalan jiwa. Ketika mata meredup, jiwa pun ikut meredup jika tidak ada pendampingan. Namun, ketika jiwa mendapatkan ruang aman untuk didengar dan dipulihkan, cahaya harapan bisa kembali muncul. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami