search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Walhi: Indonesia Jangan Jadi Penjual Hutan
Minggu, 25 November 2007, 15:03 WITA Follow
image

Beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Kerangka Perubahan Iklim atau United Nation Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) di Nusa Dua Bali nanti tidak lebih hanya forum seremonial untuk meneguhkan dominasi negara-negara maju terhadap negara berkembang.

 


Karena itu, Indonesia pun tidak memiliki banyak pilihan untuk bersikap. “Pemerintah Indonesia terlalu pragmatis,kata Pantoro Kuswardono, Koordinator Kampanye Climate Change Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Denpasar pada 24 November lalu.


Tori, panggilan akrab Pantoro, menyampaikan hal tersebut pada workshop Meliput Isu Perubahan Iklim yang diadakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute pada 24-25 November. Workshop yang diikuti sekitar 20 wartawan media lokal dan nasional tersebut diadakan di Desa Budaya Kertalangu Denpasar Timur.



Menurut Tori, berdasarkan informasi yang didapat dari tim Menteri Lingkungan Hidup, pemerintah Indonesia sendiri akan lebih banyak bicara tentang uang dalam konferensi yang diadakan pada 3-14 Desember tersebut. Delegasi pemerintah Indonesia tidak banyak membahas masalah penurunan emisi sebagai jalan keluar terjadinya pemanasan global. Namun lebih pada apa yang bisa didapat Indonesia secara ekonomi dalam konferensi tersebut, kata Tori.

Dalam konferensi yang diikuti sekitar 180 negara tersebut, kata Tori, ada empat isu besar yang sebenarnya akan dibawa Indonesia. Antara lain penurunan emisi, transfer teknologi, adaptasi, dan clean development mechanisme (CDM). Tapi pemerintah Indonesia sepertinya akan fokus pada upaya jual beli karbon,lanjutnya.

Dari situ, kata Tori, akan banyak proyek yang bisa diperjualbelikan. Misalnya pelestarian hutan yang nantinya akan dikapling oleh negara-negara penghasil emisi. Jadi hutan bukan lagi milik masyarakat setempat tapi seolah-olah milik negara maju yang sudah membayar konsekuensi pembuangan emisi mereka,ujarnya. Parahnya lagi, harga hutan itu sangat murah. Hanya US $ 5-20 per hektar. Kalau dirupiahkan, Rp 5 rupiah per meter persegi.

Karena itu kita akan menyuarakan bahwa atmosfir bukan barang dagangan. Jadi tidak semua orang punya hak untuk memperjualbelikan. Sebab perdagangan karbon adalah perdagangan hak mengemisi orang, kata Tori.

Aktivis Walhi ini memberikan contoh. “Misalkan, kita berada di ruang kosong, ada orang merokok cerutu ketika asap sudah banyak. Terjadi jual beli emisi, bahwa perokok itu yang kebetulan kaya raya akan terus merokok dan membayar orang lain untuk tidak merokok dengan syarat dia diperbolehkan untuk terus merokok. Ini yang akan didesakkan negara emitor terbesar Amerika di Nusa Dua nanti,katanya.



Menurut Tori, perubahan iklim sering dilihat sebagai masalah lingkungan semata. Padahal harus dilihat ada konteks politik ekonomi di belakangnya. Ada model ketidakadilan yang tumbuh berkembang selama hampir 4-5 abad. “Industrialisasi itu beralas darah. Ini akar cerita perubahan iklim,katanya. Global Warming juga takkan terjadi secara mendadak, dampaknya akan perlahan.

Reporter: bbn/ctg



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami