search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
“Penerapan Legalitas Kayu Seharusnya Tak Pukul Rata”
Jumat, 7 Oktober 2011, 09:22 WITA Follow
image

Beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Implementasi legalitas kayu dalam suatu aturan system verifikasi legalitas kayu (SVLK)  menjadi mimpi buruk bagi para pengerajin di Bali. Termasuk para pengerajin kayu yang memanfaatkan kayu buangan atau sisa. Padahal SVLK merupakan suatu kewajiban agar kerajinan kayu dapat diterima pasar internasional. Walau implementasi SVLK sesuai permenhut no. 38 tahun 2009 masih tahap revisi dan efektif berlaku 2013 mendatang, namun para pengerajin mulai was-was akan nasib mereka.

Melihat fenomena tersebut Yayasan Lingkungan Kehati meminta kepada pemerintah untuk mengkaji kembali penerapan SLVK. Terutama  terkait implementasi SVLK pada kawasan hutan rakyat atau perkebunan skala kecil dan pengerajin kayu rumahan. Direktur Eksekutif Kehati M.S. Sembiring  berharap penerapan SVLK tidak disamakan antara perusahaan dan usaha kecil yang dikelola oleh masyarakat

“Kita tentu harus melihat simpul-simpul mana yang bisa dipersingkat, dipermudah dan disederhanakan dan kalau boleh diminimalisasikan biayanya, mungkin kalau hutan rakyat begitu, mungkin prosesnya tidak perlu panjang begitu, diharapkan kalau bisa jangan sampai membebani kepada masyarakat lain kalau itu pengusaha besar,” kata M.S. Sembiring.

Sembiring  menegaskan pemerintah harus berani membuat suatu trobosan baik dalam bentuk insentif atau subsidi bagi membantu masyarakat kecil mendapatkan SVLK. Hal senada disampaikan Ketua Harian Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda)  Bali Gede Darmaja. Menurut Darmaja, pemberlakuan yang pukul rata hanya akan mematikan usaha kerajinan rumahan terutama kerajinan yang memanfaatkan kayu buangan atau sisa.

Darmaja berharap pemberlakuan SVLK untuk kerajinan rumahan dengan kayu sisa atau buangan tidak disamakan dengan industri dalam skala besar. Bahkan seharusnya sertifikasi legalitas diberikan secara gratis.

“Kita usulkan ke pusat, karena tadinya itu kayu tidak terpakai, termasuk akar ini, kita akan usulkan apakah bisa tidak dimasukkan dalam klasifikasi itu, kemudian kalau misalnya bisa mungkin memerlukan perhatian khusus, apakah digratiskan barangkali tetapi sertifikatnya ada, sebetulnya pengerajin Bali yang sebetulnya kelas UKM, sangat sulit untuk melakukan sendiri,” papar Gede Darmaja.

Berbeda dengan Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya yang menilai implementasi SVLK rawan terhadap pungutan liar (pungli). Mengingat sistem birokrasi di Indonesia dari tingkat desa hingga pusat cenderung berbelit-belit.

Arjaya menyatakan pemerintah harus berani memastikan tidak ada pungli berjaringan yang muncul dalam penerapan kebijakan SVLK. Sebab jika pungli terjadi maka usaha masyarakat akan mengalami kebangkrutan, apalagi usaha kerajinan kayu buangan atau sisa yang ada di Bali.

“Maksudnya begini tetap harus diatur, cuma jangan sampai ada pungutan yang berlebihan, ini akan membunuh kreativitas masyarakat, penguasa kita kan kebanyakan dari pengusaha, dari mana mendapatkan duit dan menguntungkan mereka kan itu yang mereka lakukan,“ tegas Made Arjaya.



Arjaya berharap pemerintah tidak hanya membuat aturan atau kebijakan tetapi juga melakukan evaluasi dan pengawasan hingga ke tingkat bawah.

Sedangkan Pemerintah propinsi Bali mempertimbangkan untuk menggratiskan sertifikasi legalitas kayu khusus kerajinan berbahan dasar kayu buangan. Rencana kebijakan tersebut guna membantu para pengerajin berbahan dasar kayu buangan atau sisa di Bali. Apalagi pemanfaatan kayu buangan atau sisa oleh pengerajin telah membantu dalam upaya pengurangan sampah di Bali.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan sudah menjadi tuntutan dunia bahwa semua produk berbahan kayu menunjukkan legalitasnya dalam bentuk system verifikasi legalitas kayu (SVLK). Namun para pengerajin kecil harus dibantu melalui suatu terobosan sehingga para pengerajin tersebut tetap bisa berkreatifitas dan produk yang dihasilkan juga tetap legal.

“Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban itu, bahkan pemerintah bisa membantu baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, jadi jangan dulu kita mengatakan ini tidak perlu, karena dengan demikian kita berarti melegalkan atau menghidupkan suatu kegiatan yang illegal, tentu saja itu tidak menguntungkan bagi pergaulan kita di dunia internasional,” jelas Mantan Kapolda Bali ini.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan sudah menjadi kewajiban dari pemerintah untuk memastikan bahwa kerajinan dari kayu buangan tersebut memang benar-benar kayu buangan yang dimanfaatkan sehingga sudah seharusnya sertifikasinya digratiskan.

Berdasarkan data Dekranasda Bali tercatat dari sekitar 74 ribu unit usaha kerajinan rumahan di Bali, hampir 30 ribu unit usaha merupakan unit usaha berbasis bahan dasar dari kayu. (mlt)

Reporter: bbn/ctg



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami