search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Rumah Dibakar, Puluhan Warga Tamblingan Mengadu Ke DPRD Bali
Rabu, 27 Mei 2015, 17:20 WITA Follow
image

beritabali.com/file

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Setelah melaporkan nasib dan peristiwa yang dialaminya ke lembaga Ombudsman Perwakilan Bali, hari ini, Rabu 27 Mei 2015, puluhan warga nelayan Astiti Amerta Danau Tamblingan, Banjar Dinas Tamblingan, Desa adat Tamblingan, Buleleng, Bali, yang rumahnya dibakar, mengadukan nasibnya ke DPRD Bali.
 
Kehadiran sejumlah perwakilan warga adat Tamblingan yang didampingi pihak Yayasan Lembaga Kajian Ista Dewata (LKID) yang dipimpin langsung oleh Ketuanya Dewa Ayu Sri Wigunawati itu diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Bali Sugawa Kory, Ketua Komisi I DPRD Bali Ketut Tama Tenaya, anggota Komisi IV DPRD Bali Utami Dwi Suryadi, Sekretaris Komisi IV Nyoman Budi Utama.
 
Di hadapan wakil rakyat itu, salah satu warga Desa Tamblingan yang menjadi korban rumahnya dibakar dan dirusak yakni I Putu Suryadi mengaku pembumi hangusan rumahnya serta puluhan rumah warga lainnya dilakukan oleh sekelompok warga berpakian pecalang yang disaksikan pihak kepolisian dan pihak camat atas perintah Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana.
 
"Bagi kami itu bukan dieksekusi, tapi rumah kami dirusak dan dibakar seperti pembumi hangusan teroris saja. Bahkan saya sempat ditangkap oleh polisi atas perintah Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana pada 25 April lalu," ucap Putu Suryadi di ruang rapat gabungan DPRD Bali, Rabu 27 Mei 2015.
 
Putu Suryadi yang merupakan keturunan keluarga nelayan setempat secara turun temurun itu mengungkapkan sebelum rumahnya dirusak dan dibakar, pada tanggal 8 dan 9 Maret, puluhan nelayan yang tergabung dalam Astiti Amerta diundang ke Kantor Desa Munduk, untuk melakukan kesepakatam dengan tim 9 (perwakilan catur desa), Camat Banjar, pihak kepolisian Sektor Munduk, serta Danramil.
 
"Awalnya saya belum tahu tujuannya rapat itu apa. Saat rapat sudah terjadi kesepakatan tim 9, BKSDA, Pemda Buleleng bahwa tanah pelaba Pura Bugbug steril dari pemukiman. Saya dan warga lainnya bingung, tanah pelaba pura yang mereka maksud yang mana?. Menurut kami, kami puluhan tahun tinggal disana di pinggir danau dan memiliki rekomendasi berupa Prasasti Udayana dan Prasasti Ugrasena yang juga disetujui sesuai surat pernyataan kami dengan bupati sebelumnya kalau kami diperbolehkan miliki tanah masing-masing 2 are," ungkapnya.
 
Puluhan warga yang dizolimi itu menegaskan jika mereka pada prinsipnya akan mengikuti program pemerintah untuk menata kawasan disekitar danau untuk pengembangan pariwisata. Namun, mereka meminta diperlakukan manusiawi jika hendak menggusurnya serta berharap jika dipindah tidak jauh dari kawasan danau.
 
"Kami tidak menolak dipindah, tapi tolonglah dengan cara baik-baik. Kalaupun digusur kami berharap dipindah tidak jauh dari kawasan danau karena keahlian puluhan penduduk itu semuanya sebagai nelayan. prinsipnya kami akan ikuti program Pemerintah. Kami dari dulu bentuk kelompok nelayan dan miliki kartu nelayan yang masih berlaku sampai tahun 2017 dan mewakili Pemda Buleleng selama 2 kali dalam perlombaan," tegasnya.
 
Pasca kejadian, sebulan lebih ini puluhan warga yang berjumlah 22 KK yang menjadi korban kekejian penguasa itu mengaku tidur seadanya ditenda yang terbuat dari terpal dan dindingnya dari seng yang diambil dari rumah yang tidak terbakar habis. Saat kejadian keji itu berlangsung, Putu Suryadi bersama korban lainnya menuturkan mereka dilarang mengambil gambar baik didokumentasikan lewat video maupun foto.
 
"Kami dibentak dan dimarahi kalau mengabadikan gambar. Saat kami mengungsi pemda Buleleng baru empat harinya memberikan bantuan berupa eras 5 kilo, mie instan, dan minyak. Itupun bantuan hanya sekali saja. Pengungsi Rohingnya saja diperlakukan baik, sementara warga kita sendiri di Danau Tamblingan diperlakukan tidak baik. Bali pulau sorga dengan sektor pariwisata ternyata masih ada perilaku keji seperti ini," tuturnya geram.
 
Kejamnya lagi, sambung Putu Suryadi, ketika memberi bantuan tikar dan terpal, pemerintah daerah melakukan beberapa syarat dan kriteria yakni yangg menerima tikar tidak boleh menerima terpal, begitu sebaliknya jika menerima terpal tidak boleh menerima tikar, jadi kami terpaksa tidur beralaskan langit kalau memilih tikar untuk alas tidur.
 
"Sungguh kejam, selain merusak rumah dan membakar rumah kami, ternak kami juga dibunuh seperti kambing dan ayam kakinya dipatahin dan dibunuh secara keji sampai mati. Saya berharap jangan sampai daerah lain terjadi seperti yang kami alami. Kami harap dewan dan pemerintah propinsi segera mengambil sikap, jangan sampai melakukan pembiaran seperti ini," harapnya.
 
Atas pengaduan warga yang disertai berkas serta berbagai bukti peristiwa memilkukan itu, Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Kory merasa terenyuh dan menyayangkan proses pemindahan warga adat Tamblingan kurang manusiawi.
 
"Sangat disayangkan cara-cara seperti ini. Sudah tidak jaman membakar rumah warga, itu cara penguasa tahun 1965. Harusnya kalau mau memindah warga dilakukan perencanaan yang matang. Jangan melakukan seperti itu, itu cara-cara kepada pemberontak. Apalagi warga tidak keberatan dipindah," ucapnya.
 
Menurut politisi Golkar itu, puluhan warga yang menjadi korban itu tidak tinggal dengan liar dan resmi. Pemerintah daerah juga selama ini berdasarkan fakta mengakui mereka kelompok nelayan. Untuk itu, pihaknya setuju menindak tegas bagi pihak-pihak yang melakukan cara dengan melanggar hukum serta mendukung langkah-langkah Ombudsman dan mendorong melakukan investigasi menyeluruh.
 
"Pengungsi Rohingnya saja dibantu dan diberi fasilitas yang baik. Kami menyayangkan cara-cara yang dilakukan Pemda Buleleng dan pembiaran oleh bupati dan camat serta pihak kepolisian. Kami minta perhatikan hak-hak asasi manusia dan tidak memaksakan kehendak," tegasnya.
 
Sikap yang tidak jauh berbeda juga diutarakan politisi PDIP yang separtai dengan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, yakni Tama Tenaya bahwa meski penataan itu untuk sektor pariwisata namun ia berharap dilakukan dengan cara yang elok.
 
"Buleleng rekor masalah pertanahan. Ketua BPN Buleleng mengakui jika dokumen tanah tidak ada di Buleleng akibat dulu terbakar. Bagaimana coba kacau begitu," sindirnya.
Diakhir pertemuan wakil rakyat itu meminta kepada puluhan warga yang menjadi korban agar bersabar dulu dan berpesan jangan melakukan langkah-langkah yang melanggar hukum. Dewa berjanji akan menuntaskan permasahalan ini dengan mengundang sejumlah pihak baik Pemerintah Provinsi Bali maupun pihak Pemda Buleleng. 

Reporter: bbn/rob



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami