search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Air irigasi Macet, 135 Hektare Lahan Pertanian di Subak Luwus l Terbengkalai
Kamis, 9 November 2023, 08:13 WITA Follow
image

beritabali/ist/Air irigasi Macet, 135 Hektare Lahan Pertanian di Subak Luwus l Terbengkalai.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, TABANAN.

Lahan pertanian seluas 135 hektare lebih di Subak Luwus l, Desa Cay Blayu Kecamatan Marga dibiarkan kering karena pasokan air irigasi macet akibat adanya sidimentasi atau mengendapan lumpur di terowongan Dam Temacun-Luwus-Carangsari. 

Pekaseh Luwus I, I Made Puspa, menyebutkan lahan pertanian ini dibiarkan terbengkalai sejak bulan Maret 2022. 

"Ini sudah terjadi sejak 2022 lalu. Banyak petani memilih untuk membiarkan sawahnya terbengkalai karena tidak air yang mengalir akibat sidimentasi yang menyumbat air Dam di hulu," ujarnya Selasa, (7/11). 

Kondisi ini, diakui Made Puspa sebenarnya sudah sering terjadi, namun kondisi yang paling parah mulai terjadi sejak tahun 2021 lalu. Saat ini endapan lumpur di terowongan Dam Temacun-Luwus-Carangsari ini sudah mencapai lebih dari satu meter.

Terowongan tersebut memiliki tinggi dan lebar sekitar 1,5 meter. Panjangnya sekitar 400 meter dan kedalamannya sekitar 25 meter. Terowongan tersebut juga bersebelahan dengan saluran air yang mengalir ke arah Desa Carangsasi di Kabupaten Badung.

Karena itu, para petani kesulitan untuk menanam padi jika musim kemarau tiba. Bahkan sejak tahun 2022 lalu, petani di kawasan Subak Luwus l ini juga tidak bisa menanam Palawija. Kalaupun ada yang memaksakan untuk menanam padi atau Palawija, Puspa menyatakan sudah dipastikan akan mengalami gagal panen. 

"Pernah ada yang memaksa menanam padi dengan menggunakan air PAM, tapi karena biayanya mahal, maka tidak dilanjutkan lagi" lanjutnya.

Lantas apa yang dilakukan para petani ini setelah tidak bertani lagi? Ditanya demikian, Puspa mengaku jika hampir semua petani yang ada di areal subaknya yang lahannya terbengkalai memilih untuk bekerja ke luar desa. 

"Ada yang bekerja sebagai buruh bangunan, ibu-ibu nya bekerja menjadi tukang suun atau pekerjaan lainnya. Yang jelas mereka sangat kesulitan sejak satu setengah tahun lalu, karena sawah sudah tidak bisa ditanami lagi," paparnya.

Selain saluran irigasi yang macet akibat pengendapan lumpur, sehingga menyebabkan lahan pertanian basah terbengkalai, Subak Luwus juga memiliki permasalahan lain untuk areal perkebunannya, yakni tidak memiliki akses jalan pertanian atau jalan Bina Tani. Sehingga hasil kebun dari Krama Subak Luwu l tidak bisa dijual dengan maksimal.

Seperti yang dicontohkan Made Puspa, hasil perkebunan berupa kelapa dan lain sebagainya jarang bisa dijual dengan harga pasar yang pantas, karena tidak adanya akses jalan sehingga pembeli kesulitan untuk mengangkut hasil perkebunannya.

"Contohnya kelapa, biasanya kelapa di kebun dijual Rp6 ribu per butir, di kebun kami harganya hanya Rp3 ribu per butir, ini karena akses ke kebun sulit karena tidak ada jalan Bina Tani," tambahnya. 

Editor: Robby

Reporter: bbn/tab



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami