search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kampus Merdeka, Antara Cita-Cita dan Realita
Minggu, 9 Februari 2020, 12:35 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Merdeka. Sebuah kata yang sangat menarik karena dapat diartikan sebagai sebuah kebebasan. Bila dipadankan dengan kata kampus di depannya maka dapat diartikan bahwa kampus sebagai institusi memiliki hak untuk menjalankan kebebasannya dalam mengelola kampus. Benarkah demikian? 

Tidak sesederhana seperti yang difikirkan. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim bahwa Perguruan tinggi diberikan kemudahan untuk membuka Program Studi baru bila Perguruan tinggi tersebut sudah terakreditasi A atau B serta menjalin kerjasama dengan organisasi atau Universitas Top dunia. 

Sistem Akreditasi dan re-akreditasi untuk Perguruan Tinggi akan diperbaharui secara otomatis dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan program studi yang siap naik peringkat. Kemudahan kampus negeri menjadi Badan Hukum, tanpa melihat status akreditasi. 

Yang terakhir adalah mengganti sistem kredit semester (SKS) menjadi program kerja luar kelas. Untuk hal yang terakhir ini, mahasiswa wajib mengambil 5 semester dari prodi asalnya dan sisa 2 semester atau 40 SKS dipergunakan untuk kerja lapangan. Sisanya yang 1 semester lainnya dipergunakan untuk belajar dari prodi lainnya.

Sungguh program menteri yang spektakuler dan tidak terbayangkan sebelumnya oleh lembaga pendidikan di tingkat universitas di Indonesia. Akan dapatkah terwujud ? 

Potret kehidupan kampus di Indonesia beragam yang diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya fasilitas infrastruktur di daerah yang tidak merata, kemampuan sumber daya manusia (SDM) pengajar sampai pengelolaan kampus yang sebagian masih belum sesuai standar yang dipersyaratkan. 

Ditambah lagi problema internal kampus yang berbeda antara satu kampus dengan kampus lainnya. Dari potret tersebut dapat dipahami bahwa setiap kampus memiliki cara pandangnya masing-masing dalam menanggapi pernyataan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kampus Merdeka di Indonesia. 

Masing-masing kampus memiliki cara pandang yang berberbeda sesuai dengan situasi dan kondisi kampus tersebut. Kampus yang sudah besar dan maju tentu tidak sulit untuk beradaptasi dengan aturan yang akan diterapkan. Bagaimana dengan kampus yang masih kecil dengan akreditasi yang pas-pasan serta hidup segan mati tak mau ?

Seperti pada poin pertama bahwa Perguruan tinggi diberikan kemudahan untuk membuka Program Studi baru bila Perguruan tinggi tersebut sudah terakreditasi A atau B serta menjalin kerjasama dengan organisasi atau Universitas Top dunia. Adakah universitas top dunia akan percaya kepada kampus kecil yang suaranya nyaris tidak terdengar? Bagaimana nasib kerjasamanya ? Artinya peluang bagi universitas yang ingin menambah prodi baru sudah tertutup. 

Sudah tidak mungkin universitas tersebut berkembang sebelum dapat memperbaiki kualitas akreditasinya. Bersiaplah kampus kecil untuk mengembangkan jaringan ke tingkat global kalau tidak mau menjadi kampus kecil terus menerus. 

Untuk kampus yang sudah terakreditasi A atau B yang diwajibkan untuk menjalin kerjasama dengan organisasi atau universitas kelas dunia memang lebih mudah karena sudah memiliki kepercayaan dan universitas kelas dunia pasti tertarik untuk menjalin kerja sama dengan mereka. 

Kekhawatiran akan muncul bilamana kampus top dunia akan memberikan persyaratan dan membawa nilai-nilai liberalisasi kepada kampus-kampus di Indonesia. Komersialisasi pendidikan akan menjadi masalah baru yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 

Dapatkah hak rakyat untuk mendapat pendidikan berkualitas terpenuhi di tengah komersialisasi pendidikan ala barat? Selain itu pada ayat 4 disebutkan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 

Perlu kewaspadaan yang lebih tinggi bagi pengambil kebijakan bila Indonesia tidak tergilas oleh peradaban barat yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai peradaban Indonesia.

Sistem Akreditasi dan re-akreditasi untuk Perguruan Tinggi akan diperbaharui secara otomatis dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan program studi yang siap naik peringkat. Sukarela adalah kata yang manis untuk didengar. Tetapi kata sukarela akan menjebak kampus kecil untuk tetap menjadi kecil karena tidak ada tantangan untuk berubah.

Kampus seperti ini lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat karena masyarakat sudah diberikan banyak pilihan karena kampus pesaingnya yang sudah terlebih dahulu memperoleh akreditasi A atau B akan terus membuka prodi baru dan masyarakat akan memilih prodi yang mereka sukai di kampus tersebut. Jebakan untuk mati pelan-pelan bagi kampus kecil sudah di depan mata. Masih bersyukur kalau bisa tetap bertahan hidup.

Kemudahan kampus negeri menjadi “Badan Hukum”, tanpa melihat status akreditasi. Sama saja artinya menjadikan kampus negeri beroperasi seperti layaknya universitas swasta. Pemerintah sudah tidak lagi dapat membantu dan mensubsidi kampus negeri seperti sekarang ini. Setiap uang yang diterima oleh kampus negeri dapat dianggap sebagai “Penyertaan Modal Negara” di bidang pendidikan dan harus mendapatkan keuntungan sebagai kosekuensi dari Badan Hukum tersebut. 

Mengganti sistem kredit semester (SKS) menjadi program kerja luar kelas. Program ini sangat menarik dan memberikan peluang bagi mahasiswa untuk siap bekerja pada bidang usaha yang mereka minati. 

Semua kampus dipaksa untuk menjalin kerjasama dengan dunia usaha untuk dapat menampung seluruh mahasiswanya yang wajib kerja praktek di perusahan tersebut dengan jangka waktu yang cukup lama. Program yang terakhir ini cukup popular untuk diterapkan dan sangat menguntungkan bagi mahasiswa. 

Program ini berlaku untuk seluruh Kampus dan seluruh akreditasi. Tetapi bagaimana dengan kampus kecil ? Mereka harus siap. Karena kalau tidak siap, maka masyarakat akan meninggalkan kampus tersebut dan kampus tersebut akan menjadi sebuah kenangan. Semoga ulisan ini menjadi inspirasi untuk berbenah. Astungkara.

Penulis:

Dr. A.A.Ngr.A. Wira Bima Wikrama, ST.,M.Si.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 
Universitas Mahendradatta

bimawikrama65@gmail.com

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami