Kasus Bunuh Diri di Bali Tertinggi, Cerminan Kesehatan Mental yang Terluka
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Angka bunuh diri di Bali pada tahun 2024 tercatat mencapai 95 kasus. Angka ini setara dengan 3,07 persen populasi dan lima kali lipat dari rata-rata nasional, menjadikan Bali sebagai provinsi dengan tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia.
Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, S.Ked, Sp.KJ (K), MARS, menyampaikan bahwa tingginya angka ini merupakan sinyal bahwa masyarakat Bali tengah mengalami krisis kesehatan mental yang belum tertangani dengan serius.
“Tingginya angka bunuh diri di Bali menunjukkan bahwa masyarakat kita dalam keadaan sakit dan belum adanya perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk menjadikan kesehatan mental di masyarakat sebagai isu yang serius dan kompleks,” tegasnya, Senin (7/4/2025).
Menurut Prof Cok Bagus, fenomena bunuh diri tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga merupakan cerminan dari tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang terus membebani masyarakat tanpa ruang yang memadai untuk pemulihan.
Ia menyoroti bahwa beberapa akar masalah kesehatan mental di Bali meliputi stigma terhadap gangguan jiwa, keterbatasan layanan kesehatan mental, dan tekanan adat serta budaya.
“Beberapa akar masalah yang menurut saya memperburuk kondisi kesehatan mental di Bali antara lain adalah stigma terhadap gangguan jiwa, minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental, tekanan sosial dan budaya yang kuat, serta dampak ekonomi pasca-pandemi yang masih terasa,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat usia produktif banyak yang memendam tekanan psikologis dalam diam karena takut dianggap lemah atau malu mengungkapkan perasaannya.
“Banyak orang yang masih menganggap bahwa mengalami gangguan jiwa adalah sesuatu yang memalukan atau tabu,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa jumlah tenaga profesional kesehatan jiwa masih terbatas, terlebih di wilayah terpencil. Tekanan adat dan ekspektasi sosial seperti beban upacara yang semakin besar tanpa keseimbangan finansial turut menjadi pemicu stres yang berat.
Kondisi semakin memburuk pascapandemi, di mana sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali mengalami guncangan besar. Banyak warga kehilangan penghasilan dan terjebak dalam krisis finansial dan psikologis.
“Serbuan tenaga kerja dari luar pulau juga menambah persaingan dan stress serta mengubah pola hidup masyarakat Bali yang sebelumnya lebih berfokus pada relasi sosial yang harmonis,” tambahnya.
Sebagai solusi, Prof Cok Bagus menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh dan kolaboratif, yang tidak hanya bertumpu pada rumah sakit atau psikiater, melainkan peran semua pihak dalam masyarakat.
“Literasi kesehatan mental harus ditingkatkan agar masyarakat tidak lagi takut mencari bantuan. Layanan konseling perlu diperluas, bahkan hingga tingkat desa atau banjar,” sarannya.
Ia juga mengajak tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk membuka ruang dialog yang empatik dan inklusif terhadap masalah kejiwaan.
“Kesehatan mental bukan hanya urusan rumah sakit atau tenaga medis, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat,” pungkasnya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim