Hak Kami untuk Bernafas pun Dirampas
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
“Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk bernafas itu dirampas…)Kami berlayar (sic) dalam ruang dengan pintu besar dari jeriji besi, dan dikunci, dalam sekapan, dalam tiga ruang besar di bawah dek. Melihat langit pun tak lagi ada hak, jangankan memiliki atau ikut memiliki.
(Pramoedya Ananta Toer, 16 Agustus 1969)
Pramoedya Ananta Toer menuliskan kisah itu dengan mengutip Peltu Marzuki di RTC Salemba di saat melihat banyaknya tahanan politik berada dalam detik-detik terakhir hidup mereka menuju pembuangan di Pulau Buru. Kata-kata itu ia tulis kepada anak perempuannya yang baru saja menikah.
Sementara keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1969, ia sendiri dikirim ke Pulau Buru. Kisah Pramoedya, meski sempat dilarang pada rezim otoritarian Orde Baru, menjadi inspirasi perjuangan anak manusia yang memadukan sisi kemanusiaan dan tekad yang keras untuk memperjuangan ideologi yang diyakini.
Namun, di balik semua itu, kegetiran sejarah hidup manusia menjadi nyata dalam konteks konflik politik yang diakhiri dengan pembantaian sesama manusia dan saudara sendiri. Titik terendah rasa kemanusiaan itu menjadi tragedi memilukan yang pantas direnungkan, dijadikan cermin, dan yang terpenting tidak terulang lagi dengan alasan apapun.
Pada kemelut sejarah itu, sudah pasti ada banyak kisah pilu dalam tragedi kemanusiaan pembantaian sesama manusia dan saudara pasca G30S/Gestok (Gerakan 30 September/Gerakan 1 Oktober) 1965. Penumpasan komunis sampai keakar-akarnya adalah istilah yang sering kita dengar untuk gerakan membasmi orang yang menjadi anggota atau dilekatkan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan barisan organisasi pendukungnya.
Terhitung sejak 1965 hingga pertengahan tahun 1970-an, penculikan, pembantaian, intimidasi, dan dilanjutkan dengan pengiriman para tahanan politik yang “di-PKI-kan” ke Pulau Buru dan menghabiskan belasan tahun hidupnya menjadi warga negara yang dianggap kene garis (terkena garis merah PKI, komunis). Belum berakhir di situ, stigma komunis dan diskriminasi terhadap survivor dan keluarga korban berlanjut dengan menempatkannya sebagai “warga negara kelas dua” dan selalu dicurigai sebagai bahaya laten yang nanti akan membangkitkan ajaran dan partai komunisme di negeri ini.
Hantu komunisme kemudian direproduksi oleh negara, aparatusnya, barisan massa yang terlanjur berseberangan dan memusuhi baju “komunis”, dan agen-agen yang memanfaatkan kepentingan ekonomi politik. Maka berserakanlah kata-kata seperti subversif, separatis, “penghambat pembangunan”, jelme soleh (orang aneh), cucu komunis, titisan PKI, dan jargon-jargon lainnya yang kembali menarik ingatan kepada bagaimana begitu mengancam dan mengerikannya komunis.
Ketakutan dan hantu itu disebarluaskan dan dianggap sebagai musuh bersama sebagai lawan dari pariwisata, kebudayaan, dan pembangunan yang dianggap sebagai dewa. Yang disematkan jargon-jargon ini adalah orang-orang yang mencoba berpikir berbeda dan kritis dalam menyikapi berbagai persoalan yang berbeda dengan negara dan pemikiran dominan.
Dan kini, fenomena yang lebih menyedihkan sekaligus memprihatinkan adalah hilangnya sisi terdalam kemanusiaan kita ketika kekerasan menjadi satu-satunya jalan dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan sosial, agama, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyerangan kelompok keyakinan yang berbeda, konflik antar kampung, hingga pembakaran rumah karena berbeda kepentingan politik. Kekerasan menjadi keseharian dan keakraban dan bukan saja menyangkut urusan fisik, tapi lebih jauh menyangkut habitus dan tubuh sosial masyarakat di dalamnya.
Bangsa yang barbar dalam mengumbar nafsu kekerasannya lahir karena ketidakpedulian sosial terhadap korban. Kekerasan kian menjadi bagian dunia karena dunia tak bergerak saat salah satu anggotanya menjadi target kekerasan. Kekerasan tidak sekadar menyerang tubuh korban, tetapi juga tubuh sosial. Ketika kekerasan dibiarkan berlangsung dan para pelaku kekerasan dibebaskan untuk menyerang para korbannya, berarti kita telah pasrah dan menggadaikan nasib kita sendiri untuk menjadi korban kekerasan selanjutnya (Andalas, 2005).
Dari tragedi pembantaian massal 1965-1966 kita bisa belajar bahwa kekerasan begitu membadan dalam kehidupan sosial kita. Semua “kekerasan simbolik” itu kita ekspresikan dalam berbagai kehidupan termasuk salah satunya mendiskriminasikan para keluarga yang kita stigma tersangkut PKI (Partai Komunis Indonesia). Kita kadang sama sekali tidak mempedulikan hikayat mereka.
Mereka yang menjadi korban rata-rata menghembuskan nafas terakhirnya tanpa nama dan dianggap mati karena kesalahan mereka sendiri. Mengenang dan mengungkapkan kisah mereka adalah juga sebagai usaha mengenang dan “memberikan nama” serta penghargaan kepada korban dan survivor. Menyitir Hannah Arendt (dalam Andalas, 2005), tragedi kemanusiaan terjadi karena pelaku kejahatan berhasil menciptakan keterpecahan sosial dalam masyarakat.
Masyarakat dipecah belah, diseparasikan, dan diperlawankan satu sama lain. Mengingat korban berarti menolak tunduk pada kejahatan. Kita menciptakan jejaring solidaritas global untuk melawan kekerasan.
Keterpecahan yang terjadi dalam masyarakat dikarenakan kita menafikkan para korban, menganggapnya “sampah masyarakat” yang tidak berarti. Padahal dibalik semuanya, para korban dan survivor terdapat begitu banyak pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa kita pelajari. Menggali ingatan dan kisah korban dan survivor berarti kita telah menyatakan perang terhadap kejahatan dan lingkaran kekerasan yang masuk secara massif di tengah kehidupan kita.
Kita melawan keterpecahan dalam masyarakat dengan menjalin solidaritas mengenang dan mengingat para korban dan survivor kekerasan. Kekerasan kian menjadi bagian dunia karena dunia tak bergerak saat salah satu anggotanya menjadi target kekerasan. Kekerasan tidak sekadar menyerang tubuh korban, tetapi juga tubuh sosial. (Elie Wiesel, 1985; Andalas, 2005).
Etnografi identik dengan menggali ingatan rakyat yang dimaknai sebagai ruang pembebasan dan “sejarah” sebagai alat kekuasaan. Menggunakan etnografi dalam mengakrabi kekerasan dalam keseharian rakyat, kita akan tertantang untuk menembus celah-celah bagaimana teks “sejarah” yang telah diciptakan sebelumnya tidak bisa dibaca hanya sebagai cermin masa lalu, tetapi harus juga dilihat sebagai suatu rintangan yang menghalangi dan sekaligus juga membuka makna.
Kelampauan mengambil bentuk tidak hanya dalam bahasa (baca: narasi), tapi juga tersimpan dalam jejak-jejak dalam lingkungan sosial, sebuah site of memory yang sudah tentu berbeda dengan monumen-monumen pahlawan di ruas-ruas jalan yang dibangun oleh negara.
Dalam konteks perbincangan yang lebih umum, kebudayaan dan kekerasan menjadi suatu relasi yang saling menjadi, saling mempunyai tali temali yang kompleks. Namun sayangnya di Indonesia, secara khusus di Bali, kebudayaan dan kekerasan dibayangkan menempati dua ruang yang terpisah, yang tidak berhubungan sama sekali. Kebudayaan dilihat secara hirarkis sebagai sesuatu yang ada di “dunia atas” seperti kerajaan, istana, dan departemen. Sedangkan kekerasan dianggap “diluar” atau di “dunia bawah”.
Barangkali “sejarah yang benar” hanya mampu memberikan secercah harapan, yang berada di luar rezim-prasasti, yang beresiko membekukan dan menunggalkan ingatan yang variatif. Barangkali juga “sejarah yang benar”adalah suatu cakrawala yang memberi inspirasi yang mengundang agar masyarakat itu sendirlah yang menjadi sejarawan, daripada hanya sekadar menjadi objek ilmu (Santikarma, 2008).
Saya menulis buku yang merupakan kumpulan essai berjudul, Tutur Ne Len, Etnografi Kekerasan Tragedi 1965 di Bali (2013). Buku tersebut mengutamakan narasi dan sisi-sisi kemanusiaan dalam kemelut sejarah pembantaian 1965 di Bali. Esai-esai dalam buku ini adalah catatan lapangan saya yang tertinggal saat melakukan studi lapangan intensif tentang tragedy pembantain massal di “tahun yang tak pernah berakhir” (1965) dalam sejarah kekerasan dan politik kebudayaan di Indonesia (Bali).
Saya menemukan beberapa catatan lapangan yang tertinggal yang belum atau sudah saya publikasikan. Saya mengolahnya kembali dan menulisnya dengan gaya bertutur. Saya menjadikan karya ini untuk memicu semangat untuk melanjutkan studi tentang 1965 yang masih saya impikan.
Pesan dari buku itu kurang lebih adalah di atas pergolakan dan dendam politik, menghilangkan nyawa seseorang adalah taraf terendah dari rasa kemanusiaan kita. Jadi, tidak ada pembenaran untuk membunuh sesama manusia atas nama apapun.
Ketika kita membiarkan kekerasan dan pembunuhan berlangsung, berarti kita telah mengiyakan kekerasan tersebut dan membiarkannya tumbuh dalam lingkungan sosial kita. Maka, saat kekerasan berlangsung kita harus menyuarakan kepedulian dengan berbagai cara untuk menghentikannya atau membuka kesadaran kita tentang betapa kejinya kekerasan tersebut.
I Ngurah Suryawan
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa, Bali.
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC) Bali.
Reporter: bbn/opn