Rusia Hukum Puluhan Pejabat Yang Desak Putin Dipecat
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Sekelompok pejabat lokal St. Petersburg, Rusia, menghadapi kemungkinan pembubaran dewan distrik masing-masing setelah mendesak Presiden Vladimir Putin untuk turun jabatan.
Salah satu pejabat perwakilan St. Petersburg, Nikita Yuferef mengatakan pengadilan Rusia memutuskan serangkaian pertemuan dewan distrik di daerah itu dalam beberapa waktu terakhir tidak sah. Ini membuka jalan bagi gubernur daerah untuk membubarkan dewan-dewan tersebut.
Yuferev merupakan satu dari setidaknya 84 pejabat lokal Rusia yang mendukung petisi mendesak Putin mundur sebagai presiden. Petisi itu menganggap Putin telah mengkhianati dan merugikan negara.
Anggota dewan distrik lainnya, Dmitry Palyuga, juga mengaku pengadilan telah menjatuhkan denda 47.000 rubel (Rp11,3 juta) karena "mendeskriditkan" pihak berwenang dengan menyerukan pemecatan Putin.
Sementara itu, empat anggota dewan lokal Smolninskoye juga diminta hadir di pengadilan dalam dua hari ke depan.
Pejabat pengadilan Rusia tidak dapat dihubungi saat dimintai tanggapannya.
Pekan lalu, puluhan pejabat perwakilan daerah mengimbau Duma atau parlemen Rusia menuntut Putin dengan tuduhan pengkhianatan terhadap negara.
Desakan itu tertuang dalam sebuah petisi yang per Senin pekan ini telah diteken oleh setidaknya 84 pejabat perwakilan daerah di Rusia, seperti dikutip Moscow Times. Namun, Reuters melaporkan sejauh ini petisi itu sudah diteken 65 orang.
Dalam petisi itu, para pejabat daerah menganggap Putin telah merugikan negara mulai dari militer hingga perekonomian gegara sanksi Barat imbas invasi Rusia ke Ukraina.
Palyuga mengatakan kepada Reuters pada Selasa (13/9), petisi ini ditujukan tidak hanya bagi pejabat Rusia berhaluan liberal, tetapi juga kepada "orang-orang yang setia" kepada rezim Putin namun mulai ragu ketika invasi Moskow ke Ukraina tidak kunjung berhasil.
Seruan agar Putin mundur ini memang muncul saat pasukan Rusia kewalahan menghadapi serangan balik Ukraina. Tentara Rusia bahkan menyerah dan mundur dari beberapa wilayah di timur Ukraina, terutama Kharkivdan Luhansk.
Desakan ini juga semakin didorong setelah dugaan kecurangan terjadi dalam pemilihan lokal dan regional baru-baru ini di Rusia. Palyuga mengatakan dia memperkirakan pejabat Rusia yang mendukung petisi akan terus meningkat.
"Tentu saja, apa yang terjadi sekarang telah berhasil sesuai dengan agenda kami. Banyak orang yang menyukai Putin mulai merasa dikhianati. Saya pikir semakin sukses tentara Ukraina beroperasi, semakin banyak orang seperti itu (yang mendukung petisi)," katanya.
Saat ini, petisi tersebut memang belum menimbulkan ancaman langsung terhadap cengkeraman kepemimpinan Putin. Namun, desakan Putin mundur menandai perbedaan pendapat tetap ada dalam pemerintahan Rusia meski jarang dilakukan oleh pejabat karena risiko hukuman penjara yang berat.
Sebab, sejak invasi Rusia ke Ukraina berlangsung, rezim Putin mengesahkan undang-undang yang memungkinkan negara menghukum siapa saja yang dinilai "mendiskreditkan" angkatan bersenjata atau menyebarkan "informasi palsu yang disengaja" tentang pemerintah.
Sejak invasi Rusia terjadi, Moskow telah menghukum ribuan orang yang dinilainya telah mendiskreditkan militer dan negara, biasanya hukuman pertama berupa denda.
Namun, seorang anggota dewan distrik Moskow telah divonis tujuh tahun penjara karena dinyatakan bersalah menyebarkan "informasi palsu" soal perang di Ukraina. Beberapa wartawan dan tokoh oposisi Putin lainnya juga telah didakwa dan menghadapi kemungkinan hukuman penjara.
Merespons petisi itu, juru bicara Istana Kepresidenan Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan sudut pandang kritis seperti ini ditoleransi dalam batas-batas hukum yang ada.
"Selama mereka tetap berada di dalam hukum, ini pluralisme, tapi garisnya sangat-sangat tipis, orang harus sangat berhati-hati di sini," ucap Peskov.(sumber: cnnindonesia.com)
Editor: Juniar
Reporter: bbn/net