search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
16 Juta Wisatawan ke Bali Produksi 3,5 Kali Lipat Limbah per Hari dari Penduduk Lokal
Senin, 8 Juli 2019, 14:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Bali Partnership, sebuah organisasi yang dibentuk untuk membantu Indonesia mengurangi plastik laut hingga 70 persen pada tahun 2025, dan didukung oleh Kementerian Luar Negeri Norwegia, menemukan fakta yang mencengangkan.
 
[pilihan-redaksi]
Dari 16 juta wisatawan yang berkunjung ke Bali rata-rata per tahun dimana 6 juta diantaranya berasal dari luar negeri, menghasilkan 3,5 kali lebih banyak limbah sampah per hari dari penduduk setempat. Secara total, mereka menyumbang 13 persen dari total limbah Bali.
 
Seperti dikutip dari Asiaone.com dan diterbitkan pertama South China Morning Post, pada Pada 20 Juni, Reuters melaporkan bahwa hanya 48% sampah di Bali dikelola secara bertanggung jawab melalui daur ulang atau penimbunan, menurut sebuah studi lima bulan oleh Bali Partnership. Sisanya dibakar atau dibuang di saluran air dan laut, menghasilkan 33.000 ton polusi plastik yang berakhir di laut setiap tahun yang beratnya setara dengan 2.609 bus bertingkat.
 
Kendati demikian, sudah ada inisiatif hijau (green initiative) dimana 400 diantaranya, menurut penelitian Kemitraan Bali kegiatannya perlu diperluas ke daerah-daerah dimana kebutuhan terbesar untuk untuk memaksimalkan dampak lingkungan. Mereka menyebut jika ingin memfokuskan upayanya bisa diutamakan hanya pada 15 dari 57 kecamatan di Bali. Organisasi ini memperkirakan bahwa jumlah polusi plastik yang masuk ke perairan Bali dapat dikurangi hingga 44 persen. 
 
Untuk mencapai hal ini, Bali Partnership akan mengumpulkan dana untuk melakukan uji coba menggunakan pendekatan multi-pemangku kepentingan yang kuat di salah satu kecamatan dengan tingkat kebocoran tertinggi.
 
Sementara itu, larangan Bali pada plastik sekali pakai, yang diumumkan pada 24 Desember 2018, akan segera berlaku penuh setelah berakhirnya "masa tenggang" enam bulan, yang diterapkan untuk memungkinkan semua orang terbiasa dengan ide tersebut.
 
Pada 15 Juni, surat kabar The Australian melaporkan bahwa Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) telah menganulir upaya ke Mahkamah Agung agar meniadakan larangan tersebut, tetapi hasil putusannya ditolak dan peraturan akan dilanjutkan.
 
Direktur ADUPI Christine Halim mengatakan yang paling penting bukanlah menang atau kalah, tetapi untuk meyakinkan pemerintah bahwa menargetkan kantong plastik bukan solusinya. Solusinya adalah memperbaiki praktik pengelolaan limbah dan mendidik masyarakat tentang cara membuang limbah, terutama sampah plastik.
 
Pengelolaan limbah juga bukan satu-satunya tantangan di Bali. Sebanyak 260 dari 400 sungai di pulau itu telah mengering dan muka air telah turun sekitar 60 persen, menurut sebuah artikel majalah Vice tahun lalu. Pariwisata dan pengembangan yang terkait dengan pariwisata menyedot pulau Bali menjadi kering.
 
Kembali ke plastik, produksi yang mengeluarkan banyak gas rumah kaca. Mengatasi masalah pencemaran plastik - melalui pengurangan dalam penggunaan dan pengelolaan sampah - sangat penting untuk meningkatkan kesehatan lingkungan Bumi, baik di pulau-pulau atau yang lebih dekat dengan rumah.
 
[pilihan-redaksi2]
Ida Bagus Mandhara Brasika dari Satuan Tugas Pengelolaan Sampah Kepualauan Indonesia dalam menanggapi temuan-temuan Bali Partnership mengatakan di Bali kita sekarang pada saat yang tepat untuk menghentikan kebocoran laut kita dampaknya akan global."Dan dunia akan menyaksikan, Pulau Bali kecil, tetapi signifikansinya besar," katanya.
 
Tempat-tempat populer di seluruh negeri sudah menderita karena banyaknya wisatawan seperti Maya Bay yang terkenal harus tutup tahun lalu untuk memungkinkan ekosistemnya pulih. "Jumlah wisatawan tumbuh terlalu cepat untuk apa yang bisa ditangani negara itu," kata ekonom Thailand Somprawin Manprasert kepada Bloomberg.
 
Uang telah dicurahkan untuk meningkatkan infrastruktur negara dan otoritas pariwisata telah melakukan beberapa upaya untuk menarik wisatawan. Namun, dibutuhkan lebih dari sekedar peningkatan transportasi untuk membuat perjalanan lebih berkelanjutan. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami