search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Desa Waibao, Flores Timur Belajar Pengelolaan Tanah Adat di Bali
Selasa, 16 April 2019, 12:39 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BULELENG.

Beritabali.com, Buleleng. Pemerintah Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, jajaki Desa Pakraman di Bali, salah satunya adalah Desa Kalibukbuk pada Senin (15/4) untuk belajar agar masyarakat hukum adat di Indonesia juga diakui sebagai subyek hak atas kepemilikan tanah dimana Desa Pakraman di Bali adalah salah satu yang telah mendapat pengakuan tersebut, selain Tengger dan Papua.
 
[pilihan-redaksi]
Petrus Kelen selaku Kepala Desa Waibao menuturkan, kunjungannya ini bertujuan untuk menimba pengalaman mengenai pengelolaan tanah adat dan realisasi hak komunal, sebagaimana pengalaman desa pakraman di Bali.
 
"Sebelumnya kami telah berkunjung ke Desa Taro, sekarang di Desa Kalibukbuk dalam rangka memperjuangkan suku-suku Desa Waibao agar mendapatkan kepastian hukum atas newa (tanah leluhur) yang telah dikuasai suku-suku secara turun temurun. Hak komunal inilah harapannya," Kata Petrus.
 
Selanjutnya menurut Petrus, hak komunal ini dapat meminimalisir konflik tanah antar suku di Desa Waibao dikemudian hari. Karena kepemilikannya secara komunal, oleh karenanya bisa saling mengontrol satu sama lain dalam pengelolaannya. Selain memastikan tanah tidak berpindah kepemilikan juga menjamin agar sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat Desa Waibao.
 
Kunjungan pemerintah Desa Waibao, diterima langsung oleh Kepala Desa Kalibukbuk, Ketut Suka bersama jajarannya. Selaku tuan rumah, Ketut Suka menegaskan bahwa proses pendaftaran hak komunal di Bali sifatnya instruktif, cenderung top down mengikuti keputusan menteri dan arahan dari kantor pertanahan. 
 
"Kami menjalankan teknis sebagaimana arahan kantor pertanahan, kemudian mengikutsertakan tanah desa dalam PTSL dengan dibantu relawan. Ini karena Desa Pakraman telah mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak", ungkap Ketua Forum Komunikasi Perbekel dan Lurah Kabupaten Buleleng ini.
 
Sifat top-down ini karena desa pakraman secara kelembagaan telah diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Perda 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Tinggal kemudian menunggu pengakuan sebagai subyek hak, yang baru terealisasi sejak terbitnya SK menteri ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 Tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah.
 
Berbeda dengan suku-suku yang masih ada di Desa Waibao, yang belum tegas pengaturannya terkait kelembagaan adat sebagaimana Desa Pakraman di Bali.
 
[pilihan-redaksi2]
Menurut Ketua Tim Pendamping Pemerintah Desa Waibao, Ida Bagus Nyoman Dedy Andiwinata, S.H., perjuangan Desa Waibao masih di lingkup untuk mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak dari pemerintah.
 
"Berbeda dengan Desa Pakraman yang telah diakui sebagai subyek hak, Desa Waibao dapat diibaratkan sebagai Bali 50 tahun lalu, dimana kelembagaan adatnya belum terinci dalam Perda sebagaimana Desa Pakraman hari ini di Bali," Kata advokat asal Buleleng ini.
 
Selanjutnya menurut Dedy, usaha Pemerintah Desa Waibao sebagai perwakilan suku adalah bottom-up. Artinya permohonan dimulai dari masyarakat adat yang mengajukan ke pemerintah untuk mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak terlebih dahulu, sebelum memohonkan hak komunal. Karena secara faktual, suku di Desa Waibao telah menguasai lahan tersebut turun temurun sebelum kemerdekaan Indonesia. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami