search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kendala Bahan Baku Impor dan Pemasaran, Ini Strategi Pengusaha Tahu dan Tempe
Selasa, 16 Februari 2021, 23:00 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Dampak Pandemi Covid-19 terasa di semua lapisan termasuk sektor usaha kecil. Seperti salah satunya dialami para pelaku usaha pembuat tahu dan tempe yang berbahan baku kedelai.

Para pelaku usaha tersebut rata-rata mengaku mengalami kesulitan, baik dalam pemasaran maupun pembelian bahan baku. Dikarenakan, selain harga jual tahu maupun tempe tidak dapat diangkat ke harga lebih tinggi. Harga bahan baku juga mengalami kenaikan kurang lebih sebesar 50 persen dari harga sebelum Pandemi merebak.

"Harga kedelai Impor naik dari Rp6.750 menjadi Rp9.750 per kilonya untuk kedelai merek Siip dari PT. Sari Agrotama Persada. Sedangkan kedelai import merek Bola dari PT Gerbang Utama sebelumnya Rp6.800 saat ini Rp10.000 per kilonya. Bisa dikatakan kenaikan harga bahan baku sangat tinggi," jelas Ketua PUSKOPTI (Pusat Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia) Bali, H Sutrisno di Denpasar, Selasa (16/2).

Dengan adanya kenaikan harga bahan baku telah dirasakan 3 bulan yang lalu, yang menyebabkan produksi akhirnya ikut menurun sebesar 50 persen. Dengan kondisi tersebut dari 405 anggota se-Bali menyiasati dengan mengatur volume kedelai serta ukuran dari tahu maupun tempe tersebut.

"Rata-rata konsumen tidak mau harganya naik. Saat ini bisa dilakukan dengan cara, sebelumnya satu kilo kedelai dijadikan 10 tempe, akan tetapi saat ini dijadikan 12 tempe jadi volume atau ukurannya lebih ditipiskan serta dikecilkan," ujarnya.

Berton-ton bahan baku berupa kedelai impor bisa dihabiskan dalam sebulan oleh satu anggota.  "Total satu anggota bisa menghabiskan kedelai rata-rata 3 ton sebulan dengan menghasilkan 810 ton produk," katanya.

Menurutnya sebagian besar anggota masih memanfaatkan kedelai impor bukan bearti kedelai lokal kalah kualitasnya. Malah sebaliknya, kedelai lokal kualitasnya lebih gurih rasanya ketimbang kedelai impor.

Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan bahan baku kedelai lokal sangat sulit. "Kedelai lokal tidak ada, karena petani sendiri ogah menanamnya atau bisa disebut produksi sangat kecil, padahal dari segi kualitas kedelai lokal sangat bagus," paparnya.

Tentu melihat kondisi saat ini membuat penjualan ikut menurun drastis. "Pertama kondisi ekononi telah merosot, apalagi di Bali sangat terasa sekali yang membuat anggota merasa sangat berat. Terpenting saat ini bisa bertahan hidup saja sudah bersyukur," ucapnya.

Dirinya berharap kepada Pemerintah, bagaimana agar tata niaga penjualan kedelai dapat ditangani oleh pemerintah dengan baik stidaknya harga bisa stabil kembali.

Ia menambahkan dari sisi serapan tenaga kerja usaha ini sangat banyak yaitu 3.840 sebelum pandemi. Namun, saat ini telah menurun sebesar 30 persen.

Reporter: bbn/aga



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami