search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Politik “Diam” Desa Adat
Minggu, 9 Agustus 2020, 20:00 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Desa adat begitu banyak mengundang kepedulian berbagai pihak. Salah satunya yang paling peduli dengan kelangsungan desa adat adalah pemerintah Provinsi Bali. Selain telah mengeluarkan Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, kebijakan penanganan pandemic berbasis desa adat, kini keluar Kembali Pergub No. 26 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat).

[pilihan-redaksi]
Keluarnya Pergub ini berdasarkan pertimbangan bahwa sangat diperlukan pengamanan wilayah (wewidangan) dan krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu berbasis desa adat yang dibangun secara terpadu. Tujuannya adalah menjadikan pedoman untuk mengintegrasikan dan menyinergikan pelaksanaan kegiatan komponen sistem pengamanan lingkungan masyarakat berbasis desa adar dalam satu kesatuan wilayah, satu pulau, satu pola, dan satu tata kelola. 

Gubernur Koster dalam penerbitan Pergub ini mengungkapkan bahwa tujuannya adalah untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan ketentraman lingkungan serta perlindungan wilayah dan krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan perangkat mewujudkannya dari tingkatan desa adat hingga provinsi. 

Oleh sebab itulah, Sipandu Beradat akan dibentuk di desa adat, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Di desa adat, komponen Sipandu Beradat meliputi unsur pecalang, pelindungan masyarakat (linmas), Bhayangkara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), dan/atau pam swadaya terdiri daru satuan pengamaan (satpam), dan/atau Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda). Untuk di kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi beranggotakan unsur-unsur lembaga sesuai tingkatannya. Dalam melaksanakan tugas pengaman, komponen Sipandu Beradat dapat berkoordinasi dengan unsur-unsur lembaga sesuai tingkatannya. 

Nuansa pengawasaan dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban sangat terasa dari Pergub ini. Diuraikan bahwa Forum Sipandu Beradat memiliki fungsi freemtif yaitu mengumpulkan data yang berpotensi memunculkan situasi gangguan ketertiban, ketentraman, keamanan, dan kerawanan social. Disamping menerima laporan, juga dilakukan analisis data dan laporan, serta melaporkan temuan atau potensi gangguan kepada pejabat yang berwenang. Hal lain yang dilakukan adalah menyampaikan rekomendasi peneyelesaian masalah serta laporan berkala atau sewaktu-waktu bila diperlukan. 

Kegiatan preventif dilakukan terbatas pada tingkat desa adat. Tugas dari Sipandu Beradat ini adalah pengaturan lalu lintas dalam kegiatan adat, budaya, keagamaan. Disamping itu juga penjagaan lokasi tempat hiburan yang rawan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pengawasan terhadap kegiatan kemasyarakat juga dianggap penting dengan melakukan kegiatan patrol ke tempat-tempat yang berpotensi rawan keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat. 

Lembaga pemerintah daerah, lembaga swasta, usaha dan jasa pariwisata yang ada di wewidangan desa adat dapat memberdayakan pecalang dan/atau Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda) desa adat untuk mendukung keamanan di instansi masing-masing. Pihak-pihak yang menggunakan jasa pecalang dan Bankamda wajib untuk memberikan kontribusi kepada desa adat (Bali Post, 14 Juli 2020). 

Perda Desa Adat dan Pergub Sipandu Beradat semakin menambah instrumen yang menjadikan desa adat sebagai obyek pengaturan. Kepengaturan adalah sebuah kerangka berpikir yang kemudian diterjemahkan menjadi keinginan untuk “mengarahkan” sebuah obyek yang dibayangkan menuju kebaikan. Dalam kepengaturan yang diterjemahkan dalam Perda dan Pergub tersebut, terjadi “pemisahan” yang tegas (melalui aturan) antara kelompok yang mengaku faham bagaimana seharusnya desa adat diberdayakan (birokrat, politisi, dan elit atau tokoh adat), dengan orang-orang Bali di desa adat yang dianggap harus diberdayakan. 

Ketika program berjalan, para wali masyarakat, (yang mengaku) elit-elit desa atau diangkat oleh negara sebagai tokoh adat, mengambil alih kekuasaan atas nama desa adat di Bali. Para elit desa adat ini mulai melakukan perhitungan dan kalkulasi ekonomi politik dalam perencanaan mereka terlibat dalam usaha pemberdayaan desa adat dimaksud (Tania Li, 2012). 

Mengikuti perspektif ilmu politik, Dwipayana (2004:75-77) mengungkapkan agar desa adat semestinya diposisikan dengan ruang atau arena terbuka bagi demokratisasi lokal. Dalam membuka ruang demokrasi, desa adat semestinya membiasakan diri dan terbiasa terhadap kultur perbedaan. Dalam konteks inilah, sudah saatnya desa adat berpolitik. Desa adat yang berpolitik merupakan loncatan paradigma dari cara berpikir Orde Baru yang monolitik dan kooptasi semua lapisan masyarakat demi ketertiban dan keamanaan. Hak berpolitik desa adat semestinya juga tidak diletakkan pada level individu tetapi juga komunitas.   

Usaha membuat desa adat melek dan memiliki kesadaran politik tentunya menghadapi tantangan yang besar. Alih-alih membuat desa adat berpolitik, saya melihat desa adat kini dengan berbagai kepengaturan justru “dipolitiki”. Tapi anehnya, dalam kondisi kooptasi dari berbagai arah ini, justru desa adat melakukan politik diam seribu bahasa. Politik diam ini mengundang seribu pertanyaan. 

Apakah desa adat betul-betul mandul dan tidak menyadari dirinya dikooptasi? Atau justru dianggap sebagai suatu keniscayaan bentuk “pemberdayaan” dan “kepedulian” terhadap desa adat yang dilakukan oleh negara? Kenapa desa adat begitu tertib dan kompak untuk “diam” seribu bahasa? Tidak adakah pekrimik (pergunjingan) ataupun dinamika di internal desa adat untuk mempertanyakan berbagai bentuk usaha kepengaturan ini? 

Begitu kuatkah intervensi negara sehingga desa adat begitu tunduk? Tidak adakah pemikiran kritis yang datang dari internal desa adat? Ataukah serangkaian kepengaturan tersebut menjadi peluang bagi oknum dan sebagian elit desa adat untuk mengais rejeki dengan menggerogoti desa adat? Sebagian kecil pertanyaan tersebut pastinya menunggu sebuah jawaban. Meski sumir pasti akan memantik sebuah jawaban.    

Politik diam desa adat mengundang pertanyaan besar. Saya melihat ini adalah tantangan terbesar dalam mendinamisasi politik kebudayaan Bali yang terbuka dan juga bermartabat. Desa adat memiliki vitalitas dan modal social yang lengkap untuk memerankan diri sebagai komunitas masyarakat sipil Bali yang berintegritas. Hal ini tentu saja penting untuk menandingi gurita oligarki yang lambat laun semakin menunjukkan jati dirinya. 

I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami