Fenomena Ramai Jadi Ateis di Negara Arab
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Islam dan Timur Tengah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, di sanalah pusat dan awal mula perkembangan ajaran Islam.
Baca juga:
Trump Akan Ajukan Pembelaan Atas 34 Tuduhan
Maka, tak heran kalau penduduk di kawasan tersebut mayoritas beragama Islam. Mengacu pada Pew Research Center, pada 2015 saja terdapat 317 juta umat Muslim atau sekitar 93 persen yang tinggal di beberapa negara yang tersebar di sana.
Meski statistik berkata demikian tetapi dalam satu dekade terakhir muncul fenomena menarik terkait agama yang dianut penduduk Arab itu. Fenomena tersebut adalah kenaikan penganut ateisme.
Ada beberapa survei yang memaparkan fakta demikian. Pada 2019, dalam survei BBC International terjadi peningkatan persentase penduduk yang tidak beragama, dari awalnya hanya 8 persen pada 2013 menjadi 13 persen pada 2019.
Beberapa lembaga juga pernah melakukan jajak pendapat dalam tingkat regional. Di Iran, dalam riset "Iranian's Attitudes Toward Religion (2020)" terungkap bahwa 47 persen dari 40.000 responden mengaku telah beralih dari beragama menjadi ateis.
Sementara di Turki, negara yang 99 persen berpenduduk Muslim, tercatat peningkatan jumlah ateis dalam kurun 10 tahun terakhir. Dalam laporan lembaga survey Konda pada 2019, ditemukan bahwa jumlah orang Turki yang mengaku menganut Islam telah turun dari 55 persen menjadi 51 persen.
"Penurunan ini bukan beralih ke agama lain tetapi menjadi ateis," bunyi laporan itu.
Sedangkan di Mesir, mengutip Deutsche Welle, Universitas Al-Azhar Kairo pada 2014 juga melakukan survey tentang topik serupa. Hasilnya menunjukkan bahwa 10,7 juta dari 87 juta penduduk Mesir mengaku menjadi ateis, mencapai 12,3 persen dari keseluruhan populasi.
Hal sama juga terjadi di Arab Saudi. Mengutip laporan "Saudi Arabia 2021 International Religious Freedom Report (2021)" tercatat ada 224 ribu yang memilih tidak beragama, baik ateis atau agnostik.
Penyebab?
Hannah Wallace dalam artikel "Men without God: The Rise of Atheism in Saudi Arabia" (2020) menjelaskan ini tidak terlepas dari sikap politik pemerintah yang menggunakan agama. Hal itu, tulisnya, setidaknya terjadi di Arab Saudi.
Akibatnya, penduduk yang kritis menolak dan menganggapnya politisasi. Semakin mudah mengakses dan berinteraksi dengan kelompok serupa di dunia maya juga mepengaruhi ini.
Kasus di Arab Saudi juga terjadi di Turki. Kepemimpinan Erdogan, diklaim menggeser konsep sekulerisme Turki, yang telah diajarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Beberapa aturan ketat agama diterapkan seperti melarang minuman keras. Ini membuat beberapa kelompok mulai mengaku tak beragama.
Pendapat lain disampaikan oleh Tamer Fouad, koresponden hubungan internasional Guardian. Menurutnya ada dua hal penyebab meningkatnya ateisme di negara Arab.
Pertama, adanya pandangan negatif terhadap agama karena pemberitaan buruk. Mulai dari penghancuran masjid, pembakaran gereja, hingga aksi kekerasan lain atas nama agama.
Kedua, munculnya kegagalan kepemimpinan partai dan tokoh Islam pasca-Arab Spring. Arab Spring atau Musim Semi Arab yang berupaya menghadirkan demokratisasi dan perbaikan ekonomi kenyataannya gagal dilakukan oleh banyak negara yang dipimpin dua pihak tersebut.
Kegagalan negara untuk memperbaiki kualitas kehidupan politik dan ekonomi membuat rakyat kecewa. Akibatnya mereka tidak lagi memilih partai dan tokoh Islam sebagai pemimpin, sekaligus juga memilih untuk tidak lagi hidup dengan agama.
Meski begitu, Brian Whitaker di Al-bab menyebut menjadi orang Arab dan tak beragama sekaligus adalah hal sulit karena sangat berbahaya. Sebab, mereka bisa dikucilkan oleh keluarga, teman, dan lingkungan.
Bahkan bisa juga mendapat hukuman mati dari negara. Jadi, salah satu cara untuk lepas dari bahaya itu adalah dengan menyembunyikan statusnya.(sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Juniar
Reporter: bbn/net