Dampak Sosial Flu Burung Lebih Besar
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, GIANYAR.
Dampak sosial akibat maraknya flu burung di Bali lebih besar daripada masalah kesehatan itu sendiri. Sebab masalah ini berdampak pada pariwisata, ekonomi, sosial, dan dampak berantai lainnya.
Demikian dikatakan dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Gusti Ngurah Mahardika pada diskusi di Yayasan Mitra Bali di Lodtunduh, Ubud, Sabtu (1/9) kemarin.Menurut Mahardika, Bali merupakan etalase Indonesia, sehingga apa yang terjadi di Bali juga menjadi perhatian negara lain terhadap Indonesia.
Namun, lanjutnya, kondisi itu jadi semacam dilema. Sebab, karena besarnya pengaruh kasus flu burung itu, pemerintah Bali terkesan masih menutup-nutupi. Mahardika, yang telah meneliti kasus flu burung sejak 2004 ini, mengaku pernah menyampaikan hasil penelitiannya bahwa Bali rentan mengalami pandemi flu burung.
Namun, ketika menyampaikan hasil penelitian tersebut, Mahardika justru menuai kritikan dari berbagai instansi pemerintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali."Ada yang bilang hasil penelitian saya tidak validlah, ada yang bilang saya hanya cari masalahlah. Padahal saya hanya menyampaikan kebenaran akademis tapi kok dibawa-bawa ke masalah politis, " kata Mahardika.
Dalam penelitian yang dilakukan pada 2004 itu, Mahardika menemukan beberapa daerah di Bali memang rentan akan wabah flu burung seperti Jembrana, Buleleng, dan Klungkung. Meski demikian, Bali secara umum juga berpotensi terkena flu burung karena wilayahnya yang kecil, serta banyaknya penduduk Bali yang memelihara hewan ternak seperti unggas dan babi.
Setelah berselang tiga tahun, hasil penelitian itu baru terbukti. Dari dua orang yang positif flu burung, keduanya meninggal. "Artinya, tingkat kematian flu burung di Bali sudah mencapai seratus persen. Padahal, di Indonesia secara umum hanya 70 persen, "kata penemu virus flu burung pada babi ini.
Kalau tidak mendapat perhatian serius dan cepat, Mahardika khawatir kasus itu akan berimbas pada bidang sosial lain seperti ekonomi, khususnya pariwisata yang dimana menjadi faktor paling vital di Bali. Hal ini pernah terjadi di Bali pada tahun 1918-an ketika terjadi apa yang disebut sebagai gering agung (wabah,red.).
Pada saat itu Bali turut mengalami pandemi flu di Eropa yang menewaskan hingga 50 juta orang sedunia. "Jika tidak ditangani secara benar-benar, maka tidak mungkin hal yang sama juga terjadi di Bali,"lanjutnya.
Reporter: bbn/ctg