Saksi Ungkap Kesepakatan di Balik Kasus Reklamasi Pelabuhan Benoa
Senin, 15 Juli 2019,
22:00 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Sidang dugaan penipuan proyek pembangunan di Pelabuhan Benoa dengan terdakwa mantan Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, AA Ngurah Alit Wiraputra, berlangsung cukup alot, Senin (15/7) di PN Denpasar.
[pilihan-redaksi]
Sidang yang berlangsung lebih dari 3 jam itu di gelar di ruang Tirta dengan menghadirkan saksi korban, Sutrisno Lukito Disastro. Selain saksi korban, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Made Raka Arimbawa,SH juga menghadirkan dua saksi lain yakni Made Jayantara dan Wayan Chandra Wijaya.
Dalam penyelidikan di kepolisian nama dua orang saksi ini disebutkan oleh terdakwa sebagai pihak yang juga turut menerima aliran uang. Di muka sidang pimpinan IA Adnya Dewi,SH.MH pengusaha dari Jakarta ini bercerita awal kenal dengan Alit yang dikenalkan oleh saksi Candra. Korban selaku developer saat itu berencana melakukan reklamasi di Pelabuhan Benoa dengan luasan 400 hektare.
Akhir 2011, kata saksi korban, mereka berempat bertemu di rumah Jayantara untuk membahas urusan segala ijin. "Pak Alit bilang orang kepercayaan Gubernur (Made Mangku Pastika), katanya sebagai anak angkat. Pak Alit mengatakan bisa tuntaskan segala ijin baik dari pemerintahan, DPRD tingkat 1 dan 2, sampai ke tingkat desa adat,"ungkap saksi korban.
Saksi menyebut jika terdakwa dijanjikan waktu enam bulan untuk beresnya ijin tersebut. Bajkan untuk segala urusan hingga tuntas dimintai uang Rp 30 miliar termasuk biaya operasional.
"Terdakwa Alit minta saham 15 persen dengan nilai Rp 50 miliar jika usaha reklamasi itu berhasil. Selain saham, Pak Alit juga minta jabatan di perusahaan (PT. Segi Tiga Emas) yang akan terbangun setelah reklamasi itu dan Candra sebagai dirutnya," ungkap saksi Korban.
Pada intinya saksi memberikan kepada terdakwa uang sebesar Rp16,1 miliar yang diserahkan secara bertahap. "Saya lupa pemberian melalui transfer atau tunai," akunya.
Hingga enam bulan sebagai yang dijanjikan Alit berakhir, ijin yang diharapkan tak kunjung keluar. Tahun 2016, saksi Jayantra kembalikan uang Rp 2,5 miliar kepada korban.
Kata saksi korban, saat itu Jayantara mengingatkan dirinya kalau ada kejanggalan, pasalnya tanda tangan terdakwa di KTP dengan di kesepakatan yang diteken dulu berbeda.
Termasuk pada dua cek yang diberikan Alit ke Jayantara berbeda. Hal ini juga dibenarkan saksi Jayantara saat memberikan keterangan berikutnya.
Korban lewat pengacaranya Agus Sujoko sempat berupaya menyelesaikan masalah ini agar tak sampai ke persidangan.
[pilihan-redaksi2]
"Saya tidak menginginkan sampai seperti ini. Sempat sebelumnya saya minta agar dapat 80 hekar dari 400 hektar saja. Tidak apa kalau uangnya sudah terpakai. Tapi tak kunjung bisa juga. Dua kali somasi untuk kembalikan uang, tak bisa juga sampai sekarang,"imbuhnya.
"Saya tidak menginginkan sampai seperti ini. Sempat sebelumnya saya minta agar dapat 80 hekar dari 400 hektar saja. Tidak apa kalau uangnya sudah terpakai. Tapi tak kunjung bisa juga. Dua kali somasi untuk kembalikan uang, tak bisa juga sampai sekarang,"imbuhnya.
Sementara terdakwa Alit menyebut jika dalam kesaksian saksi korban dengan Jayantara ada yang ditutupi. Termasuk mengenai pembuatan draf mengenai pengurusan ijin yang dibuat Jayantara.
"Draf itu sudah dibuat sebelum Jayantara kami bertemu. Dalam draf nama yang terpakai Sandoz, tapi karena sebagai anak gubernur, Jayantara pakai nama saya. Saya sebetulnya sudah tidak mau, saya baru teken tiga bulan berikutnya karena lama berpikir," ucapnya usai sidang. (bbn/maw/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/maw