Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan
Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
SE Gubernur Koster Soal Botol Plastik Dinilai Tak Berdasar Data Akurat
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 terus mengalir.
Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat dan berpotensi merugikan ekonomi rakyat kecil serta melemahkan industri daur ulang.
Tokoh masyarakat Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra, secara tegas menilai kebijakan ini justru menyasar pihak yang salah.
"Tujuannya memang bagus, untuk mendorong pengelolaan sampah yang baik. Tapi kenapa justru botol plastik jadi korban? Padahal, itu punya nilai ekonomi dan menjadi tulang punggung komunitas pemulung serta pelaku daur ulang," katanya.
Susruta menyoroti bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah plastik itu sendiri, melainkan perilaku manusia dalam membuang dan memilah sampah. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada mendisiplinkan masyarakat, bukan serta-merta melarang produk yang sebenarnya sudah mempunyai sistem ekonomi sirkular yang berjalan.
"Botol PET itu dipungut karena bernilai. Tapi sampah multilayer seperti sachet? Itu yang sulit dan tidak punya nilai ekonomi," tegasnya.
Mantan anggota DPRD Provinsi Bali itu juga mengingatkan bahwa dalam SE itu, larangan tidak hanya berlaku untuk air minum kemasan (AMDK) tetapi semua minuman berkemasan plastik, termasuk teh, kopi, yogurt, hingga minuman UMKM yang banyak dijual dalam botol kecil. Dia berkelakar, minuman-minuman tersebut justru malah memberikan penyakit bagi masyarakat.
"Kalau semua minuman botol dilarang, mau minum kopi harus 1 liter? Atau yakult 1 liter? Bisa mencret atau asam lambung kita semua," sindirnya.
Menurutnya, Gubernur Wayan Koster mengeluarkan kebijakan tidak berpijak pada riset yang memadai. Data dari organisasi lingkungan independen seperti Sungai Watch menunjukkan bahwa botol PET menyumbang sekitar 4,4 persen dari sampah plastik, jauh di bawah sachet yang mencapai 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen, dan plastik bening 16,2 persen.
“Kalau memang berdasarkan data, harusnya sachet yang lebih dulu dilarang. Tapi kenapa yang dikorbankan botol plastik yang justru lebih mudah didaur ulang?” tanya Susruta.
Sustruta mengingatkan Gubernur Koster agar tidak keras kepala dan mendengar suara masyarakat, bukan sekadar bersandar pada pendapat para ahli yang belum tentu independen. Menurutnya, sikap keras kepala hanya akan berujung pada gugatan di pengadilan nantinya mengingat SE hanya imbauan yang tidak memiliki dasar hukum.
"Kalau pemimpin hanya mendengar yang membuatnya senang, itu bukan kepemimpinan, tapi egosektoral,” ucapnya tajam.
Dia berpandangan bahwa kebijakan pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sampah sehingga mengkambing hitamkan botol plastik. Padahal, sambung dia, solusi yang lebih tepat adalah mengelola, bukan melarang; memberdayakan, bukan menghukum.
“SE ini lebih terlihat sebagai simbolisme politik ketimbang kebijakan berbasis data. Kita ingin Bali bersih, tapi bukan dengan cara mengorbankan ekonomi rakyat kecil dan melemahkan sistem daur ulang yang sudah berjalan,” tutupnya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim
Berita Terpopuler
Pelajar Tabanan Raih Prestasi Nasional FLS2N 2025, Bupati Sanjaya Bangga
Dibaca: 3441 Kali
Gudang BRI Ubud Ambruk Akibat Longsor
Dibaca: 3116 Kali
Turis Somalia Ngamuk Tuduh Sopir Curi HP, Ternyata Terselip di Jok Mobil
Dibaca: 3078 Kali
Anggota BNNK Buleleng Terciduk Konsumsi Sabu
Dibaca: 2865 Kali
ABOUT BALI
Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu
Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama
Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda
Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem