381 Korban UU ITE Dominan Dijerat dengan Tuduhan Pencemaran Nama Baik
Minggu, 4 November 2018,
19:10 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BADUNG.
Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) mendesak pemerintah untuk menghapus pasal yang dinilai multi tafsir dan rentan disalahgunakan kuasa modal atau jabatan (pasal Karet) dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terutama pasal 27 ayat 3 dan pasal 2 untuk menjerat para pengkritik kebijakan yang menyuarakan aspirasi rakyat.
Zakki Amali salah satu anggota PAKU ITE yang juga merupakan korban UU ITE juga menyatakan sikap kepada pihak terkait untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi menggunakan UU ITE dan memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai amanah konstitusi pasal 28 E ayat 3.
"Maka dari itu, kami melihat adanya urgensi untuk membentuk suatu wadah bagi korban UU ITE sebagai support group, advokasi, dan pengorganisiran apalagi menuju tahun politik korban UU ITE semakin bertambah dan pembungkaman kritik oleh pemerintah semakin massif," ungkapnya dalam keterangan persnya, Minggu (4/11).
Muhammad Arsyad anggota PAKU ITE menambahkan melalui wadah ini para korban selain diberi pendampingan atau bantuan hukum juga mengembalikan kejiwaan para korban agar bisa kembali kepada masyarakat.
Sejak UU ITE pertama kali diundangkan pada tahun 2008 sudah memakan banyak korban. Dalam catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) sampai 31 Oktober 2018 terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2).
Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet menyebutkan 90% dari korban tersebut dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian (hatespeech).
Pada kenyataannya, lanjutnya banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal. Contohnya para anggota PAKU ITE, mayoritas dari mereka kebanyakan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan bahkan berhadapan dengan aparat negara serta pemerintah.
Misalnya saja kasus Muhammad Arsyad (Makassar) yang dilaporkan oleh Kadir Halid atas tuduhan pencemaran nama baik hanya karena status di blackberry messenger, lalu ada Ervani (Jogja) yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja karena menulis tentang kapasitas kepemimpinannya, kemudian ada dua orang aktivis dan jurnalis yaitu Anindya Shabrina (Surabaya), Deni Erliana (Bogor), dan Zakki Amali (Semarang).
Anindya Shabrina dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat kepolisian di asrama Papua Surabaya, Deni Erliana dilaporkan oleh pengembang perumahan karena membela hak-hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih, Zakki Amali dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut.
Pola pemidanaan kasus UU ITE ada bermacam-macam contohnya dengan bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok. Rudy Lombok dilaporkan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB karena beliau menemukan dugaan penyalahgunaan anggaran dan rekening pribadi di badan tersebut, Ichwansyah (Jogja) diancam dengan UU ITE karena memperjuangkan hak-hak pekerja.
"Dengan pola penerapan hukum pidana pada kasus UU ITE harusnya pembuktiannya juga ketat, tetapi yang terjadi malah rancu dan bisa ditafsir sebebas-bebasnya. Kalau menyangkut hubungan antara dua pihak harusnya ke wilayah perdata," tandasnya.
Di dalam prosesnya banyak terjadi intimidasi berupa penahanan di saat status korban masih sebagai saksi bahkan tiba-tiba berstatus tersangka padahal korban tidak pernah diminta keterangan.
Maka dari itu kami melihat bahwa UU ITE ini digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik dilihat dari timpangnya relasi kuasa antara pelapor dan terlapor.
Berita Badung Terbaru
Reporter: bbn/rob