BCW : Calon Gubernur Harus Punya Integritas dan Komit Bela Bali
Rabu, 13 Juli 2016,
18:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Untuk figur Gubernur Bali paska kekuasaan Made Mangku Pastika pada 2017 mendatang, masyarakat Bali mesti mampu mencari figur yang punya integritas serta komitmen sungguh-sungguh membela aspirasi masyarakat Bali.
Dari segi integritas, figurnya mestilah orang yang tidak punya cacat terkait kasus-kasus hukum yang mengaitkannya dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, harta kekayaannya dapat ditelusuri dan dipertanggungjawabkan secara transparan.
Sementara komitmen membela aspirasi masyarakat Bali sangat penting ditegaskan menghadapi gurita investor yang cenderung mengeksploitasi alam dan budaya Bali untuk kepentingan jangka pendek. Sehingga dampaknya tidak hanya merugikan masyarakat dan alam Bali dalam jangka panjang, tetapi juga mematikan investor-investor menengah sampai pengusaha kecil yang menopang keberlangsungan alam dan budaya Bali.
Ketua BCW (Bali Corruption Watch), Putu Wirata Dwikora menegaskan hal itu, menanggapi mulai munculnya figur yang disebut sebagai bakal calon untuk didukung menjadi ‘’Bali Satu’’. Diantaranya, kemunculan nama Wayan Koster, Ketua DPD PDIP Bali, yang didorong dan didukung untuk maju oleh petinggi PDIP di Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan.
‘’Sah-sah saja model manuver politik internal parpol dalam kontestasi pencalonan figur diantara mereka dan kami tidak mau mengomentari secara spesifik untuk nama tertentu, agar tidak bisa dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan para politisi yang mungkin saja bersaing. Tapi, parpol perlu mendengar aspirasi masyarakat sebelum putuskan mengusung calonnya dan masyarakat juga tidak boleh apatis ketika nama-nama sudah mulai muncul di bursa,’’ kata Putu Wirata.
Integritas kandidat sangat penting, mengingat sudah lebih dari 50% gubernur dan 325 lebih bupati/walikota di Indonesia, tersangkut kasus korupsi. Selain merupakan tanggung jawab partai politik yang merekrut calonnya, masyarakat yang terdiri dari eksponen perguruan tinggi, eksponen tokoh agama, tokoh adat, budayawan, seniman, perempuan dan lain-lain, tidak boleh diam dan menyerahkan seluruh proses di tangan partai politik.
‘’Masyarakat mesti ikut mengawasi proses pencalonan, agar kandidat yang dicalonkan partai adalah figur yang juga disukai rakyat selain disukai partai. Selain itu, tetap penting membangun karakter masyarakat yang punya integritas, yakni menolak politik uang terkait pemilihan kepala daerah. Budaya politik pemilihan kepala daerah di Indonesia sudah rusak berat, yang tercermin dari banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi,’’ lanjut Putu Wirata.
Kriteria berupa komitmen untuk berpihak pada aspirasi masyarakat semakin penting ditegaskan, karena pemilihan gubernur yang super mahal beayanya, membuka ruang masuknya investor-investor tertentu untuk ikut bermain, mengatur-ngatur proses pencalonan sesuai dengan kepentingannya.
‘’Ramainya pro-konta reklamasi Teluk Benoa dimana di satu sisi Pemprov Bali berkukuh mendukung reklamasi, sementara ratusan eksponen masyarakat Bali dan puluhan ribu krama desa adat menolak dengan rangkaian demonstrasi damai, jelas menunjukkan dikotomi itu. Pemprov terang-terangan berada di pihak investor dan tidak memberi sedikit pun ruang pada aspirasi masyarakat yang menolak, yang notabena dulunya pendukung dan mengantarkan gubernur sekarang ke tampuk kekuasaannya,’’ lanjut Putu Wirata.
Kata Putu Wirata, idealnya figur seperti itulah yang dicari untuk memimpin Bali ke depan. Soal apakah figurnya memang ada, Putu mengusulkan perlunya dilakukan survei independen untuk mengetahui aspirasi masyarakat Bali tentang figur calon gubernur Bali mendatang. Sebab, partai yang rasional tidak akan memaksakan figur tertentu untuk dicalonkan, kalau figur tersebut tidak cukup akseptabel dan populer di masyarakat.
Agar lebih komprehensif, figur yang dicalonkan hendaknya yang komitmen dan integritasnya sejalan dengan visi reformasi untuk membangun pemerintahan yang bersih dan baik, otonomi daerah yang benar-benar partisipatif sampai ke desa-desa.
Realisasi otonomi daerah di era reformasi ini masih lebih banyak menampakkan desentralisasi kekuasaan, bukan desentralisasi peran dan partisipasi masyarakat. Sebab, mayoritas APBN masih dikelola pusat, dan dari sebagian yang kewenangan yang diserahkan ke daerah, justru cenderung berimplikasi ‘’pemerataan korupsi ke daerah-daerah," tambahnya.[bbn/rls/psk]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/psk