search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Matekap, Merawat Ibu Pertiwi Dengan Hati
Sabtu, 17 Februari 2018, 11:07 WITA Follow
image

Beritabali.com/mul

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, TABANAN.

Tradisi Matekap atau membajak lahan pertanian dengan menggunakan tenaga sapi atau kerbau hingga kini masih bisa di jumpai di beberapa wilayah pedesaan di Bali. Walaupun perkembangan teknologi telah menghadirkan sebuah mesin traktor, namun siapa sangka tradisi matekap merupakan bagian dari kearifan lokal dalam merawat ibu pertiwi.

Menurut Pengamat Budaya I Made Nurbawa, matekap terdiri dari  beberapa tahapan dan masing-masing tahapan memiliki sebutan berbeda yaitu: makal, mungkahin, ngelampit dan ngasahan. “Tahapan matekap menyesuaikan dengan kondisi lahan, kecepatan, waktu, minat dan kenyamanan kerja sehingga pola tanam bisa selaras dengan siklus sosial budaya masyarakat di wilayah setempat: jelas Nurbawa saat ditemui di Tabanan pada Sabtu (17/2/2018).

Nurbawa mengungkapkan jika dicermati matekap dengan teknis dan tahapan yang benar akan berdampak pada pelestarian ekosistem dan sumber daya air yang ada di sebuah kawasan persawahan. Dimana matekap membutuhkan volume air lebih sedikit dibandingkan menggunakan traktor. Sementara dengan traktor membutuhkan air lebih banyak sehingga petani pemilik lahan harus melakukannya secara bergantian karena terbatasnya air.

“petani bisa melakukannya dengan serempak dengan perbandingan 10 : 1 dibandingkan dengan traktor,” papar Nurbawa`

Begitu juga waktu yang dibutuhkan untuk matekap sekitar 5-6 jam. Petani juga lebih leluasa menyesuaikan dengan aktivitas lainnya. Petani memiliki waktu untuk mengurus hal lainnya termasuk aktivitas budaya di desanya. Agar bisa menyelesaikan pengolahan tanah secara keseluruhan dan tepat waktu berdasarkan perhitungan kertamasa di sebuah kawasan, traktor harus dioperasikan 10-12 jam. Dengan sendirinya hal ini akan berdampak pada kelembagaan, kenyamanan kerja serta SDM. “Hal ini lah salah satu penyebab mengapa banyak tenaga lokal sering tidak sanggup sehingga banyak sopir traktor dilakukan oleh tenaga luar, karena warga lokal harus membagi waktu untuk aktivitas sosial dan budaya lainnya” kata Nurbawa.

Nurbawa menjelaskan bahwa secara filosofis sapi adalah simbul kehidupan. Matekap juga merupakan sebuah kegiatan manusia dalam mempelajari atau mendekatkan diri dengan alam terutama dengan tanah sebagai simbul Ibu Pertiwi. Begitu juga secara alami sapi memang salah satu binatang yang suka hidup di alam terbuka untuk bergerak bebas, menyetuh air dan tanah (mekipu). Sapi akan membuang kotoran dan kencing di alam terbuka, dimana kotoran dan kencing sapi di areal sawah berguna sebagai pupuk alami.

Prilaku dan manfaat sapi yang digunakan matekap akan berbeda dibandingkan dengan yang di kandang. Sapi yang dikandang cendrung hanya untuk penggemukan dan produksi kotoran untuk pupuk. Sedangkan sapi yang digunakan untuk matekap memiliki manfaat lingkungan, ekonomi, social dan budaya yang sangat luas. “Sawah dengan luasan dan kemiringan tertentu, secara teknis pengunaan sapi jauh lebih unggul dan lebih mudah dibandingkan dengan penggunaan traktor.” Ujar Nurbawa.

Nurbawa menegaskan bahwa pada dasarnya matekap merupakan salah satu sarana untuk pendidikan dan regenerasi petani. Saat ngelampit misalnya, anak-anak petani banyak yang suka duduk di tengala. Disamping sebagai pemberat tambahan juga sebagai atraksi dan hiburan yang menyenangkan. Biasanya sambil bekerja di sawah anak dan orang tua berdialog tentang banyak hal. Selama proses inilah terjadi alih generasi dan pengenalan budaya pertanian dari orang tua ke anak-anaknya. Hal itu tentu sebuah proses pembelajaran alami yang menyenangkan bagi anak-anak. “Adanya rasa nau (senang) ke sawah salah satu faktor pendukung terjadinya regenerasi petani. Jadi sawah ibarat media pendidikan yang lengkap baik secara pandang, dengar dan rasa. Berbeda jika menggunakan traktor, anak-anak tidak bisa duduk diatas traktor, disamping bising juga berbahaya.” ” ungkap Nurbawa.

Matekap menjadi bukti bahwa petani bekerja selaras dengan alam, karena mengendalikan laju dan gerak sapi membutuhkan perhitungan, kecermatan dan konsentrasi. Hasil olah lahan akan lebih optimal jika antara petani dengan sapinya ada keakraban. Konon tekanan, kecepatan dan energi positif yang keluar dari si petani dan sapi akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kesuburan tanah.

Uniknya saat matekap petani memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan sapi menggunakan bahasa khusus. Dengan bahasa khusus tersebut petani  mengendalikan sapinya saat matekap. Hal ini sekaligus sebagai kode etik, seperti “Aiss”-sapi akan jalan. Kalau “ Yen” sapi akan berhenti. “Kek” Sapi akan belok kiri, “Cis” Sapi akan belok kanan dan lain sebagainya sambil mengerakan tali kunali.

Nurbawa memaparkan bahwa sapi ibarat binatang budaya, karena memberi dampak lingkungan dan membantu terciptanya harmoni pada ekosistem. Budaya pertanian dengan spirit subak ternyata sudah mempraktekan apa yang sering disebut dengan istilah “Bio Dinamik”-yaitu sebuah aktivitas pertanian yang dapat mengumpulkan energi positif dari seluruh aktivitas dan makluk hidup lainnya yang ada di areal sawah.

Energi positif tersebut nantinya diserap oleh tanaman padi dan terkumpul dalam bulir padi. Kelak jika berasnya di masak menjadi nasi atau makanan bisa memberi khasiat positif dan penyembuhan beragam penyakit. Bulir padi yang sehat untuk makanan, benih, keseimbangan ekosistem, kemartabatan budaya dan sebagainya disebut dengan “manik galih”.

Nurbawa menambahkan proses pengolahan lahan dengan penggunaan sapi atau traktor jelas memiliki dampak yang berbeda. Pola produksi dan pola konsumsi petani pun akan berbeda  pula.   Perubahan pola produksi dan konsumi akan berdampak pula pada pola pasar dan keyakinan budaya.

“Artinya jika Bali ditetapkan sebagai salah satu destinasi pariwisata budaya, maka perlu adanya regulasi yang berpihak terhadap produksi dan konsumsi produk lokal yang secara langsung berfungsi sebagai media pendidikan dan pelestarian budaya,” tegas Nurbawa. [bbn/nur/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami