Ogoh-ogoh, Degradasi Budaya, dan Ancaman Kapitalisme Global
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BADUNG.
Kultur Bali dibangun oleh dua spirit penting, yakni taksu (genuine cretivity) dan jengah (competitive pride). Kedua spirit ini memberi dorongan kepada seluruh masyarakat Bali untuk berkreativitas dan berinovasi, salah satunya Ogoh-ogoh.
Tentu, penghentian kegiatan ngarak Ogoh-ogoh menutup ruang bagi kreativitas dan inovasi tersebut. Namun juga perlu diingat bahwa Bali juga memegang teguh prinsip Desa, Kala, Patra, bahwa ruang, waktu, dan kondisi sosial harus menjadi pertimbangan dalam setiap aktivitas dan kreativitas.
"Kita harus sadari bahwa situasi pandemi tidak memungkinkan untuk itu. Jadi, akan sangat bijak jika kita melihat dan memaknai kondisi ini sebatas "Jeda” dalam bahasa Bali disebut “mesandekan” berhenti untuk sementara, dan akan dilanjutkan ketika kondisi sudah kondusif," papar, Guru Besar Tetap Bidang Epistemologi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. AA Ngurah Anom Kumbara, MA, Rabu,(26/1) di Badung.
Jangan sampai kreativitas itu terhenti sama sekali atau berkelanjutan. Maka, lembaga adat dan pemerintah perlu memastikan bahwa penghentian ngarak ogoh-ogoh selama pandemi hanya “jeda”.
"Atau untuk sementara dan ruang itu akan dibuka kembali ketika semuanya sudah normal kembali," katanya.
Orang Bali (Hindu) terikat dengan kewajiban swadhama agama dan swadharma negara, keduanya harus berjalan beriringan, tidak boleh yang satu mendominasi atau menapik yang lain. Dengan kondisi pandemi yang masih fluktuatif, apalagi dengan kasus Omicron sekarang tentu kewaspadaan harus terus ditingkatkan.
"Saya rasa, kepatuhan terhadap protokol kesehatan masih menjadi solusi alternatif yang paling niscaya saat ini. Masyarakat sebagian besar juga sudah divaksin, sehingga kegiatan adat, budaya, dan agama yang bersifat komunal, tampaknya sudah cukup layak dinormalisasi kembali. Namun dengan catatan, Prokes tetap harus dipatuhi dan pengawasan oleh pemerintah bersama masyarakat terkait dengan disiplin Prokes juga harus tetap dilakukan," bebernya.
Kalau kita melihat karakteristik budaya masyarakat Bali yang ekspresif dan komunal, tentu pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi ini akan berdampak terhadap berbagai kegiatan adat dan budaya Bali. Tetapi kalau sampai melunturkan adat dan budaya Bali, saya rasa tidak, karena budaya itu dinamis, ia selalu bergerak untuk menemukan model baru yang lebih sejalan dengan semangat zaman.
"Menurut saya pembatasan kegiatan itu baru menyentuh dimensi aktivitas dan artefak budaya, bukan pada tataran nilai budaya sebagai wujud kebudayaan yang paling esensial. Jadi, selama masyarakat Bali masih menjadikan Tri Hita Karana sebagai prinsip dasar dalam berkebudayaan, saya kira budaya Bali masih akan ajeg. Persoalan degradasi budaya itu pasti terjadi, bukan hanya karena pandemi, tetapi ada banyak faktor penyebab yang lain. Kedepannya kapitalisme global justru yang patut diwaspadai sebagai determinant perubahan adat dan budaya Bali," paparnya.
Sesungguhnya pengertian atau makna "Ajeg" ini masih debatable, apakah ajeg itu dimaknai sebagai sesuatu yang 'tidak berubah tetap seperti semula' atau 'langgeng dalam perubahannya'.
"Saya lebih memilih pada pengertian kedua karena setiap kebudayaan pasti berubah. Dalam konteks ini perubahan kebudayaan Bali harus dilihat dari dua segi, yakni sebagai bentuk adaptasi dan artikulasi identitas. Dari segi adaptasi, segala perubahan yang terjadi saat ini dapat dipandang sebagai cara orang Bali beradaptasi dengan spirit zaman, khususnya perkembangan IPTEK. Sebaliknya, dari segi artikulasi identitas, saya melihat justru masyarakat Bali semakin bangga dengan identitas budayanya," katanya.
Walaupun juga harus ditelusuri lebih dalam, apakah kebanggaan ini murni karena kesadaran ataukah sekadar terbawa arus global dan trend zaman di mana konstruksi identitas berbasis etnis dan agama memang semakin menggejala akhir-akhir ini. Namun di balik kedua aspek tersebut, justru kekuatan besar yang harus diwaspadai orang Bali saat ini adalah kekuatan neo-kapitalisme yang bergerak bersamaan dengan Financescape, atau masuknya investasi global.
"Kalau ini tidak diantisipasi akan sangat berbahaya bagi kebudayaan Bali ke depan, karena kekuatan material dapat mengubah orientasi hidup dan cara pandang orang Bali terhadap kebudayaannya," ucapnya.
Dirinya berharap, mungkin tidak jauh berbeda dengan para pendahulu, khususnya Prof. Mantra, bagaimana kebudayaan Bali ini berlanjut dalam perubahan (Continuity in Change). Bagaimana orang Bali memiliki identitas budaya yang kuat berlandaskan nilai Tri Hita Karana dan hidupnya sejahtera.
"Mungkin itu harapan ideal saya. Untuk mencapainya upaya sinergi pemerintah dan masyarakat dalam merancang pembangunan Bali yang berkelanjutan dengan mengedepankan potensi-potensi, serta kearifan lokal masyarakat Bali menjadi hal yang penting," katanya.
Anom menambahkan, orang Bali harus belajar dari tren kebangkitan budaya di tingkat global, bahwa konsepsi kesejahteraan dan kebahagiaan harus dirumuskan oleh orang Bali sendiri berdasarkan nilai-nilai budayanya.
Reporter: bbn/aga