search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Arsitektur Pura Dalem Balingkang, Salah Satu Daya Tarik Utama Wisatawan Tiongkok (2)
Kamis, 26 Desember 2019, 08:30 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/net

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Sebelum adanya kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali (1343 M) telah berdiri kerajaan besar yang disebut Dalem Balingkang. Pada masa itu Bali banyak mendapat pengaruh Hindu dari India. Sejalan dengan perkembangan agama Buddha di India yang kemudian menyebar ke daratan Asia lainnya terutama berkembang pesat di Tiongkok, maka Bali yang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok akhirnya juga kena pengaruh Buddha. 

Itu makanya ada dua pura Siwa-Buddha besar di Bali, yaitu Pura Batur dan Pura Besakih. Jadi, paham Siwa-Buddha di Bali telah ada sebelum paham Siwa-Buddha Majapahit masuk ke Bali, terutama berkembang pesat pada masa pemerintahan Dalem Balingkang.

Seluruh wilayah pulau (satungkub Bali) dan masyarakatnya di zaman Bali Kuna pernah dikuasai dan dipimpin oleh tidak kurang dari 23 raja, dan yang paling terkenal banyak mengeluarkan prasastinya yaitu Sri Haji Jayapangus, yang kemudian juga lebih dikenal dengan sebutan Dalem Balingkang. Pada masa pemerintahan Dalem Balingkang ini, sudah terjalin hubungan baik antar Bali dengan Tiongkok, pertama-tama lewat perdagangan yang kemudian diikuti oleh bidang kebudayaan. Hubungan baik itu ditandai oleh diberikannya hadiah seorang putri bangsawan Tiongkok yang bernama Kang Cing Wie kepada raja Bali Sri Haji Jayapangus sebagai permaisuri bergelar Paduka Çri Mahadewi Çaçangkajacihna (Paduka Sri MahadewiSasangkajacihna), disertai dengan beberapa ratus pengikut yang kemudian bermukim di seputar wilayah kota Balingkang seperti, desa Ping’an (Pinggan), Pasar’ai (Serai =Pasar), Sia’in (Siakin), Belanding’an (Belandingan), Paketan (Paket’an=tempat arena perjudian).

Kedatangan orang-orang Tionghoa terus bertambah sejak perkawinan raja Bali dengan Kang Cing Wie yang langsung diangkat sebagai Ratu Ayu Mas Subandar (kepala syahbandar atau penguasa pelabuhan). Pengaruh Tionghoa juga berpengaruh terhadap nama tempat: Desa Langan berasal dari Loan’an dan Balingkang=Bali + Kang (Marga Bali dari raja Bali Jaya Pangus + Marga Kang dari putri Kang Cing Wie). Dengan adanya penduduk pendatang dari Tiongkok ini, otomatis membawa kebudayaan Tiongkok dan paham Buddha Mahayana, kemudian lama-kelamaan terjadi integrasi dan akulturasi, yang melahirkan kebudayaan Siwa-Buddha seperti dikenal sekarang di Bali.

Itulah menjadi latar belakang didirikannya palinggih Subandar pada salah satu bagian mandala di kedua pura besar di Bali yaitu Pura Batur dan Besakih. Sebagai tempat pemujaan khusus terhadap Ratu Ayu Mas Subandar, tentu ada di Pura Dalem Balingkang sebagai pusat kerajaan, jelas Jero Gede Batur Alitan (Wawancara, Nov 2007).

Sebagai bekas sebuah Kedatuan, Pura Dalem Balingkang memiliki berbagai jenis bangunan (palinggih=stana) dengan berbagai macam fungsi dan makna yang menyertainya. Salah satu jenis bangunan palinggih yang tadi telah disebutkan adalah palinggih Ratu Ayu Mas Subandar sebagai tempat memuja roh suci Ratu Kang Cing Wie, sebagai seorang permaisuri raja Bali sekaligus leluhur utama (kongco) dari warga Tionghoa yang bermukim di desa-desa sekitar Penulisan, Kintamani, bahkan Bali dan Indonesia umumnya. Untuk ini maka dapat dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam makalah ini adalah: 1) Bagaimanakah arsitektur kongco atau palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang dan makna simboliknya bagi masyarakat Bali dan masyarakat Tionghoa, dan 2) Bagaimanakah potensi arsitektur Pura Dalem Balingkang sebagai salah satu daya tarik utama wisatawan dalam rangka pengembangan pariwisata berkelanjutan di Bali?

Permasalahan ini akan dibahas berdasarkan teori simiotika dan sejarah diakronis agar dapat melihat perkembangan fungsi dan makna dari keberadaan palinggih atau kongco Ratu Ayu Mas Subandar ini dalam jangka panjang. Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. 

Penelitian ini memakai pendekatan holistik berarti cara melihat atau memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh. Teknik pengumpulan data adalah melalui wawancara dan studi pustaka.

Jenis penelitian adalah deskriptif analitis (descriptive analitic) yang bertujuan untuk memeroleh secara jelas tentang suatu situasi atau keadaan tertentu yang ada di lapangan melalui pengumpulan data, dalam hal ini khususnya mengenai Dalem Balingkang dan Kang Ci Wie serta melihat bentuk arsitektur palinggih Ratu Ayu Mas Subandar dan Dalem Balingkang di Pura Dalem Balingkang.[Prof. Anastasia Sulistyawati/ bersambung]

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami