search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Dibalik Letusan Gunung Agung 1963 [ Part I ]
Sabtu, 16 September 2017, 13:00 WITA Follow
image

ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Masyarakat Bali sedang menyelenggarakan upacara Eka Dasa Ludra, namun tiba-tiba Gunung Agung tak bersahabat dan masyarakat harus menghadapi bencana erupsi. 
 
Seperti namanya, Gunung Agung, bukan hanya sebagai gunung yang maha besar di Bali, namun juga sebuah gunung yang menjadikan seluruh masyarakakat Bali tunduk padanya. 
 
Dengan lokasi yang tersembunyi dan akses yang sulit, Gunung Agung dipercaya sebagai rumah para Dewa Bali, dewa Hindu seperti Tri Murti maupun dewa leluhur yang dipuja di setiap pura maupun rumah. Melihat dari sejarahnya, yakni dengan beberapa letusan fenomenal, dan mengerikan dari keperkasaan yang tiada banding, menjadikan Gunung Agung begitu diagungkan dan dikeramatkan. 
 
[pilihan-redaksi]
Dasyatnya kekuatan Gunung Agung terbukti dari letusan hebatnya di tahun 1963. 
 
Dalam catatan Anna Mathews, di buku Bali tempo Doeloe, oleh Adrian Cickers (2012), dijelaskan betul detail amukan Gunung Agung kala itu. Sementara, Anna Mathews sendiri sudah serupa penduduk Bali. Ia tinggal dengan suaminya tepat di sebuah desa terpencil lereng Gunung Agung. 
 
Dalam catatannya yang di tulis di tanggal 19 Februari 1963, diceritakan bahwa di tanggal 3 Maret nanti, masyarakat Bali akan menyelenggarakan upacara yang besar sekali dan biasa diadakan 100 tahun sekali, disebut dengan Eka Dasa Rudra. Upacara ini merupakan suatu ritual untuk 11 arah penjuru angin (di Bali). Persiapan telah dilakukan selama setahun penuh dan Bali kala itu hanya membicarakan satu hal, yakni pulau ini dalam keadaan rawan. 
 
Pendeta kemudian memutuskan setiap jasad harus dikeluarkan dari kuburnya dan dikremasi supaya setiap inci tanah menjadi bersih dan suci. Kremasi atau ngaben merupakan proses alamiah dalam kehidupan masyarakat Bali. Hanya melalui kremasi, sebuah jiwa dapat dibebaskan dari kungkungan tubuhnya dan dikirim ke sorga dalam keadaan suci. 
 
Biasanya, karena pelaksanaan ritual ini tergolong mahal alias mengeluarkan banyak biaya, maka hanya keluarga kaya dan berkasta yang dapat melaksanakan pelebon. Dalam rangkaian upacara ini, sanak keluarga biasanya akan menyimpan jasad di rumah sampai hari baik ditetapkan pendeta, berkisar antara beberapa minggu sampai enam bulan lamanya.
 
Sebaliknya, keluarga yang tidak cukup ekonomi, biasanya akan mengubur dulu jasad dan menyimpannya di kuburan hingga mereka dapat mengumpulkan uang dan keperluan sejenis. Jasad bisa berdiam dalam tanah selama bertahun-tahun. Saat dikeluarkan, yang tersisa hanya tumpukan tulang belulang yang kemudian akan diaben. 
 
Sementara, Ritual Eka Dasa Rudra justru meleburkan semua, kaya maupun miskin. Maka semua pemakaman pun dikosongkan. Ini merupakan bentuk prosesi ngaben massal. Jutaan rupiah harus dihabiskan untuk biaya pendeta, persembahan, menara, tandu, bermeter-meter kain putih, dan makanan untuk ritual serta tamu-tamu yang tidak dapat ditolak. 
 
Harga beras pun naik dua kali lipat lantaran banyaknya permintaan. Begitu pula, dengan para pemilik toko yang menaikkan harga kain putih. Pada saat ngaben, harga kayu lokal dan bambu melonjak dari kisaran yang tidak terkira. Namun, tanah Bali menjadi bersih seperti yang direncanakan dan rakyat menjadi bersukacita. Sebuah peristiwa yang hebat, sebagai pembauran jagat mayapada. Kala itu, masyarakat meyakini bahwa Bali akan dibuat ulang. 
 
Sebab, inti penyelenggaraan Upacara Eka Dasa Rudra lebih ke aspek spiritual ketimbang material. Melalui persembahan dan pemurnian yang melibatkan 11 penjuru, kekuatan alam dapat dipulihkan supaya selaras dengan manusia. Hal ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada para dewa. Dalam upacara ini, doa manusia diharapkan terkabul sehingga tercipta kebaikan dunia dan segala bencana alam yang dapat membawa kekacauan bagi manusia dapat dicegah. 
 
[pilihan-redaksi2]
Maka, pada 3 Maret, majelis dewa-dewa tertinggi siap meninggalkan Besakih melalui sebuah prosesi usungan dan turun ke lautb dekat Klungkung untuk melakukan mandi dan penyucian. Lalu, para dewa akan kembali ke Pura melalui tahapan yang mudah, sepanjang perjalanann menerima persembahan dan doa-doa. Begitu para dewa kembali ke pura, sejumlah upacara terpenting digelar selama sebulan atau lebih disertai dengan persembahan, musik, dan tarian. 
 
Bahkan sebuah desa dadakan dibangun di Besakih untuk menjamu tamu-tamu penting, pendeta, jemaat, dan pelancong. Desa dadakan ini lengkap dengan rumah makan, ruang informasi, bahkan klinik dan sebuah pos polisi yang besar. 
 
Saat itu, tidak ada yang menyangka akan datangnya bencana. Tak terbesit di benak siapapun bahkan sebelum upacara dimulai, Besakih akan ditutupi abu dan pasir. Maka, saat itu tak ada seorang pun yang dapat tidur nyenyak. Gunung Berapi menjadi sunyi. Penduduk desa tegang.[bersambung di tautan berikut] [wrt]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami