search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kenakalan Remaja Menjadi Kejahatan Remaja, Mana Orang Tua Mereka?
Rabu, 28 Agustus 2019, 11:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Peristiwa kericuhan di kafe yang berujung hilangnya nyawa pada Minggu, 26 Agustus 2019 menggemparkan publik Bali. Dua tersangka pelaku merupakan remaja dan tergolong anak di bawah umur (15 tahun). 
 
[pilihan-redaksi]
Tempat kejadian perkara (TKP) berlangsung di kafe di daerah Abiansemal, Badung. Yang lebih mengiris mata hati, peristiwa itu terjadi pada jam 02.00 dini hari, di mana waktu tersebut semestinya mereka tidur lelap mempersiapkan hari esok untuk sekolah. Peristiwa itu belum genap seminggu (terjadi pada 21 Agustus 2019) setelah remaja berinisial KJ (18 tahun) dari Jembrana tega menusuk sesama remaja berinisial ED (19 tahun).
 
Berdasarkan penyidikan sementara, keributan dipicu kesalahpahaman seusai minum minuman keras. Ini artinya, konflik bukanlah dilatarbelakangi masalah ideologis, suku, agama, ras dan antar golongan. Ini lebih pada kenakalan remaja. 
 
Masa remaja merupakan masa di mana anak akan menunjukkan aktualisasi diri dan eksistensi diri, agar menunjukkan diri paling menonjol. Memang demikianlah karakter remaja dari sudut psikologis. Lalu jika kenakalan remaja masih bisa dimaklumi, mengapa kenakalan ini seperti berubah menjadi kejahatan?
 
Sebagian dari kita tentu akan menyalahkan orang tua kandung mereka. Memang betul, sesuai peraturan yang ada, anak yang berada di bawah umur memang masih berada di bawah tanggung jawab orang tua. Lalu pertanyaannya, mengapa mereka bisa masuk ke kafe? Apakah masuk ke kafe bebas tanpa menunjukkan identitas/cukup umur? Apakah tidak ada pembatasan waktu? Apakah tidak ada monitoring dari pihak berwenang?
 
Sebagai sistem sosial masyarakat yang kental akan tradisi dan budaya, Bali sesungguhnya memiliki catur guru (empat guru) atau orang tua (orang yang dituakan) sebagai penuntun moral dan pengetahuan bagi masyarakat. Guru rupaka merupakan orang tua si anak yang mendidik sejak lahir, selanjutnya guru pengajian (guru di sekolah yang mendidik ilmu dan moral), guru wisesa (pemerintah yang berwenang menata regulasi dan menegakkan aturan), serta tentu saja semua atas izin guru swadhyaya atau Tuhan selaku pencipta. 
 
Sebagai orang tua, kasih sayang pada anak hendaklah dalam, namun bukan berarti berlebihan. Entah mengapa remaja berumur 15 tahun sudah mengendarai sepeda motor dan bisa masuk kafe pada malam hari. Tentu saja mereka telah dibekali uang oleh orang tuanya. Mengapa pula ada umur 19 tahun keluar membawa pisau. Dengan segala hormat perlu disampaikan bahwa anak adalah belahan jiwa, namun dengan memberi kasih sayang dan kebebasan berlebih, justru bisa mengancam jiwa anak bahkan jiwa-jiwa yang lain.
 
Apalagi didukung dengan sistem kafe atau sejenisnya yang buka malam hari. Penting ditanamkan prinsip pada pengelola bahwa kafe yang buka pada malam hari tentu mengharapkan pengunjung yang dewasa, bukan anak-anak yang sedang menggelorakan hasrat dewasa. Dengan mengabaikan batas usia, pengelola berandil besar mewujudkan dunia anak yang tertukar. Apalagi sebagian tersangka melakukan aksinya dengan membawa pisau. 
 
Bali seolah menjadi pulau wajib militer. Potensi ini bisa menjauhkan identitas Bali sebagai wilayah wisata yang damai. Oleh karenanya, razia-razia senjata tajam juga perlu dilakukan secara rutin oleh aparat.
 
Pengelola yang membandel juga harus ditindak tegas. Berbagai regulasi yang dibentuk pemerintah maupun pararem di desa adat telah mengatur norma-norma hukum maupun norma-norma kesusilaan. Aturan itu sebenarnya telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaannya agar berkelanjutan. Senator Arya Wedakarna juga telah melontarkan kritik konstruktif serta telah direspon cepat oleh Bupati Badung dengan memerintahkan menutup seluruh kafe remang-remang yang ada di wilayahnya, diharapkan jajaran di bawahnya juga memiliki respon yang tak kalah sigap. 
 
Respon cepat ini kiranya perlu menjadi cambuk bagi instansi terkait agar kejadian serupa tidak terulang dan memberi efek jera pada pelaku. Apalagi masa depan para korban maupun tersangka masih panjang.
 
Mereka (korban maupun pelaku) mayoritas adalah remaja dengan status pelajar/mahasiswa. Beberapa tahun terakhir pemerintah (Kemdikbud) berupaya menitikberatkan proses-proses pendidikan dengan tidak hanya menguatkan kemampuan 4K (kritis, kreatif, kolaboratif, komunikasi), namun juga berkarakter (berakhlak mulia).
 
[pilihan-redaksi2]
Pendidikan bertujuan memanusiakan manusia, membentuk manusia seutuhnya. Oleh karenanya, sinergi mutlak diterjadikan. Sekolah perlu mempertegas implementasi karakter, tidak hanya dengan doktrinisasi tapi dengan pembiasaan-pembiasaan yang mempererat jiwa-jiwa Pancasila.
 
Sistem pendidikan yang baik bisa terwujud jika reward (penghargaan) and punishment (hukuman) bisa diterapkan secara terukur. Satu kasus yang muncul harus mendapat perhatian serius dari “para guru”, tidak bisa dianggap kasus kecil apalagi ringan, dan perlu kita kawal hingga tuntas agar tak menimbulkan kenakalan-kenakalan lain yang menebar benih-benih dan inspirasi-inspirasi kejahatan. 
 
Pada tahun 2030 nanti, Indonesia akan memasuki bonus demografi. Artinya usia produktif (15-60 tahun) akan lebih banyak dari pada usia tidak produktif. Kini pendidikan kita sedang diuji, apakah para guru (dari segala lini) bisa memainkan perannya masing-masing. Masih ada waktu dan semoga belum terlambat.
 
Penulis
 
I P. G. S. Tubuh Wibawa
 
Guru SDN 3 Mengwi 
Mahasiswa Program Pascasarjana Undiksha

Reporter: bbn/eng



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami