I Made Nyarikan Sriada, Yogi Topeng dari Gemeh: Menari Wujud Bakti Sekala dan Niskala
Minggu, 3 Februari 2019,
08:11 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kalangan pecinta tari di Bali sering memanggil nama seniman topeng I Made Sriada dengan sebutan Nyarikan . Karena itu, ia pun di kenal dengan nama ‘lengkap’ Nyarikan Sriada. Pria kelahiran banjar Gemeh tahun 1887 ini merupakan salah satu empu spesialis seni tari topeng sejak jaman kerajaan di Bali.
Sriada dikenal sebagai seniman Tari Topeng terutama karena ia berjasa mempopulerkan topeng panca di Bali, yang merupakan hasil pengembangan topeng pajegan di Bali sekitar tahun 1915. Kemampuannya sebagai seniman topeng di Bali diraih setelah melewati proses penekunan yang panjang dan amat melelahkan. Ia mulai belajar menari topeng sejak usia 10 tahun di Puri Denpasar. Ia berguru pada sejumlah ahli tari yang berstatus pegawai Puri. Ia diperbolehkan kalangan Puri belajar menari karena ia seorang pengayah (abdi) yang jujur.
Mulanya ayah Sriada, I Nyoman Teken, tidak hirau pada kegemaran anaknya belajar menari. Sriada belajar menari hanya secara iseng. Namun, ketika mendengar Sriada berbakat menari dan akan dikirim oleh pihak puri Denpasar ke Puri Klungkung untuk belajar menari sang ayah pun terperangah. Ia setuju sang anak, Sriada kecil, terus belajar menari asalkan ia tetap belajar di Denpasar, bukan di Puri Klungkung. Gayung bersambut pihak Puri Denpasar tak keberatan.
Maka, mulailah Sriada belajar menari dengan sungguh-sungguh, selain rajin belajar menari di lingkungan Puri ia juga sering belajar pada sejumlah guru tari dari luar Puri. Datang dari belajar pada sang guru, di rumah ia pun suka latihan menari lagi di depan cermin. Lewat bantuan cerminlah ia bisa mengetahui kekuatan dan kelemahan gerakan tariannya sendiri secara langsung. Jika masih lemah ia segera memperbaikinya sehingga dicapai gerak tariyang sempurna. Ia tak merasa letih, ia tak segan mengulang berkali-kali.
Selain di depan cermin, ia masih punya acara sendiri untuk menggeluti tarian. Sebelum menari, ia duduk sendri seraya memusatkan pikiran seperti orang bersemedi. Lalu, perlahan-lahan ia membentuk gerakan, dari yang agak lemah dan mudah sampai yang paling keras dan rumit. “Dengan kendali pikiran ini saya bisa lebih berkonsentrasi dan terus menari. Sampai gerakan tangan saya di kendalikan oleh sebuah kekuatan luar namun tetap dari dalam diri saya,” ujarnya.
Baginya menari merupakan perpaduan olah tubuh yang dilandasi Budi dan Karsa. Menari tidak hanya membuat keindahan melainkan wujud bakti secara skala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Secara skala, tarian adalah hiburan yang bisa menyenangkan pikiran dan hati seseorang. Sedangkan secara niskala, menari adalah wujud ngayah yang di persembahkan kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (tuhan sang maha pencipta). Konsep menari yang terakhir ini sering di praktekannya saat ia menari untuk kepentingan upacara baik di pamerajan,puri, maupun pura.
Begitulah, dalam waktu relatif singkat jadilah nyarikan Sriada penari yang menguasai dengan sempurna sejumlah tarian. Kesungguhannya ini menyebabkan rencana kalangan Puri Denpasar mengirim dia ke puri Klungkung belajar tari dibatalkan. Dia tetap belar di Denpasar di temani dua sahabat perguruannya, yakni Ida Bagus Boda dan Ida Bagus Purya. Kedua nama ini mungkin juga dikenal sebagai seniman tari Bali yang tangguh bahkan, mereka bertiga dikenal sebagai trio penari Bali yang sering tampil bersama, meskipun diantara mereka, Sriada tetap sebagai bintang. Mengingat penguasaannya yang sempurna mulai dari tari topeng, baris, gambuh, janger, hingga legong, calonarang, dan lain lain. Sebagai penari topeng, Sriada sering memerankan tokoh Prabu, panasar, galuh, dan topeng sidakarya.
Nyarikan Sriada pada jamannya punya sekaa (grup) topeng yang dikenal sebagai topeng duwe karena dirintis dari kalangan puri (istana) Denpasar. Beberapa tapel (topeng)-nya bahkan masih tersimpan sekaligus dikeramatkan dirumahnya di banjar Gemeh, Denpasar. Setiap orang yang akan mengambil tapel itu, harus mengawalinya dengan ritual tertentu. Tapel yang di keramatkan itu, diantaranya. Tapel arsa wijaya (topeng raja), ranggalawe (patih), maya denawe (raksasa), panasar, dan sidakarya.
Dalam perjalanan hidupnya, Sriada nyatanya tidak hanya pandai menari. Ia juga menciptakan tarian bagus, seperti wiranata dan baris. Ia pun mengembangkan tari topeng pajegan menjadi topeng panca untuk kepentingan upacara. Ia juga rajin menyempurnakan gerakan tarian yang masih kaku dan agak kasar menjadi luwes dan anggun. Kelebihan ini membuat pecinta tari Bali dan guru tari lainnya terkagum-kagum. Tak pelak, selain di puri dan tempat-tempat upacara keagamaan, ia juga sering diminta menari di Bali hotel, Denpasar, menghibur wisatawan.
Di luar itu, dia juga mengajar tari hampir di seluruh kabupaten di Bali, termasuk mengajar tari legong di griya kedaton, tari arja di Tanjug bungkak di samping di banjarnya sendiri setiap pagi, sore, hingga malam hari. Jangan tanya berapa tarif dia sebagai guru tari. Baginya adalah pantangan besar mengajar tari menentukan nilai bayaran. Asalkan muridnya tekun dan berkemauan keras dalam belajar tari dia pun sudah merasa bahagia. Kalau toh ada honor, baik sebagai penari maupun sebagai guru tari itu semua tergantung keikhlasan yang memberi. Dia tak pernah meminta bayaran dan, Sriada tak berhenti mengajar tari meskipun dirinya dirundung sakit “malah jadi sembuh kalua sudah dapat menari,” kisahnya.
Tak heran bila murid Sriada lantas mencuat penari tangguh dan terkenal di jagat Bali. Antara lain, I Wayan Geria, I Ketut Rinda dan I Made Keredek dari Singapadu, Gianyar. Juga Ida Bagus Ngurah dari Badung Penari didikannya itu tak pelak mengantarkan Sriada makin dikenal se antero bah, termasuk di kalangan puri-puri. Ia pun menjadi orang yang disegani karena wibawa, karisma, serta intergritas kepribadiannya sebagai penari maupun guru tari karena nya, wajarlah ia sempat dipilih menjadi kelian di Banjar Gemeh.
Pernah, satu kali di puri Klungkung, Sriada disangsikan bisa menari dengan sangat baik. Ini mengingat tubuhnya yang kegemukan untuk ukuran penari istana. Selain itu, ia juga agak bongkok serta perutnya membuncit. Mendapat perlakuan demikian, ia bukannya marah melainkan jengah, sehingga mengeluarkan segenap kemampuannya. Hasilnya? Keraguan pihak puri Klungkung pun menjadi decak kagum. Ia pun di perlakukan istimewa akhirnya. “Kalau sudah dapat menari atau mengajar tiang tari tiang jeg demen, liang. Tak ada lagi yang bisa tiang haturkan kepada masyarakat selain tarian,” urainya.
Demen dan liang, memang menjadi dasar pilihan hidup Sriada di dunia tari. Kearifan ini diperolehnya dari kegemaran membaca dan menulis lontar dengan aksara bali. Dengan dasar ini pula iamenjalani hidupnya sedemikian sederhana meskipun di lingkungan banjarnya ia sebenarnya tergolong orang punya. Sehari-hari dia tidak pernah mengenakan baju, makan seadanya, dan tidurnya pun hanya di sebuah bilik yang beratap dan berdinding klangsah, meskipun sebenarnya dia punya rumah berdinding batu bata bergaya asitektur bali.
Dengan gaya hidup sederhana dan berhemat demikian, lambat laundia pun bisa mengumpulkan penghasilannya dari menari maupun sebagai guru tari. Dari sinidia lantas membeli tanah sawah. Hanya karena kesibukannya sebagai penari, dia tak sempat mengerjakan sendiri tanah sawahnya. Maka untuk mengelola sehari-hari sawahnya diserahkan kepada petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Dari hasil sawah inilah dia bisa dinilai sebagai orang berpunya di banjarnya namun tetap berprilaku sederhana.
Satu hal lagi yang tak bisa dilupakan dari sosok Sriada sebagai guru tari adalah kesukaannya memberi nasihat kepada murid-muridnya, nasihat-nasihatnya sudah tentu berdasarkan hasil bacaannya yang banyak di jagat lontar sastra agama. “Manusia di dunia ini ada yang tergolong manusia mati-hidup, ada juga yang hidup-mati,” katanya, suatu kali.
Manusia jenis pertama yang dimaksud adalah manusia yang banyak mengabdi kepada masyarakat. Manusia jenis ini katnya pasti akan terus dikenang walaupun sudah mati. Adapun manusia jenis kedua adalah manusia tanpa pengabdian, sehingga walaupun masih hidup tetap dianggap tidak berguna bagi orang lain atau masyarakat.
Sejalan dengan pandangannya itulah maka dia melid (sering) menasihatkan kepada murid-murid tarinya bahwa kepintaran menari tidak akan menjadikan mereka kaya namun, bila ada seorang tekun dan sungguh-sungguh sebagai penari maka dia akan selalu dikenang, dan sahabat pun banyak berdatangan karenanya, ia meminta kepada muridnya agar tidak bosan belajar menari dan untuk tidak pelit berbagi ilmu atau kepintaran menari kepada mereka yang mau belajar dengan sungguh-sungguh.
”Jangan lengah walaupun pintar menari. Kelengahan akan membuat diri kita terjerumus ke dalam perbuatan tercela dan dicela orang lain,” Pesannya suatu ketika, kepada seorang murid tarinya yang kemudian menjadi penari legong kondang, Ni Reneng.
Pesan-pesannya itu terus menjadi cambuk bagi para pewasir tari maupun keluargnya dalam ber kesenian, sekalipun Nyarikan Sriada telah meninggal tahun 1947 silam. Hingga kini dia masih dikenang sebagai salah satu empu tari bali dengan karya tari balinya yang monumental.
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls