search
light_mode dark_mode
Dari Meja Perdagangan Digital ke Ambang Kehidupan

Minggu, 3 Agustus 2025, 12:39 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Dari Meja Perdagangan Digital ke Ambang Kehidupan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang pria 31 tahun dibawa ke rumah sakit setelah mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga. 

Di kamarnya ditemukan gunting berdarah, jeratan shower di leher, dan surat permintaan maaf untuk keluarga dan perusahaan. Ia menyatakan ingin disuntik mati karena merasa tidak sanggup menjalani hidup.

Ia mengalami tekanan psikologis berat akibat kehilangan uang dari trading dan judi online. Ia awalnya menggunakan uang pribadi, namun kemudian memakai dana proyek perusahaan hingga total mencapai Rp200 juta. 

Di awal bermain trading ia sempat mendapat keuntungan sampai Rp500 juta dalam sebulan yang dia rasakan menjadi pemicu untuk selalu bermain trading. Rasa bersalah dan ketakutan akan konsekuensi hukum memicu pikiran bunuh diri selama sebulan terakhir.

Ia mengeluhkan tidak bisa menikmati hidup, sulit bangun pagi, memaksa diri tidur malam, serta merasa marah dan kecewa pada diri sendiri. Nafsu makannya menurun, dan ia merasa sangat bersalah karena membebani keluarga. 

Ia tinggal sendiri di Bali tanpa dukungan sosial, dan tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapa pun. Ia juga memiliki riwayat dua percobaan bunuh diri sebelumnya saat tinggal di Bandung.

Antara investasi dan perjudian

Kasus ini mencerminkan konflik internal yang intens antara keinginan untuk memperbaiki kesalahan dan rasa bersalah yang terus menumpuk tanpa ruang ekspresi yang sehat. Dorongan untuk menghukum diri muncul sebagai bentuk autoagresi, diperkuat oleh super-ego yang sadistik, yang membuat pasien merasa pantas dihukum atas "dosa-dosa" seperti korupsi, perjudian, dan membebani keluarga. 

Mekanisme pertahanan seperti repression, denial, dan acting out tampak mendominasi, di mana emosi ditekan, kenyataan disangkal, dan konflik batin diekspresikan dalam bentuk percobaan bunuh diri.
 
Dalam era digital, batas antara trading (terutama instrumen seperti forex, kripto, dan saham derivatif) dan judi online menjadi semakin kabur. Aktivitas trading yang idealnya bersifat rasional dan berbasis analisis kini kerap dilakukan secara impulsif dan spekulatif, mirip dengan taruhan. 

Pada banyak kasus, termasuk dalam pasien ini, trading dan judi online menjadi lintasan yang tampak menjanjikan tetapi menyimpan potensi destruktif tinggi. Keduanya melibatkan harapan akan imbal hasil cepat, ekspektasi kemenangan, dan siklus menang-kalah yang sangat memengaruhi sistem reward otak. 

Ketika keuntungan diperoleh dalam jumlah besar dan waktu singkat, seperti yang dialami pasien (keuntungan 500 juta dalam sebulan), otak mengalami pelepasan dopamin dalam kadar tinggi yang memperkuat dorongan untuk terus melanjutkan perilaku tersebut.

Secara neurobiologis, baik judi maupun trading spekulatif mengaktifkan jalur dopaminergik mesolimbik sebuah sistem reward yang juga terlibat dalam kecanduan zat. Rangsangan berupa kemungkinan kemenangan menciptakan euforia dan rasa kendali semu. Seiring waktu, sensitivitas sistem ini menurun, dan individu akan membutuhkan stimulus yang lebih besar untuk merasakan kepuasan yang sama (toleransi). 

Ketika pasien mulai mengalami kerugian, ia justru terdorong untuk meningkatkan intensitas dan nilai transaksi, sebuah pola klasik dalam gangguan adiktif.

Disregulasi dopamin ini juga berinteraksi dengan sistem serotonin yang mengatur suasana hati, impulsivitas, dan pengambilan keputusan. Ketika kedua sistem ini terganggu, individu cenderung membuat keputusan yang berisiko tinggi, impulsif, dan tidak rasional sekaligus mengalami gangguan kontrol diri. Dalam konteks stres kronis, sistem HPA axis juga aktif berlebihan, meningkatkan kadar kortisol dan memperburuk gejala depresi serta rasa putus asa.

Judi sebagai cermin luka batin

Secara psikodinamik, keterlibatan pasien dalam judi dan trading ekstrem dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi luka batin yang lebih dalam. Keberhasilan awal menciptakan rasa percaya diri semu dan menjadi substitusi dari pengakuan, penghargaan diri, dan validasi eksternal yang mungkin tidak pernah terpenuhi sebelumnya. Kemenangan menjadi cara cepat untuk menebus perasaan rendah diri atau kegagalan masa lalu.

Namun ketika kekalahan datang, terutama ketika menggunakan uang perusahaan dan melibatkan angka yang besar (hingga Rp200 juta), muncul perasaan bersalah, malu, dan takut yang intens. Super-ego pasien tampak sangat menghukum, menilai dirinya sebagai tidak layak, penuh dosa, dan pantas dihukum. 

Dalam situasi ini, judi bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi atau hiburan, tetapi menjadi arena tempat konflik batin diproyeksikan dan diselesaikan secara destruktif baik melalui pengulangan siklus kegagalan maupun melalui upaya menghancurkan diri sendiri.

