search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Paruman Sulinggih se-Kota Denpasar : Pura Subak Jadi Keberlanjutan Budaya Agraris
Kamis, 22 Juni 2017, 11:00 WITA Follow
image

ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Paruman Sulinggih se-Kota Denpasar kembali dilaksanakan pada Rabu (21/6) di Pura Kemuda Sari, Desa Pekraman Denpasar yang kali ini membahas “Pura Subak Sebagai Pusat Budaya Agraris Untuk Ajeg Bali”. 
 
Parum menghadirkan pembicara diantaranya Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba, Wakil Walikota Denpasar I.GN Jayanegara, didampingi para camat serta tokoh masyarakat setempat.
 
[pilihan-redaksi]
Wakil Walikota Denpasar I.GN Jayanegra mengatakan pembahasan Pura Subak menjadi pembahasan penting dalam paruman kali ini. Hal ini tak terlepas dari Pura Subak sebagai salah satu potensi kebudayaan yang patut untuk dilestarikan. 
 
“Di sinilah petunjuk para Sulinggih akan menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Kota Denpasar dalam menentukan kebijakan terkait pelestarian Pura Subak di Kota Denpasar,” ujar Jayanegara.
 
Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba dalam paparannya mengemukakan tentang budaya agraris di Bali sangat menjunjung harmonisasi melalui filsosofi Tri Hita Karana atau Tri Mandala dimana Pura Subak dapat dijadikan tempat sosialisasi keberlanjutan budaya agraris. 
 
"Kata kunci pembangunan pertanian yang dikembangkan saat ini adalah pembangunan  akrab lingkungan , pemberdayaan petani melalui pertanian kerakyatan dan agribisnis yang produktif. Pertanian kerakyatan penting dikembangkan karena lebih berpihak kepada pelestarian lingkungan sejak berabad- abad lalu,” ujar Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba.
 
Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba dalam paparannya menjelaskan mengenai kebudayaan Agraris dengan konsep- konsepnya, Filosofi Tri Hita Karana, Kaitan antara Subak, Petani dan Pariwisata. Pura Subak merupakan tempat memuja Betara Sri atau Shang Hyang Sangkara.
 
"Harus ada Bhisama atau keputusan untuk melestarikannya diantaranya seperti cara menyelamatkan luas baku sawah yang masih ada, proteksi jual beli sawah untuk komoditas bisnis, pemberian kewenangan pada Kelian Subak untuk rekomendasi boleh atau tidaknya menjual sawahnya, penetapan Perda pajak  tinggi kepada pembeli sawah, dan membebaskan pajak pada petani pemilik sawah yang merangkap menggarap sawahnya," lanjutnya. 
 
Ketua Panitia Paruman Sulinggih I Wayan Meganadha mengatakan, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, Subak serta Pura Subak yang dimiliki dapat dikelola oleh warga. 
 
“Budaya bali sejatinya bersumber dan dibangun dari budaya agraris atau di Bali jamak dikenal sebagai Subak. Untuk itulah keberadaan Pura Subak dan fungsinya penting untuk dilestarikan,” ujar Meganada.
 
Dari hasil Paruman Sulinggih se-Kota Denpasar ini dipastikan bahwa Pura Subak yang kurang memiliki lahan memadai tidak didukung tenaga pangempon yang cukup, pemeliharaannya akan diserahkan ke Pemerintah Kota sedangkan status Puranya dapat dialihkan menjadi Pura Swagina. [rls/dps/wrt]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami