search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Masa Pandemi: Orang Tua Sibuk Jualan, Putrinya Belajar di Rumah pacar
Minggu, 24 Mei 2020, 17:00 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Tanya: “Dok, saya ibu rumah tangga dengan satu anak perempuan. Baru naik kelas tiga SMP. Selama belajar di rumah saya dan bapaknya tidak bisa mengawasi, karena kami berjualan di Denpasar. Saya jadi khawatir karena setiap pulang sore anak saya tidak ada di rumah. Katanya di rumah temannya, belajar dok. Setelah saya telusuri ternyata itu di rumah pacarnya. 

[pilihan-redaksi]
Saya khawatir mereka malah pada sudah berhubungan seksual karena di rumah pacarnya orang tuanya juga tidak di rumah karena tetap pada bekerja. Saya curiga dan khawatir, dok. Apa saja yang memicu anak seusia anak saya  melakukan hubungan seksual sebelum waktunyai? Apa yang bisa dilakukan  buat mencegahnya?” (Bu Dayu, Tabanan)

Jawab: Wah unik juga. Di masa pandemi ini seharusnya anak belajar di rumah masing-masing didampingi orang tua, kasus ini malah jadinya belajar di luar rumah. Yang sebenarnya tidak saja mengkhawatirkan dari sisi pergaulannya, juga bisa berisiko penularan virus jika berada di luar rumah tanpa melakukan pencegahan. Seharusnya pencegahan penularan ini juga diajarkan kepada anak. Jangan keluar rumah, atau kalau harus keluar rumah secukupnya saja dengan jaga jarak, menggunakan masker, dan rajin cuci tangan.

Nah, mengenai pertanyaannya, yang memicu anak usia pelajar terlibat kasus seksual, bisa dijelaskan ke dalam dua faktor penyebab. Yang pertama adalah faktor internal, misalnya ketidaktahuan anak tentang seksualitas dirinya, ketidak pahaman tentang reproduksinya, termasuk ketidak siapan akan menyikapi rayuan, ajakan hingga agresi seksual dari orang lain. 

Sementara secara biologis, karena dorongan seksual sudah muncul. Yang kedua adalah faktor eksternal, misalnya pihak pelaku yang melakukan godaan dan rayuan dengan cara yang dianggap disukai, atau sebuah pembuktian. Misalnya hubungan seks sebagai bukti cinta dan sayang. Atau dalam keadaan lain misalnya kasus anak yang masih jauh di bawah umur, bisa karena tidak paham. 

Contohnya, jika ada seorang dewasa yang memberikan uang atau hadiah tertentu dengan kemudian sebagai balasannya harus mengikuti keinginan orang dewasa untuk membuka baju, siap diraba-raba, hingga melayani keinginan orang dewasa untuk melakukan hubungan seksual, itu bagi yang masih anak-anak sering kali tidak diketahui sebagai hal buruk atau hal yang belum boleh dilakukan. 

Ada faktor-faktor pendukung yang membuat anak menjadi lebih awal terlibat dengan aktivitas seksual, beberapa diantaranya adalah stimulus visual yang diterimanya, misalnya tayangan yang bersifat erotis yang dilihatnya langsung, bisa itu di media (tv, video, internet, gadget), bisa juga misalnya karena saat kecil sering melihat adegan seksual orang tuanya sendiri. 

Kemudian pergaulan lingkungan sebayanya juga, jika mulai terbiasa dengan hal-hal yang bermuatan seksual sejak dini, itu juga bisa memicunya untuk beradaptasi. Perlu diingat juga, konsumsi makanan jaman sekarang yang juga banyak ditambahkan dengan bahan mengandung hormon, seperti misalnya fastfood, misalnya ayam goreng yang ayamnya dibuat lebih gemuk dengan tambahan bahan yang mengandung hormon estrogen, jika dikonsumsi sering akan membuat pubertas dini, atau precock puberty. 

Banyak anak perempuan yang sudah mengalami menstruasi pertama juga di usia 10 atau 11 tahun karenanya. Jadi keseluruhan faktor tadi berkontribusi terhadap perubahan pola aktivitas seksual, yang sekarang mulai terjadi di usia dini. Di samping itu juga, rupanya faktor lingkungan pendukung ikut memperbesar peluang aktivitas seksual terjadi. Misalnya adalah permisifitas dan pembiaran dari lingkungan, serta lemahnya pembinaan dan pengawasan dari orang tua dan sekolah. Sehingga tidak mengherankan, beberapa kasus seperti ini, yang saya pernah tangani beberapa waktu lalu akan terjadi. 

Kasus siswi SD usia 11 tahun yang hamil, karena dibiarkan beberapa kali tanpa pengawasan menginap dan “mengaku menginap” di rumah temannya, yang justru pembiaran ini dimanfaatkan olehnya untuk beraktivitas dengan pacarnya yang masih 13 tahun. Lalu, kasus siswa SMP yang terkena infeksi menular seksual, gonore, karena sudah biasa mencari pekerja seks. Malah sempat saya tangani juga yang terkena HIV di usia 15 tahun. 

Terus, kasus siswi 16 tahun, yang mengalami kehamilan karena selama ini, karena yang bersangkutan sudah bisa cari uang sendiri dengan menjadi direct seller sebuah produk kosmetik yang dijual secara MLM, dari uang yang diperoleh yang bersangkutan bisa menyewa kamar kos, untuk dimanfaatkan buat berhubungan seksual dengan dua pacarnya (waktu pacarannya diatur sendiri olehnya). 

Hingga kasus video seks oral yang dilakukan sepasang pelajar, yang dilakukan saat keduanya mengaku ikut les di sekolah kepada orang tuanya, sayangnya video ini tersebar dan menjadi diketahui orang banyak. Kasus di atas baru beberapa kasus yang ada belakangan, kita pernah dengar kasus siswa yang ramai-ramai melakukan hubungan seksual di toilet sekolah, ada yang membuat video seksual di ruang kelas seusai sembahyang jumat, pelajar yang dilecehkan secara seksual oleh oknum gurunya, remaja yang diperkosa beramai-ramai oleh pacar dan teman-teman pacarnya, remaja yang diperkosa setelah berkenalan lewat facebook, remaja yang kabur dari rumah dan ikut kabur bersama pacarnya untuk menikmati aktivitas seksual, remaja korban pedofilia, dan banyak kasus lain, termasuk kehamilan siswi SD oleh pacarnya, yang sempat populer dibahas, yang semuanya tidak diharapkan dan butuh solusi buat mengatasinya. 

Akibat yang bisa ditimbulkan dari aktivitas seksual di usia anak atau remaja tanpa pemahaman yang baik adalah: kehamilan tidak diinginkan, yang sebagian bisa berbuah aborsi yang tidak aman, kemudian infeksi menular seksual mulai dari gonore, sifilis, herpes, klamidia, kondiloma, hingga HIV AIDS. Kemudian juga bisa menyebabkan kejadian gangguan infertilitas dan gangguan reproduksi lain. 

Disamping itu tentu saja akibat dan dampak psikososial, seperti trauma psikologis hingga stigma buruk dari lingkungan sosial padanya. Solusinya sebenarnya adalah pendekatan multisektoral. Semua pihak harus bisa dan mau mendukung kepentingan pendidikan buat remaja. Pendidikan seksual yang definitif dan terstruktur sudah seharusnya diberikan. 

Perlu juga orang tua, masyarakat dan para guru juga belajar tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang benar agar bisa memberikan dukungan dan pendidikan ke anak-anak di rumah, di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Semua harus bisa berperan. 
Sebagai salah satu rekomendasi, jika ada pertanyaan dari remaja di Bali, dapat menghubungi lembaga KISARA (Kita Sayang Remaja) PKBI Bali di Jalan Gatot Subroto IV/6 Denpasar, telpon 0361-430214.  

Dan terakhir, kembali diingatkan untuk semua tetap melakukan pencegahan penularan, yaitu jika keluar rumah harap menggunakan masker, selalu jaga jarak dan menghindari kerumunan, dan rajin cuci tangan terutama sampai di rumah. Jika mampu, tetap di rumah saja. Belajar dan sembahyang di rumah.


dr Oka Negara, MBiomed, FIAS

Reporter: bbn/oka



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami