search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Obrolan Warung Kopi Soal Gerakan Hindu Bali 4.0: "Mimih Ratu!"
Sabtu, 31 Agustus 2019, 12:00 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/harnas.co

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Ini Sekedar opini tiang di warung kopi. Tentu bangga sebagai umat Hindu Bali dan tinggal di Bali, dimana banyak orang bermimpi ingin liburan ke Bali. 
 
[pilihan-redaksi]
Tapi teriakan mimih ratu kadang tidak terdengar bagi sebagian umat Hindu di Bali yg terhimpit kegiatan adat bertubi tubi berbenturan dengan kewajiban mencari nafkah yg harus menghormati aturan perusahaan tempat bekerja. 
 
Orang Bali pun di zaman kapitalis saat ini dituntut bersaing ketat untuk bisa hidup layak, bisa menikmati hidup ataupun bisa memenuhi kebutuhan atau mungkin bisa jalan jalan ke luar bali seperti para pelancong asing di Bali. Bukan hanya orang Bali yg jadi obyek wisata tapi orang Bali pun juga harus bisa jalan-jalan ke negeri para pelancong itu.
 
 
Tapi kegiatan upacara keagamaan dan adat hampir menyita waktu, energi dan finansial, sementara orang lain sudah bergerak ke teknologi industri 4.0.  Apa yang tiang bicarakan juga berdasarkan data. Mari kita lihat data BPS (badan pusat statistik) bahwa hampir 60% konsumsi orang Bali adalah untuk upacara keagamaan dan pesta adat.
 
Dan Data menunjukkan kegiatan upacara keagamaan dan pesta adat menempati rangking ke 2 sebagai penyumbang kemiskinan orang Bali. Kita memang sepakat bahwa kegiatan keagamaan dan adat meningkatkan pariwisata. Lalu siapa yang menikmatinya? Adalah pelaku bisnis pariwisata, pemilik hotel, dan orang Bali hanya menikmati rupiahnya senilai UMR (upah minimum regional) dan pula bisa dilihat hanya 10%  orang Bali sebagai pemilik industri pariwisata. Selebihnya luar Bali bahkan asing. 
 
Aktifitas ini pun mulai menggerus kepemilikan lahan dari daerah agraria milik orang Bali beralih ke industri properti milik non bali bahkan asing.  Sudah tidak heran asing pun bisa punya lahan dengan status nomine. Sangat setuju bahwa kegiatan upacara keagamaan dan adat bagi umat Hindu Bali akan memberikan rasa aman secara niskala di Bali. Dan tentu saja juga memberikan rasa aman bagi pemilik bisnis non Bali.
 
[pilihan-redaksi2]
Sangat setuju, Kegiatan upacara keagamaan pun meningkatkan pendapatan masyarakat pedagang, darimana asal bahan upacara saat ini. Semua luar Bali, buah, janur dan lain-lain semua dibawa oleh non Bali ke Bali dijual ke orang Bali, uang masuk dompet penjual non Bali. 
 
Selalu diingatkan ayo orang Bali yang mulai produksi untuk keperluan bahan baku upacara, mungkin bisa, tapi akan tetap terkalahkan oleh non hindu Bali karena orang hindu Bali waktunya tersita untuk upacara dan kegiatan adat tidak bisa konsisten berproduksi. Sedangkan orang non hindu Bali setahun bisa 330 hari penuh berproduksi, hanya 30 hari setahun untuk upacara mereka. 
 
Harus ada gerakan Hindu Bali 4.0 yang terintegrasi bukan hanya dituntut berinovasi saja, tapi kewajiban upacara keagamaan dan kegiatan adat pun perlu direnovasi. Sekali lagi ini hanya opini di warung kopi ya.
 
Penulis
Made Edy

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami