search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Mabayuh Oton Sebagai Upaya Memusnahkan Karakter Buruk
Senin, 11 Februari 2019, 09:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Upacara Mabayuh Oton merupakan salah satu upacara manusa yadnya yang bertu­juan untuk membebaskan manusia dari beleng­gu Sad Ripu atau sifat-sifat keraksasaan yang dibawa sejak lahir.

Sehingga upacara mebayuh oton identik dengan upaya memusnahkan karakter buruk yang sudah dibawa dari lahir. Demikian teruangkap dalam artikel berjudul “Aspek Fungsional Upacara  Mabayuh Oton” yang dipublikasikan dalam Jurnal Dharmasmrti,Volume XVI Nomor 01 tahun 2017.

Penulis artikel Ida Ayu Komang Arniati dari Universitas Hindu Indonesia menuliskan sesuai pandangan nat­uralistik karakter anak selain dibentuk karena faktor lingkungan juga faktor bawaan sejak la­hir.

Umat Hindu meyakini karakter anak bisa dibawa sejak lahir. Apabila anak memiliki utang atau kapiutangan saat ia lahir, maka akan ber­dampak pada karakternya kelak ketika ia sudah dewasa.

Guna memusnahkan karakter buruk yang sudah dibawa dari lahir itu, masyarakat Bali melakukan upacara mabayuh oton. Masyarakat Bali percaya dan berdasarkan pengalaman beberapa masyarakat, karakter anak itu setelah dibayuh berangsur menjadi lebih baik.

Upacara Mabayuh oton sebagai suatu kebudayaan karena merupakan nilai kear­ifan lokal atau local jenius masyarakat Bali yang sudah dipelihara dari masa nenek moyang.

Pelaksanaan upacara mabayuh oton ini juga merupakan wujud kebudayaan dan sebagai ses­uatu komplek aktivitas serta tindakan yang ber­pola dari manusia.

Upacara mebayuh oton biasanya diperingati dengan menentukan hari, umumnya dipakai adalah wewaran dan wawukon. Wewaran yang umum dipergunakan adalah dua yaitu Panca Wara yang terdiri dari Umanis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Yang kedua adalah Sapta Wara, yaitu Redite, Coma, Anggara, Budha, Wras­pati, Sukra, dan Saniscara.

Sedangkan Wawukon adalah Shinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gum­bereg, Wariga, Warigadean, Julungwangi Sung­sang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Kelurut, Merakih, Tambir, Medan­gkungan, Matal, Uye, Menahil, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut lan Watugu­nung.

Rentetan prosesi upacara mabayuh oton di­awali dengan acara mewacakan kepada orang suci. Mewacak ini dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala kurang baik yang ada pada diri anak berdasarkan hari kelahirannya.

Setelah di­wacak baru ada kesepakatan antara orangtua dan Pendeta bahwa akan dilakukan upacara ma­bayuh oton baik menyangkut waktu, tempat, dan sarana-prasarana (bebantenan) yang digu­nakan untuk penebusan.

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami