Teater SMA Lab dan Smanela: Dua Sisi yang Bertolak Belakang
Senin, 14 Mei 2018,
10:45 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com.Denpasar, Pengamat Seni A.A Sagung Mas Ruscitadewi menilai penampilan kedua komunitas teater antara teater SMA Lab Singaraja dan Smanela bertolak belakang karena melihat kesan yang jauh berbeda dari kedua komunitas teater tersebut.
[pilihan-redaksi]
Berdasarkan kacamata pengamatannya, wanita yang kala itu mengenakan setelan berwarna hitam ini pun merasakan dua atmosfer yang berbeda.
Berdasarkan kacamata pengamatannya, wanita yang kala itu mengenakan setelan berwarna hitam ini pun merasakan dua atmosfer yang berbeda.
“Teater itu kan ada dua dimensi, pertama ada karya sastra yang ditonjolkan dan kedua ada karya sastra yang dimainkan,” tuturnya.
Sehingga, baru kali ini, pada parade Sastra di Bulan Mei, Mas melihat kedua komunitas tersebut menjadi cerminan dari dua dimensi teater itu sendiri.
“Jadi kelihatan sekali ya kedua penampil ini bertolak belakang, yang pertama menggunakan naskah drama tragedik, jadi berat sekali memainkannya,” terangnya kembali.
Penampil pertama yang dimaksud Mas adalah Komunitas Teater SMA Lab Singaraja. Memang benar penuturan Mas, kisah perselingkuhan yang dilakukan Sulaiman dengan istri sahabatnya, Mat Kontan menjadikan naskah ini cukup berat untuk ditampilkan penampil seusia anak SMA.
“Kami hanya ingin memicu penonton dan memberi gambaran ‘oh ini loh salah satu sisi kehidupan’ sehingga dapat menyentuh hati secara personal,” terang I Ketut Manik Sukadana yang merupakan pembina Teater SMA Lab Singaraja.
Manik, begitu ia akrab disapa menuturkan garapan yang bertajuk Malam Jahanam ini pun terinspirasi dari sebuah sisi kekeluargaan yang sensitif.
“Ternyata dalam bersahabat itu tidak selamanya mulus, ada perasaan iri karena perbedaan status sosial antara Sulaiman dan Mat Kontan yang kaya,” ungkap Manik serius.
Berbanding 180 derajat, Muda Wijaya, pembina Teater Limas, SMA Negeri 5 Denpasar, mengsung konsep ‘bermain-main dengan memainkan permainan’ menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi penonton yang berada dalam usia remaja.
“Sekelompok unggas yang selalu berkumpul mencari resolusi, bagaimana unggas-unggas betina itu tidak dikesampingkan (dipoligami). Disana mereka (para unggas-red) berkumpul dan membicarakan hak-hak unggas betina dan harus memahami bagaiaman keinginan unggas-unggas betina,” cerita Muda lantang.
[pilihan-redaksi2]
Garapan yang bertajuk ‘Kongres Unggas’ ini pun memberi pesan tersendiri, bagaimana dalam kehidupan mesti apa adanya.
Garapan yang bertajuk ‘Kongres Unggas’ ini pun memberi pesan tersendiri, bagaimana dalam kehidupan mesti apa adanya.
“Bagaimana orang bisa bersikap baik terhadap kita dan berbicara A ya harus bertindak A,” terangnya mengharap sebuah konsistensi dalam kehidupan.
Mas pun melanjutkan, untuk penampil kedua memang lebih merasuk pada penonton usia remaja yang di malam itu menjamur di Gedung Ksirarnawa.
“Cuma mereka kan sudah SMA seharusnya bisa meningkat dan lebih serius,”ujarnya.
Namun, secara keseluruhan kedua komunitas ini perlu saling belajar satu sama lain. “Perlu saling belajar lah, saling bertukar, bagaimana penampil pertama agar lebih santai dan penampil kedua agar lebih serius dalam mengambil unsur sastranya,” tutur Mas seraya memberi saran.
Kesamaan yang dapat terlihat hanya satu, yakni bagaimana kedua garapan ini memberi pelajaran tersendiri. Dalam berteater, pelakunya mutlak untuk Belajar dengan hati lapang dan senantiasa berproses. Sebab, seperti penuturan Manik, ‘bicara drama bicara kehidupan’. Meski bertolak belakang, namun kedua teater ini memiliki khas-nya yang senantiasa membekas di benak penonton. (bbn/rls/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls