search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Penerapan Sanksi dalam Penanggulangan Covid-19 di Bali, Seberapa Efektifkah?
Jumat, 25 September 2020, 10:00 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mulai memperketat penerapan protokol  kesehatan (Prokes) untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sebelumnya hanya sekadar imbauan, kini penerapannya memakai peraturan yang disertai sanksi administratif dan denda bagi pelanggarnya.

Besaran sanksinya tergantung pelaku pelanggarnya. Untuk pelaku pelanggaran perorangan, dendanya Rp 100 ribu. Sedangkan pelanggar seperti pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum didenda sebesar Rp 1 juta. Bahkan pelanggaran di kategori ini bisa berujung dengan pembekuan sementara izin usaha. 

Sanksi administratif dan denda ini diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 46 Tahun 2020 tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19.

Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi percepatan penyebaran coronavirus diseases (covid 19). Menghindari kegiatan berkerumun dan pembatasan sosial (social distancing). Hal tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Peraturan Pemerintah ini juga, sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Kemudian ditindak lanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 46 Tahun 2020 tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19.

Namun demikian tingkat kesadaran masyarakat akan bahaya penyebaran covid masih rendah, sehingga banyak yang tidak mematuhi atau melanggar kebijakan tersebut. Namun efektifkah penjatuhan sanksi pidana bagi pelanggar kebijakan peraturan gubernur tersebut? Bagaimana sebaiknya bentuk sanksi bagi pelaku pelanggar kebijakan tersebut?

Hukum atau aturan dibentuk demi kemanusiaan. Postulat itu memiliki kedalaman makna, bahwa dalam mengambil suatu kebijakan (hukum) bertujuan demi kemanusiaan, bukan semata untuk menghukum. Kesadaran masyarakatlah yang terpenting, sanksi diberikan bagi pelanggar sebagai pilihan paling terakhir. Hal tersebut menjadi perenungan penting, ketika melihat maraknya masyarakat yang harus dijatuhi sanksi karena melanggar aturan dari penerapan peraturan gubernur tersebut.

Pemberlakuan sanksi pidana dalam aturan tersebut sebenarnya hanya bersifat paksaan psikologis yang dalam hukum pidana dikenal Psichologische Zwang yang dikemukakan oleh Anslem von Feuerbach. Penerapan sanksi pidana diberlakukan sebagai ancaman psikologi, lebih tepatnya untuk menakut-nakuti, agar masyarakat jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang dalam peraturan tersebut. 

Dalam konteks dikeluarkannya kebijakan tersebut, maka sanksi pidana difungsikan untuk menakuti agar orang jangan sampai berkerumun dan tidak mengunakan masker dalam beraktivitas sehingga menekan laju penyebaran covid 19.

Dalam hukum pidana dikenal istilah 'mala in se' dan 'mala prohibita'. 'Mala in se' adalah perbuatan yang sejak dari awal dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat. 'Mala prohibita adalah perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu ketidakadilan. 

Singkatnya, 'mala in se' dianggap perbuatan pidana sebelum ditetapkan dalam undang-undang atau disebut kejahatan (misdrijf). Sedangkan mala prohibita baru menjadi perbuatan pidana setelah diatur dalam undang-undang atau disebut pelanggaran (overtreding).

Hal ini perlu disampaikan bahwa agar masyarakat paham sekaligus mengingatkan aparat penegak hukum, bahwa tindakan tidak mematuhi atau melanggar ketentuan kebijakan tersebut digolongkan dalam pelanggaran dan bukan kejahatan, sehingga pelaku atau masyarakat yang tidak mematuhi dapat dikatakan sebagai pelanggar dan bukan penjahat. Konsukuensi logis lainnya bahwa sanksi pidana bagi pelanggar akan lebih ringan dari pelaku kejahatan.

Kesadaran masyarakat yang masih sangat rendah di dalam masa pandemic covid 19, sehingga pelanggaran terhadap suatu kebijakan di setiap daerah masih saja terjadi. Hal ini tentu saja tidak efektif, dimana sanksi pidana sebaiknya dihindari, justru ketika dijatuhkan, hanya akan menimbulkan persoalan baru di masa pandemic.

Dengan adanya wacana untuk menerapkan sanksi alternatif perlu dipikirkan kembali oleh pengambil kebijakan di daerah atau wilayah. Sebenarnya di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang masih belum disahkan, ada beberapa sanksi yang diatur selain sanksi pidana penjara maupun denda diantaranya sanksi pidana kerja sosial, sanksi pidana pengawasan, dan sanksi pemenuhan kewajiban adat. Sanksi pidana kerja sosial, dapat diterapkan bagi pelanggar suatu kebijakan. 

Masyarakat yang melanggar dapat dikenakan sanksi dengan melakukan kerja sosial seperti menyemprotkan disinfektan, dan atau kerja sosial membagi-bagikan masker. Penerapan sanksi pidana berupa denda juga dapat menjadi sanksi alternatif dengan menjatuhkan sanksi denda, yakni dimana pelanggar membayar sejumlah uang guna membeli Alat Pelindung Diri (APD) bagi masyarakat, tenaga medis, atau membeli sejumlah masker atau kebutuhan pokok (sembako) untuk masyarakat tidak mampu. Sanksi pemenuhan kewajiban adat juga dapat diterapkan, tergantung adat istiadat yang berlaku di daerah pelanggaran kebijakan tersebut terjadi.

Tujuan awal awal dikeluarkannya peraturan gubernur tersebut adalah untuk menekan laju penyebaran covid 19 di provinsi bali, dengan membatasi pergerakan/berkumpul, menggunakan masker dan menghimbau tetap di rumah  Demi menegakkan kebijakan peraturan gubernur tersebut maka diaturlah sanksi bagi pelanggar. Sanksi pidana diletakkan dalam aturan, bertujuan untuk mencegah agar masyarakat tidak sampai melanggar aturan terkait kebijakan tersebut. 

Dan sebaiknya upaya pencegahan lebih dioptimalkan agar masyarakat sadar dan paham apabila tidak membatasi gerak sosial, tidak mengunakan masker di saat beraktivitas, maka penyebaran covid 19 akan terus berlanjut, serta sanksi alternatif juga harus diambil dengan merevisi aturan terkait kebijakan tersebut, karena hukum dibentuk demi kemanusiaan dan bukan untuk menghukum.

Penulis

I Gede Perdana Yoga., SH.,MH
Staf Sub.Bagian Pendidikan dan Kerjasama Rumah Sakit Universitas Udayana

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami