Subak Sembung Ditarget Jadi Contoh Pengembangan Produk Hortikultura Organik
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Subak Sembung, Peguyangan-Denpasar ditargetkan menjadi contoh dalam pengembangan produk hortikultura organik. Target tersebut sejalan dengan pengembangan Subak Sembung sebagai kawasan ekowisata di Denpasar.
Hal tersebut disampaikan Kasubag Pengumpulan Informasi dan Publikasi, Humas Kota Denpasar I Wayan Hendaryana ketika dikonfirmasi melalui telepon pada Selasa (2/10) malam.
[pilihan-redaksi]
“Sementara kita baru organik pada tanaman hortikultura, sedangkan tanaman padi beberapa masih menggunakan pupuk anorganik. Jadi kalau di Subak Sembung mengkhusus di tanaman hortikultura. Di Denpasar untuk saat ini belum bisa sepenuhnya organik karena pengaruh air dan karena Denpasar berada di posisi hilir,” ujar Hendaryana.
Menurut Hendaryana, penerapan padi organik belum mampu dilakukan karena produksi dari padi yang menggunakan pupuk organik masih rendah hanya 4-5 ton per-hektar. Selain itu, harga jual pada umumnya disamakan dengan padi non-organik. Hal ini terjadi karena petani masih menjual dengan sistem tebas.
“Dan biaya produksi untuk padi organik, kita sempat croscek mahal,” ujar Hendaryana.
Hendaryana mengakui untuk pengembangan tahap awal, ekowisata Subak Sembung diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat, khususnya bagi para petani dan masyarakat di sekitarnya. Hal yang terpenting yaitu pelestarian budaya subak dan mengurangi alih fungsi lahan.
“Menjadikan wilayah ini sebagai daerah di bagian Utara Denpasar, bisa sebagai tempat atau laboratorium alami untuk peningkatan varietas atau penciptaan hal yang baru terkait pertanian,” kata Hendaryana.
Salah satu Petani Subak Sembung, Agung Rai Ardana mengakui sangat sulit mengimplementasikan pertanian organik. Sedangkan sebagai petani sangat berharap mendapatkan hasil yang maksimal, sehingga tidak mungkin menggunakan 100 persen organik.
“Saya pernah mencoba menggunakan pupuk organik, hasil jagung menjadi tidak sesuai harapan, ukurannya lebih kecil, sehingga harus ditambahkan dengan pupuk anorganik,” papar pria berumur 58 tahun tersebut.
Hal senada juga diakui oleh petani Subak Sembung Lainnya yaitu Made Subawa. Menurut pria berumur 54 tahun tersebut, penerapan pertanian organic memerlukan tenaga ekstra. Apalagi untuk tanaman padi sangat sulit menerapkan 100 persen pupuk organik.
[pilihan-redaksi2]
“Karena mengejar hasil. Apalagi kalau tanah yang dikerjakan milik orang lain. Hasilnya dengan pupuk organik juga rendah, tidak sesuai dengan harapan,” ungkap Subawa.
Subawa menyampaikan apabila menerapkan pupuk organic 100 persen maka untuk satu are luasan tanaman padi diperlukan sekitar 300 kilogram pupuk organik. Sedangkan harga pupuk organik dengan berat 50 kilogram sekitar Rp. 40.000. Berbeda jika menggunakan pupuk anorganik yang hanya memerlukan 4 kilogram dengan harga Rp. 70.000 yang dapat digunakan untuk memupuk satu are tanaman padi.
“Kalau dilihat dari biaya operasional pupuk saja, dengan pupuk anorganik hanya memerlukan biaya delapan puluh ribu rupiah per-are. Kalau organik memerlukan biaya mencapai empat ratus ribu rupiah per-are,” ujar Subawa.
Subawa mengingatkan jika pemerintah serius untuk mewujudkan pertanian organik seharusnya memberikan dukungan berupa subsidi atau bantuan pupuk bagi petani selama 3-5 tahun. Selain itu juga perlu adanya pendampingan agar penerapan pertanian organik dapat benar-benar diimplementasikan.
Peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP., M.Si mengungkapkan langkah mewujudkan pertanian organic memang sangat sulit, tetapi harus ada kemauan untuk mengimplementasikannya. Selain itu membangun pertanian organik tidak bisa hanya mengandalkan anggota subak saja, sehingga perlu adanya komitmen bersama dari berbagai pihak.
“Jika sudah yakin ingin organik maka harus terus menerus melakukan dengan cara-cara organik,” kata Setiawan.
Setiawan menegaskan apabila benar menerapkan pertanian organik, maka petani juga harus menerima manfaat yang lebih besar karena usahanya menghasilkan produk organik. Penerapan organik yang diterapkan juga harus mendapatkan pengawasan dari lembaga yang mengeluarkan sertifikat organik.
“Jadi tidak bisa mengaku-ngaku organik, harus ada lembaga yang mengawasi dan mengeluarkan sertifikat organik,” tegas Setiawan. [bbn/muliarta]
Reporter: bbn/mul