search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Program Siaran Berita TV: di Antara Dominasi Iklan dan Opini
Selasa, 15 Oktober 2024, 16:59 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Program Siaran Berita TV: Diantara Dominasi Iklan dan Opini.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Program siaran berita pada lembaga penyiaran televisi (TV) adalah bagian penting dari masyarakat demokratis, karena memainkan peran penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang peristiwa terkini, isu-isu publik, dan keputusan yang dibuat oleh pejabat publik. 

Namun, program berita juga dapat menjadi alat untuk memanipulasi opini publik dan mempromosikan kepentingan kelompok tertentu, yang dapat menjadi kekhawatiran bagi kepentingan publik secara keseluruhan. Mengutamakan kepentingan publik dalam penyiaran program TV merupakan kewajiban karena lembaga penyiaran TV menggunakan frekuensi publik dan sebagai media juga terdapat tuntutan untuk mengutamakan hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. 

Keseimbangan antara penyampaian informasi yang tidak memihak dan faktual serta melayani kepentingan komersial telah lama menjadi topik perdebatan. Program penyiaran berita, khususnya yang disiarkan oleh lembaga penyiaran, sering kali menghadapi tantangan untuk menavigasi ranah opini, periklanan, dan jurnalistik.

Program berita di TV dalam perkembanganya mulai memasukkan opini dalam karya jurnalistiknya, dalam bentuk judul berita bertanya atau menggunakan tanda tanya. Memainkan opini dengan menggunakan kalimat bertanya kini seakan menjadi hal wajar dan benar, padahal fungsi TV sebagai media dan lembaga penyiaran adalah memberikan informasi berdasarkan fakta dan data secara aktual. 

Menjadi sangat aneh ketika TV dalam program berita mengajukan pertanyaan, karena seharusnya memberikan informasi yang berimbang dan akurat. Lembaga penyiaran jika ingin menyampaikan pandangan dan pendapat seharusnya dibuat dalam satu program editorial atau tajuk rencana yang merupakan bentuk sikap redaksi terhadap suatu kasus atau fenomena. 

Meskipun opini dan segmen editorial mempunyai tempat dalam jurnalisme, kaburnya garis antara pemberitaan faktual dan sudut pandang subjektif dapat menyebabkan penyebaran informasi yang bias. Hal ini menimbulkan ancaman terhadap kemampuan masyarakat untuk membentuk opini yang independen dan terinformasi dengan baik. Penting bagi lembaga penyiaran untuk menjunjung tinggi prinsip integritas jurnalistik dengan membedakan secara jelas antara berita dan konten berbasis opini.

Media TV harus berpedoman pada fakta dan data, bukan opini, ketika melaporkan berita. Memastikan bahwa semua pernyataan yang dibuat didasarkan pada sumber yang dapat diverifikasi, dan bahwa semua sisi suatu cerita diberikan kesempatan yang adil untuk diungkapkan. Media TV juga harus mengikuti standar etika dan jurnalisme yang kuat, yang memastikan bahwa berita yang disiarkan akurat, seimbang, dan adil. 

Langkah ini termasuk menghindari bias, dan memastikan bahwa semua sisi suatu cerita diberikan kesempatan yang adil untuk diungkapkan. Media TV juga harus menghindari penyebaran berita palsu atau informasi yang salah, dan harus mengambil tindakan yang tepat ketika mereka menyadari bahwa mereka telah melaporkan berita yang salah. 

Secara keseluruhan, media TV memainkan peran penting dalam masyarakat demokratis, karena mereka memberikan informasi penting kepada masyarakat tentang peristiwa terkini dan isu-isu publik. Namun, penting bagi masyarakat untuk memiliki berbagai macam sumber berita yang tersedia, dan untuk memiliki standar etika dan jurnalisme yang kuat, untuk memastikan bahwa media TV mewakili kepentingan publik secara keseluruhan.

Permasalahan berikutnya dalam program berita di TV adalah dominasi iklan. Kondisi ini sering menimbulkan guyonan, apakah program yang disiarkan program berita atau program iklan? Hal ini dapat dicermati dengan mudah, dimana selama siaran program berita terdapat sisipan iklan dalam beragam bentuk. Sisipan iklan mulai dari running text, banner, infus iklan, iklan membingkai layar, iklan yang menjadi background studio siaran hingga promo iklan yang disampaikan langsung presenter saat penutupan program berita. 

Bahkan pada beberapa kasus terdapat berita advertorial (berita iklan) yang dicampur dalam berita karya jurnalistik. Fakta ini menjadi bukti bahwa kepentingan publik tidak lagi menjadi tujuan utama, tetapi tujuan komersial telah mendominasi. 

Memang penting untuk menyadari kendala finansial yang sering dihadapi lembaga penyiaran. Pendapatan yang dihasilkan dari iklan memainkan peran penting dalam mempertahankan operasional lembaga-lembaga tersebut dan mendukung produksi konten berita berkualitas tinggi. Mencapai keseimbangan antara kelayakan komersial dan integritas jurnalistik merupakan tantangan berat yang memerlukan pertimbangan cermat dan pemahaman etis. Keterkaitan kepentingan komersial dengan penyiaran berita berpotensi membahayakan kredibilitas dan objektivitas informasi yang disampaikan. 

Dimasukkannya iklan dalam program berita, terutama yang menyamar sebagai segmen berita, menimbulkan kekhawatiran etis mengenai prioritas keuntungan finansial dibandingkan penyebaran informasi yang benar dan relevan. Kebutuhan untuk menghasilkan pendapatan melalui periklanan tidak boleh menggantikan tanggung jawab untuk menyediakan liputan berita yang tidak memihak dan tidak dipalsukan kepada publik.

Apabila dihitung durasi keseluruhan iklan, termasuk iklan yang disisipkan dalam program berita dan program siaran lainnya persentasenya bisa melebihi dari ketentuan yang ditetapkan. Berpedoman pada pasal 46 (8) Undang-Undang Penyiaran No.32 tahun 2002 disebutkan “Waktu siaran iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu siaran. Batasan 20 persen itu juga mesti dikurangi durasi siaran iklan layanan masyarakat, dimana durasi iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga dan paling sedikit 30 persen untuk lembaga penyiaran publik. 

Bentuk iklan dalam program berita di TV juga tidak jarang dikemas dalam bentuk dialog. Padahal Pasal 64 dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) menyebutkan bahwa Program siaran yang berisi perbincangan tentang produk barang, jasa dan/atau kegiatan tertentu dikategorikan sebagai iklan dan dihitung dalam total persentase durasi iklan per hari. Penegasan bahwa program berita harus memiliki batas api yang jelas dengan iklan juga tertuang dalam pasal 65 SPS, dimana disebutkan bahwa “Program siaran jurnalistik dilarang disisipi dan atau ditempel (built in) iklan produk barang, jasa dan/atau kegiatan di segmen tertentu, tanpa disertai batas yang jelas dalam bentuk bumper”.

Masuknya iklan pada program siaran berita menjadi pertanda bahwa kepentingan publik telah dirampas, ini juga mengurangi kenyamanan publik dalam mendapatkan haknya akan informasi yang akurat dan aktual. Kasus ini juga menjadi bukti jam siar lembaga penyiaran telah diobral dengan harga murah, dan tentu dampaknya pada rendahnya pendapatan dari lembaga penyiaran. Jika lembaga penyiaran tetap berpedoman pada ketentuan batas persentase iklan niaga sesuai pasal 46 (8) Undang-Undang Penyiaran maka setiap detik jam siar harganya akan semakin naik atau mahal.

Pendapat bahwa iklan sisipan pada program berita masih dapat diijinkan karena bentuknya soft selling sering dijadikan alasan. Dimana soft selling diartikan sebagai strategi promo yang berfokus pada penggunaan bahasa yang kasual dan persuasif yang samar, serta tanpa masuk ke isi berita. Prinsip dasarnya sebenarnya bukan pada masalah hard selling atau soft selling, tetapi pada persentasi siaran iklan niaga. 

Secara aturan juga sudah sangat jelas bahwa program siaran berita tidak boleh disisipan iklan, apalagi tanpa disertai batas yang jelas dalam bentuk bumper. Secara definisi pengertian berita dengan iklan juga sangat berbeda, sehingga tidak dapat dicampur dalam penyiarannya. Kendati berita dan iklan sama-sama adalah pesan dan data, namun memiliki prinsip dasar yang berbeda. 

Iklan berupakan salah satu bentuk informasi, dimana informasi yang tersaji tanpa ada konfirmasi dan klarifikasi data oleh wartawan sehingga dapat beresiko pada timbulnya mis informasi bahkan kemungkinan menimbulkan hoaks. Berbeda dengan berita yang merupakan data atau pesan yang telah diklarifikasi dan dikonfirmasi oleh wartawan, sehingga keakuratannya dapat dipertanggungjawabkan. 

Batasan persentase penayangan iklan niaga pada prinsipnya juga telah dilengkapi dengan sanksi, tetapi aturan ini belum terimplementasi, karena KPI belum pernah melakukan penghitungan persentase penayangan iklan niaga. Saksinya tertuang dalam pasal 80 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), dimana disebutkan Program siaran iklan niaga yang melebihi 20% (dua puluh persen) dari seluruh waktu siaran per hari, setelah mendapat teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali, dikenai sanksi administratif berupa denda  administratif untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Ditengah kesibukan lembaga penyiaran TV meraih keuntungan iklan hingga menyisipkan iklan komersial dalam program berita, pada sisi lain lembaga penyiaran TV melupakan kewajiban untuk menayangkan iklan layanan masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator sampai saat ini juga belum pernah melakukan penegakan terhadap aturan yang telah dibuat. 

Pasal 60 ayat (1) pada PKPI tentang Standar Program Siaran (SPS) dengan tegas menyebutkan bahwa Program siaran iklan layanan masyarakat wajib disiarkan di lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari seluruh waktu siaran iklan niaga per hari. Sedangkan ayat (2) menyatakan Program siaran iklan layanan masyarakat wajib disiarkan di lembaga penyiaran publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh waktu siaran iklan per hari.

Aturan terkait kewajiban penayangan iklan layanan masyarakat juga telah dilengkapi dengan sanksi. Sanksinya tertuang dalam pasal 83 PKPI tentang SPS, dimana disebutkan Lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari seluruh waktu siaran iklan niaga per hari, setelah mendapat teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali, dikenai sanksi administratif berupa denda  administratif untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan untuk jasa penyiaran televise paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).Hubungan simbiosis antara jurnalisme dan kelayakan komersial harus dikelola dengan hati-hati untuk menjaga integritas dan kredibilitas penyiaran berita di era digital.

Iklan telah menjadi bagian yang semakin tidak terpisahkan dari program siaran berita TV, dengan strategi penempatan yang semakin kreatif untuk menarik perhatian penonton. KPI melalui Sekolah P3SPS sebenarnya telah melakukan sosialisasi yang berkesinambungan dalam upaya mengingatkan lembaga penyiaran terhadap aturan yang ada, khususnya terkait prinsip penyiaran iklan. Monitoring dan evaluasi yang mesti dilakukan KPI kemudian adalah memastikan bahwa P3SPS itu dijadikan pedoman oleh lembaga penyiaran dalam mengelola program siaran. Lembaga penyiaran dalam operasionalnya memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan P3SPS dan menjabarkan dalam buku putih yang menjadi pedoman bagi seluruh pekerja lembaga penyiaran.

Tantangan berikutnya KPI sebagai regulator harus melakukan evaluasi terhadap lembaga penyiaran TV yang berada dalam satu group, tetapi redaksi berita hanya ada di satu lembaga lembaga penyiaran. Fenomena itu memang merupakan bagian dari efisiensi, tetapi ini tidak menghadirkan keragaman informasi dan keragaman sudut padang. Selain tidak menghadirkan keragaman informasi, kondisi ini menunjukkan lembaga penyiaran tidak menghargai karya cipta atau hak cipta dari jurnalis di lapangan. Apalagi hasil liputan jurnalis hanya dibayar satu kali, sedangkan di siarkan di beberapa lembaga penyiaran yang masih satu group. Redaksi yang hanya dipusatkan di satu lembaga penyiaran dalam satu group juga bentuk pengingkaran dari proposal pengajuan ijin dan perpanjangan ijin yang dilakukan oleh lembaga penyiaran, karena saat pengajuan atau perpanjangan ijin lembaga penyiaran sebagai sebuah media dilengkapi dengan redaksi yang mengelola pemberitaan. 

Penulis : 
 

I Nengah Muliarta
Komisioner KPID Bali Periode 2014-2017
Koordinator AMSI Wilayah Bali, NTB dan NTT
Dosen Universitas Warmadewa-Denpasar, Bali

Editor: Robby

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami