search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Jasad Manusia yang Dijadikan Kompos Berisiko Tularkan Penyakit
Jumat, 18 November 2022, 23:12 WITA Follow
image

bbn/cnnindonesia.com/Jasad Manusia yang Dijadikan Kompos Berisiko Tularkan Penyakit

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Pakar kesehatan lingkungan Indonesia menjelaskan jasad manusia yang dijadikan kompos seperti di sejumlah negara bagian Amerika Serikat berisiko menularkan penyakit.

"Pengomposan manusia terdapat risiko menularkan penyakit yang dibawa jasad dan tidaklah lazim di agama Islam," kata Profesor Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga Surabaya Ririh Yudhastuti dalam keterangan tertulis, hari ini.

Ririh mencontohkan hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit ini (lain) itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping.

"Itu artinya apa? kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa (dan sejenisnya) baru kita kubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman," kata dia.

Menurut dia, pengomposan manusia dilakukan dengan meninggalkan tubuh dalam wadah berisikan serpihan kayu dan bahan organik lainnya selama sekitar satu bulan. Kemudian memanfaatkan bakteri untuk menjadi kompos.

Selain itu, kata dia, dari situs Gizmodo, proses penguburan di California membutuhkan tiga galon bahan pembalseman untuk tiap jasadnya seperti formaldehida, metanol, dan etanol.

Sedangkan proses kremasi menghasilkan lebih dari 500 pound (227 kilogram) karbondioksida dari proses pembakaran satu jasad.

Pembakaran itu sendiri menghabiskan energi yang setara dengan dua tangki bensin. Di Amerika Serikat, kremasi menghasilkan sekitar 360.000 metrik ton karbondioksida setiap tahun.

Dia menjelaskan dalam penanganan jasad terinfeksi COVID-19, tingkat penularannya tinggi yakni, jasad tersebut harus dikubur sedalam 3 meter atau lebih serta tidak berada di sekitar sumber air.

"Itu baru satu penyakit, penyakit lain banyak seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada (antraks)," ujar dia.

Menurut Ririh, negara bagian seperti Colorado kemungkinan memiliki budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia.

"Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia) biasa di sana. Tanah di sana juga kering jadi tidak banyak ini (unsur hara)," kata dia. [Antara]

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami