Komposter Bag, Cara Praktis Atasi Sampah Organik di Rumah
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Belakangan, jagat maya di Pulau Bali riuh rendah oleh pro kontra terkait pengolahan sampah, khususnya pasca penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung bagi sampah organik.
Kondisi ini sempat memunculkan pemandangan sampah bertumpuk di ruas-ruas jalan Kota Denpasar. Padahal, sampah organik jika dikelola dengan baik justru mendatangkan manfaat.
Hal ini diungkapkan warga Denpasar, Gde Wirakusuma, pada Kamis (14/8). “Sampah organik jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan kompos yang bisa menjadi bahan penyubur tanaman,” ujarnya.
Menurutnya, bahan dari alam akan kembali ke alam tanpa menimbulkan bau atau pemandangan kurang sedap. Ada berbagai pilihan pengolahan sampah organik yang dikenal dengan teba modern atau teba vertikal, mulai dari buis beton, tong komposter, tabung pipa, lubang biopori, hingga komposter bag.
“Mulai dari berbahan buis beton, tong komposter, tabung pipa komposter serta lubang biopori termasuk komposter bag,” terangnya.
Wira sendiri memilih komposter bag, kantong berbahan terpal plastik mirip drum besar dengan tutup di atas dan bukaan di bawah. Alat ini dinilai mudah, murah, dan efektif, terutama di rumah berhalaman terbatas seperti perumahan perkotaan dengan luas lahan 1 are atau kurang.
Komposter bag berkapasitas 200 liter hanya memerlukan landasan 50 cm x 50 cm dengan tinggi 102 cm, mampu mengolah sampah rumah tangga dalam jangka panjang. “Saya sudah menggunakan selama 1 tahun lebih dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik,” tegasnya.
Harganya terjangkau, sekitar Rp 30.000–Rp 60.000. “Tinggal beli online dan langsung pasang, sudah bisa digunakan untuk mengolah sampah,” jelasnya. Tanpa perlakuan khusus, sampah daun dan dapur langsung dibuang ke dalam bag, dan dalam 2–3 bulan sudah terbentuk kompos.
Booster cairan pengompos dan ecoenzyme bisa mempercepat proses. “Tinggal ambil dari bukaan di bagian bawah, tidak perlu tenaga dan waktu yang lama,” kata warga Br Tangguntiti, Kelurahan Tonja Denpasar Utara ini.
Ia menggarisbawahi prinsip sederhana pengolahan sampah rumah tangga: “Yang terbuat dari alam (organik) kita olah dengan komposter agar menjadi pupuk yang dikembalikan ke alam, sedangkan sampah anorganik yang berbahan pabrik kita kembalikan ke pabrik untuk diolah kembali (recycle) melalui bank sampah,” jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya sejak 2018, komposisi sampah rumah tangga terdiri dari 50–60 persen organik, 30–40 persen anorganik, dan 5–10 persen residu seperti tisu, slip belanja, cotton bud, popok, pembalut, dan kapas. “Jika kita bisa mengelola sampah dengan baik di rumah tangga dan hanya membuang residu ke TPA, tentu beban TPA akan semakin ringan,” tambahnya.
Pengelolaan sampah berbasis rumah tangga akan lebih efektif jika dibarengi pengurangan sampah sekali pakai. “Caranya dengan selalu membawa kemasan makanan dan minuman pakai ulang seperti rantang, meal box, tumbler, serta tote bag kain saat ke luar rumah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 membatasi penggunaan plastik sekali pakai, sedangkan Pergub Nomor 47 Tahun 2019 mengatur pengelolaan sampah berbasis sumber, diperkuat Instruksi Gubernur Nomor 8324 Tahun 2021.
“Kedua peraturan ini sebenarnya ingin mengajak masyarakat untuk mengolah sampah agar mandiri dan tidak berdampak negatif pada lingkungan,” tegasnya.
Menurutnya, pengelolaan sampah yang buruk akan merugikan alam, masyarakat, dan pariwisata Bali. “Bali adalah pulau kecil dan sebagian besar perkonomian kita bertumpu pada sektor pariwisata,” ujarnya. Jika sampah anorganik seperti plastik, kaleng, dan kaca mengotori laut, sungai, sawah, atau hutan, maka akan menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri.
“Mari sayangi Bali, sayangi alam dan lingkungan maka alam dan lingkungan akan menjaga kita,” pesannya.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/rls