Keterlibatan dalam judi dan trading ekstrem juga berkaitan dengan kondisi sosial dan eksistensial pasien. Hidup sendiri di Bali, jauh dari keluarga dan tanpa dukungan sosial, memperbesar rasa isolasi dan kehampaan. Dalam ruang sunyi itu, aktivitas online menjadi pengisi kekosongan dan satu-satunya sumber keterlibatan emosional walau semu. 

Pasien tidak memiliki orang yang bisa diajak berbagi rasa takut dan beban moral. Ia tidak pernah bercerita kepada keluarga atau sahabat, dan ketika kenyataan tidak lagi bisa dihindari, satu-satunya jalan keluar yang dia pikirkan adalah kematian.

Pernyataan “apa saya tidak bisa disuntik mati saja” bukan sekadar ekspresi keputusasaan, tetapi juga menunjukkan keterputusan total dari harapan, nilai hidup, dan rasa kebermaknaan. Ia mengalami apa yang disebut sebagai kekosongan eksistensi diri, di mana hidup kehilangan arah dan masa depan menjadi beban tak tertanggungkan. 

Dalam hal ini, trading dan judi menjadi awal dari pencarian makna yang salah arah, yang pada akhirnya mempercepat kehancuran psikologis dan spiritual.

Rasa bersalah yang melekat

Pasien tidak hanya merasa bersalah karena perbuatannya (menggunakan dana perusahaan), tetapi juga merasa bahwa kesalahan itu tidak mungkin dimaafkan baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Rasa bersalah ini berubah menjadi keyakinan bahwa dirinya pantas dihukum dan tidak layak untuk diberi kesempatan kedua. Dalam konteks ini, bunuh diri menjadi semacam hukuman final yang dia berikan pada dirinya sendiri.

Kemenangan besar di awal saat trading membuatnya merasa berharga dan hebat. Namun ketika semuanya runtuh, begitu pula identitas yang dibangun di atasnya. Ia merasa gagal sebagai individu, sebagai pekerja, dan sebagai anak. Identitasnya tidak fleksibel dan tidak memiliki fondasi psikologis yang kuat, sehingga ketika satu aspek hidupnya hancur (keuangan), seluruh harga dirinya ikut runtuh. Ia tidak bisa melihat nilai dirinya di luar keberhasilan atau kegagalan finansial.

Seiring waktu, pasien tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan rasa kendali atas hidupnya. Ia tidak bisa membalikkan keadaan, tidak mampu mengembalikan uang, tidak tahu bagaimana menghadapi hukum, dan merasa tidak ada jalan keluar. Ketika seseorang kehilangan kendali dan tidak lagi melihat harapan, maka bunuh diri seringkali muncul sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa bukan karena ingin mati, tetapi karena tidak tahu bagaimana harus hidup.

Sebagai orang yang terdidik dan berasal dari latar budaya yang mungkin menjunjung tinggi harga diri dan martabat, tindakannya menggunakan uang perusahaan dan berjudi menciptakan tekanan moral dan rasa malu yang luar biasa. Ia merasa telah mencoreng nilai-nilai keluarganya dan membebani mereka. Dalam masyarakat yang cenderung menghakimi, rasa malu bisa menjadi lebih menghancurkan daripada rasa bersalah, dan dalam beberapa budaya, rasa malu ekstrem berkontribusi signifikan pada dorongan bunuh diri.

Yang membuat pasien begitu rapuh bukan karena satu peristiwa besar, melainkan karena akumulasi rasa gagal, rasa malu, kesepian, dan kehilangan makna hidup yang tidak tertampung oleh dukungan sosial maupun struktur psikologis internal. Ia tidak hanya kehabisan uang, ia kehilangan pegangan, identitas, dan kepercayaan bahwa hidupnya masih bisa dipulihkan. Inilah yang membuat pikiran bunuh diri bukan sekadar reaksi emosional sesaat, tetapi representasi dari kehancuran eksistensi diri yang mendalam.

Menemani mereka yang kehilangan makna

Kasus ini memperlihatkan bagaimana trading dan judi online dapat menjelma menjadi sumber destruktif yang kompleks, menggerus aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual seseorang. Aktivitas ini tidak bisa dipandang semata sebagai kesalahan ekonomi atau gaya hidup impulsif, melainkan sebagai gejala dari persoalan internal yang jauh lebih dalam.

Langkah awal yang paling penting adalah membangun aliansi terapeutik yang kuat. Pasien perlu merasakan bahwa ada orang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, memahami tanpa buru-buru memperbaiki. Validasi terhadap rasa bersalah, malu, atau keputusasaannya menjadi dasar pemulihan. Ia perlu diyakinkan bahwa kesalahan tidak menghapus seluruh nilai kemanusiaannya, “Kamu masih manusia, dan manusia bisa jatuh, tapi kamu juga berhak untuk bangun.” 

Untuk bangkit, ia perlu merasa bahwa hidupnya masih berarti meskipun ia telah gagal. Ia tidak butuh jawaban instan, tapi butuh ruang, waktu, dan seseorang yang bersedia berjalan bersamanya, bukan di depannya atau di belakangnya. Ketika ia mulai merasa didengar, dihargai, dan diberi kesempatan untuk bernapas tanpa penghakiman, maka proses penyembuhan telah dimulai. Setiap kemajuan perlu diapresiasi dan dibingkai sebagai bukti bahwa ia mampu bangkit dan ia tidak sendirian dalam menanggung semuanya. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami