search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Arab Saudi Disebut Jadi Ibu Kota Narkoba Timur Tengah
Minggu, 4 September 2022, 09:05 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Arab Saudi Disebut Jadi Ibu Kota Narkoba Timur Tengah

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Kasus narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) di Arab Saudi semakin menjadi sorotan setelah pada Rabu, (31/8), penyitaan obat-obatan terlarang di negara tersebut mencetak rekor. Saat itu, pihak Kepolisan Arab Saudi menyita hampir 47 juta pil amfetamin yang disembunyikan dalam paket pengiriman tepung di sebuah gudang di Riyadh, ibu kota Arab Saudi.

Temuan yang menggegerkan tersebut semakin menambah panjang kasus narkoba di negara Teluk itu. Salah satu kasus paling geger terjadi pada April lalu.

Kala itu, seorang pria dilaporkan membakar rumah keluarganya menjelang buka puasa Ramadan hingga empat jiwa melayang. Polisi menyebut pelaku berada di bawah pengaruh metamfetamin alias sabu.

Kasus narkoba di Arab Saudi pun telah menjadi pembahasan banyak media lokal. Rentetan kasus hingga rekor penyitaan pun membuat sejumlah pakar menyebut Arab Saudi sebagai "ibu kota narkoba Timur Tengah".

Menurut para ahli, diberitakan CNN pada Jumat (2/9), Arab Saudi kini menjadi tujuan utama penyelundupan narkoba dari Suriah dan Lebanon. Para ahli menyebut negara Kerajaan itu jadi salah satu wilayah terbesar dan paling menguntungkan untuk peredaran narkoba, dan status itu terus menguat.

Direktorat Jenderal Pengendalian Narkotika menyebut kasus para Rabu (31/9) adalah kejadian penyelundupan tunggal terbesar narkoba di negara tersebut.

Meski pihak Kepolisian tidak menyebutkan nama obat yang disita dan asalnya, Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) mengatakan "laporan penyitaan amfetamin dari negara-negara Timur Tengah terus merujuk pada tablet bertuliskan logo Captagon".

Captagon merupakan merek dari produk medis yang mengandung stimulan sintetis fenethylline. Menurut Pusat Pemantauan Narkoba dan Adiksi Eropa, meski kini tak lagi diproduksi secara legal, obat-obatan palsu dengan nama itu pun terus ditemukan dalam penyitaan di Timur Tengah.

Pemusnahan narkoba yang telah disita di Arab Saudi dan sekitarnya juga terus menggendut. Pada awal pekan ini, sebuah kapal Penjaga Pantai AS menyita 320 kilogram tablet amfetamin dan ganja hampir 3.000 kilogram senilai jutaan dolar dari sebuah kapal nelayan di Teluk Oman.

Pengamat dari Brookings Institution di Washington DC, Vanda Felbab-Brown, menyebut Captagon semula dikenalkan di Arab Saudi pada 15 tahun lalu. Namun pemakaian obat itu makin intensif dalam lima tahun terakhir.

"Mungkin menjadi setara dengan ganja," kata Felbab-Brown yang juga menulis soal narkotika di Timur Tengah.

"Hal ini karena ada banjir pasokan yang kini sebagian besar datang dari Suriah. Di sana, ini diproduksi dalam skala industri di pabrik kimia yang diwarisi dari rezim [Assad]," lanjutnya yang juga mengatakan obat-obatan itu dipasok oleh panglima perang rezim dan sekutunya.

CNN menyebut Pusat Komunikasi Internasional Arab Saudi tidak merespons permintaan tanggapan atas hal tersebut.

Menurut jurnal International Addiction Review, Captagon bisa dijual antara US$10-25 per butir. Bila merujuk pada penyitaan teranyar pada Rabu (31/8) dan dianggap sebagai obat yang sama, maka nilai obat-obatan haram yang disita itu senilai US$1,1 miliar atau Rp16,3 triliun (US$1=Rp14.892).

Caroline Rose, analis senior dari New Lines Institute yang mempelajari perdagangan Captagon, mengatakan obat jenis amfetamin tersebut dicari karena dianggap sebagai pelarian pengguna menghadapi "kerawanan pangan dalam mencegah kelaparan,"

"Serta mendorong euforia yang disebut pengguna membantu mengatasi stres traumatis. Disebut pula, sifat yang sama dari Captagon itu dicari oleh pekerja asing di negara-negara Teluk yang kaya seperti Arab Saudi, guna mendorong performa kerja penggunanya," kata Rose.

Menurut sejumlah penelitian, penggunaan amfetamin populer di kalangan anak muda Arab Saudi. Sebuah studi pada 2021 di jurnal Crime, Law and Social Change menulis seorang pemuda menyebut temannya lebih suka Captagon dibanding ganja yang juga populer di negara itu.

"Setelah kami mendapatkan 25 riyal dari orang tua [kami], kami dapat membeli satu tablet dan menikmatinya." kata pemuda tersebut.

Rose pun menyebut di pasar konsumen yang lebih kaya, obat dari amfetamin punya daya tarik sebagai rekreasi. Apalagi kaum muda di Arab Saudi banyak merasa bosan karena "meluasnya pengangguran dan kekurangan hiburan".

"Beberapa konsumen menilai Captagon sebagai zat yang tak lagi tabu, dibandingkan dengan obat yang lebih kencang seperti opiat dan kokain," kata Rose.

Felbab-Brown pun menilai Arab Saudi perlu mendidik kaum mudanya agar tidak terjebak pada narkoba di tengah upaya melonggarkan bisnis hiburan negara itu oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Sejumlah pusat rehabilitasi pun telah bermunculan di berbagai penjuru Arab Saudi, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta. Salah satu yang pertama dibuka adalah Qaweem.

"Kami sangat diminati, sayangnya," kata CEO Qaweem, Khalid Al Mashari. "Namun setidaknya orang punya pilihan sekarang dibanding harus ke negeri tetangga untuk berobat,"

Selain keberadaan rehabilitasi, Felbab-Brown mengatakan kebijakan melawan narkoba mestinya lebih ke arah edukasi dan preventif, alih-alih mengeraskan hukuman.

"Tidak seperti sebagian besar dunia [yang] telah meninggalkan kebijakan kontraproduktif yang kaku dan sebagian besar tidak efektif atau langsung, Timur Tengah sering menggandakannya," katanya. "Memenjarakan pengguna tidak efektif dan kontraproduktif."(sumber: cnnindonesia.com)

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami