search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
"Nyejer" Pejati dan Politik Ritual
Minggu, 10 Mei 2020, 09:00 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Selama masa pandemi Covid-19 di Bali, kita menyaksikan berbagai kebijakan penanganan wabah yang disebut sebagai Gering Agung ini. Belum lekang dalam ingatan, tiga aktor penting yang berkolaborasi melahirkan kebijakan tersebut adalah: Gubernur Bali, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Majelis Agung Desa Adat (MDA). Ketiganya merepresentasikan tiga elemen penting di Bali yaitu negara, agama, dan adat.

Sejak akhir Maret 2020, pasca pelaksanaan Nyepi, Gubernur Bali, PHDI Bali, dan MDA Bali telah mengeluarkan himbauan untuk melaksanakan Nyejer Pejati di Pura Kahyangan Tiga desa adat masing-masing. Berturut-turut yaitu pada 31 Maret 2020, 2 April 2020, dan 22 April  2020. Himbuan Nyejer Pejati tersebut berkaitan dengan upacara nyomia (menghilangkan) wabah Covid-19. 

Terbaru, menindaklanjuti himbauan tersebut, PHDI kembali mengingatkan kepada masyarakat Hindu Bali untuk menghimbau dan mengingatkan umat karma Bali untuk kembali Nyejer Pejati di Kahyangan Tiga dan di merajan/sanggah pada purnama, 7 Mei 2020 pukul 18.00 wita. Himbauan juga dilengkapi dengan upakaranya yaitu: tepung tawar, benang tridatu dan srobong daksina menggunakan janur/busung. Keseluruhan upakara tersebut dipersembahkan kepada Ida Bhatara Guru dan Ida Bhatara Surya Geni untuk memohon keselamatan dan kerahayuan agar pandemi Covid-19 segera berlalu.

'Dari dulu kita sudah sangat maju dan beradab…perhatian kita bukan pada yang nyata, tapi pada yang abstrak. Bukan pada yang dekat, tapi pada yang jauh. Bukan pada penataan duniawi yang mensejahterakan hidup bersama, tapi pada persiapan menuju akherat'
(IBM Dharma Palguna, 2007:  11)

Politik Ritual
Dalam sejarah panjang politik kebudayaan Bali, ritual/upacara selalu menempati peranan penting dalam menetralisir berbagai wabah (gering, grubug), tragedi politik atau kekerasan, hingga berbagai musibah kehidupan manusia. Pembantaian 1965, Bom Bali 2002 dan 2005, dan berbagai musibah dinetralisir melalui ritual. Saking pentingnya peranan ritual, kita kemudian terbiasa untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat ritual untuk perdamaian dan keharmonisan berjalan, kita sudah melupakannya. Lebih tepatnya pelupaan terhadap musibah dan kenangan pahit kehidupan. Sejarah pelupaan begitu panjang terjadi di bali. 

Selimut nyaman dan megah ritual membuat kita terlena untuk tidak mempertanyakan lebih dalam hakekat, tatwa bahkan kritik terhadap glamour dan menyimpangnya ritual dari kehidupan beragama kita. “Tenget totonan, salah Betara nyanan,” ujar tetua di kampung memperingatkan. 

Kita abai bahkan malas untuk mempertanyakan bahkan kritik pada keyakinan teologis ini. Kita anggap semuanya “sudah selesai” dan tidak bisa diperdebatkan lagi. Karena pandangan ini dominan, maka orientasi kehidupan beragama kita sering tidak “menjejak tanah”, mengawang-ngawang, dan sama sekali tidak kontekstual.

Yang saya maksudkan “menjejak tanah” dan kontekstual adalah saat ritual dan agama tersebut menyentuh kegelisahan, merasakan kegundahan, hingga mencerahkan kehidupan umatnya yang berjuang hidup di dunia ini. Namun sayang hal itu tidak terjadi di Bali.

Saya jadi teringat, dengan pernyataan yang satir, IBM Dharma Palguna (2007: 11 -12) mengungkapkan: Kita berorientasi pada yang tinggi, di masa depan. Yang sedang kita bangun adalah peradaban batin dan tenaga dalam. Kita yang hidup di dan oleh dunia, malu berurusan dengan yang duniawi. Peradaban tinggi ini, menyebabkan kita lebih mampu berkomunikasi dengan penghuni alam atas sana daripada dengan manusia, binatang, dan tumbuhan. Dengan sesama manusia komunikasi kita sering gagal.

Terjadi demam dan gelombang besar kemegahan ritual yang kita saksikan bersama pada masyarakat Bali kontemporer. Ritual menjadi totonan dan tayangan advertorial untuk menunjukkan status dan kemampuan. Saking pentingnya, ritual yang dulu tidak ada sekarang diada-adakan. Apa yang dulu samar karena bersifat rahasia, sekarang dipamerkan dengan vulgar. Apa yang dulu dilakukan diam-diam sendirian dalam kesunyian, sekarang dilakukan beramai-ramai dan diberikan di televisi. 

Jika sebelumnya ritual dijaga oleh mantra, kini ritual juga perlu dijaga oleh pecalang. Kita juga tidak menampik, begitu banyak kepentingan dalam ritual tersebut. Negara menanamkan sahamnya dengan membantu pelaksanaan ritual. Para pejabat dan birokrat rajin untuk datang bersembahyang, munut Ida Sesuhunan, dan diakhir dengan penyerahan bantuan uang cash kepada masyarakat.   

Degung Santikarma (2004) dengan tajam pernah mengungkapkan bahwa negara dan otoritas keagamaan melakukan “peniskalaan kekuasaan”, yaitu usaha cerdik untuk memainkan ritual menjadi instrumen untuk kembali merekatkan kebersamaan, dimana kemudian negara mensubversinya untuk menambah energi sosial masyarakat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik para petualang-petualang kekuasaan dan pemain budaya Bali.

Dalam politik ritual, negara juga menormalkan, mengharmoniskan situasi yang terjadi di masyarakat. Dengan wacana kekuasaan yang dibentuk negara dan otoritas agama, aka dilakukanlah intervensi-intervensi dengan resep standarisasi dan himbauan-himbauan upacara yang pantas untuk dilakukan dalam suatu upacara tertentu. Akhirnya, politik komunalitas yang diciptakan Negara dan otoritas keagamaan didukung penuh dengan rangkaian riuh rendah dan glamour upacara-upacara besar keagamaan yang dikreasi dan distandarisasi sepenuhnya oleh Negara dan otoritas keagamaan.   

Negara dan otoritas keagamaan adalah sang medruwe karya dan massa rakyat hanyalah sebagai pengayah yang selalu siap sedia menjalankan himbauan bahkan perintah standar upacara yang akan dilakukan. Degung Santikarma (2004) dengan tajam mengungkapkan: 

Sayup-sayup paradigma negara modern mulai memasuki jagat ritus budaya Bali. Praktik agama mulai menggeser muatan makna lokalitas dan menuju tema langit universal. Makna upacara menjadi berkutat pada persoalan “tertib kosmis, kosmologi keseimbangan, dan pengokohan tatanan” daripada pemahaman tradisional yang berkisar tentang perayaan siklus hubungan antara sesuhunan—habitat dewa local dengan leluhur pendahulu pendiri desa dengan pura-pura di sekitarnya.            

Berbagai kebijakan ritual masa pandemi ini membuat kita tersadar, ritual tidak hanya serta-merta urusan niskala (keyakinan teologis) personal umat manusia. Ritual, ketika sudah diseragamkan dan diinstruksikan, ia tidak berada di ruang hampa. Sejarah Bali telah memberikan kita pelajaran. Jika otoritas dan sang kuasa campur tangan terhadap ritual, berarti politik dan kepentingan bercampur aduk di dalamnya. 

Gerakan Hindu kontekstual dan pembebasan memerlukan sebuah kritik terhadap relasi ritual dan politik ini. Untuk apa? Agar ke depan, ritual dan kesadaran beragama tidak hanya semakin terbang tinggi, namun juga menjejak tanah yaitu mendengar keluh kesah dan penderitaan umat yang tidak selamanya bisa mengikuti ambisi kemegahan dan keseragaman ritual. 

I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).  

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami