search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional
Minggu, 11 November 2018, 09:09 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Polemik soal OTT Pungli prajuru adat di Pura Tirta Empul dan lainnya memang mengundang polemik. Saya sebut itu bagian dari gerakan melemahkan eksistensi Desa Adat. Tetapi Kapolda Bali sebut justru mengaku memperkuat Desa Adat. 

Banyak analisa hukum juga berseliweran di media sosial. Untuk menambah khasanah diskusi soal itu, saya juga buat sedikit tulisan semoga bisa sebagai bahan diskusi. Desa Adat/Desa Pakraman diakui sah di Republik ini bahkan secara khusus dilindungi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat pada Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI 1945. 
 
Pengakuan itu memang sangat penting dan menyadarkan semua pejabat negara yang diangkat sumpah harus menjalankan UUD NRI 1945 harus menghormati dan mentaatinya. Lalu ada pendapat dan pernyataan Desa Adat tidak boleh buat aturan sendiri harus ikut Hukum Positif termasuk Perda dan argumen lainnya. Logika ini tidak sepenuhnya benar. Masyarakat hukum adat berhak dan dilindungi untuk membuat melaksanakan dan menegakan hukum adat dengan syarat Sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip NKRI
 
Tegasnya: Negara mengakui serta menghormati kesatuan -kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945). Tegas dari ketentuan ini ada tiga sikap negara terhadap Desa Adat, yaitu Mengakui, Menghormati Desa Adat dan termasuk Hak-haknya. Pemahaman pengakuan menghormati dan Hak-hak secara hukum dan posisi di Konstirusi, dipahami sebagai tingkatan hukum  tertinggi di negara ini. 
 
Yang tidak boleh dilanggar oleh Desa Adat adalah prinsip NKRI dan itu berarti adalah prinsip konsensus dasar yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI itu sendiri. Oleh karenanya Desa Adat punya hak jalankan Awig-awig, Perarem dan keputusan adat lainnya sepanjang prinsip NKRI itu tidak dilanggar.  Desa Adat adalah subyek hukum yang sah sehingga padanya melekat semua hak dan kewajiban Subyek Hukum. 
 
Sama dengan individu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, PT, Yayasan dan lainnya adalah Subyek Hukum. Bahwa hukum Positif termasuk Perda, Pergub, Perwali, Perbup dan lainnya akan sangat ideal sesuai dan sejalan dengan keputusan Desa Adat. Tetapi kalau ada perbedaan maka itu ranahnya adalah sengketa konflik norma. Sehingga harus diuji materi atau diuji ke peradilan bila ada sengketa ketentuan hukum.
 
Sifat Hukum Adat di Desa Adat sifatnya lex spesialis terbatas, yaitu dibatasi oleh wilayah, orang dan jenis kegiatannya. Sebagai contoh, hak atas tanah dalam hukum nasional menurut UUPA mengenal Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan lainnya untuk status kepemilikan tanah. Di Bali dikenal juga ada Tanah Laba Pura, Laba Desa, Tanah Ayahan Desa dan lainnya. Tidak ada hak-hak itu dalam hukum positif dan hukum nasional bukan berarti tidak sah dan tidak berlaku. 
 
Kenapa..? Karena negara mengakui hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat, termasuk Desa Adat di Bali. Contoh lain lagi, soal pengempon tidak dikenal sebagai status penguasaan terhadap wilayah atau barang dalam hukum nasional. Tetapi diakui ada dan dilindungi oleh hukum nasional. Jadi Saya ingin sampaikan,  jangan kalau tidak sesuai dengan Perwali, Perbup lalu ketentuan Perarem atau Awig-awig itu tidak sah. Itu keblinger namanya. 
 
Desa Adat bisa melakukan Uji Materiil untuk membatalkan semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah itu bila melanggar hak-hak adatnya seperti yang dimaknai UUD NRI 1945.  Jangan dimaknai Awig-Awig atau Perarem itu ilegal secara sepihak hanya karena tidak sesuai dengan ketentuan kekuasaan formal lokal, baik Gubernur, Bupati atau Walikota. Untuk di Bali, justru Desa Adat diperkuat dalam Perda tentang Desa Pakraman. 
 
Dan sesuai dengan hirarki Peraturan Perundang-undangan, maka susunannya adalah: UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Kabupaten Kota (Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Dari hirarki ini maka aturan yang namanya Permendagri, Pergub  Perwali dan lainnya adalah aturan teknis tambahan. Bukan masuk hirarki Peraturan Perundang-undangan. 
 
Bagi yang membantah, saya hanya katakan Saya adalah anggota Pansus RUU tersebut saat masih di DPR. Artinya saya ikut membuatnya. Penegasan kekuatan hukumnya pun bisa dibaca di Pasal 7 ayat (2) UU No 12 tahun 2011. Jadi saya sampaikan, kalau Desa Adat jalankan haknya maka itu diakui UUD NRI 1945. Tidak ada tudingan negara dalam negara. Karena hak-hak itu memang diberikan Republik ini kepada Desa Adat.  
 
Mengkriminalkan prajuru adat hanya untuk menggiring mereka mau kerjasama dengan PD Parkir atau dengan Badan usaha Pemda atau nama lainnya adalah cara yang tidak bermartabat. Seharusnya dibuat dengan setara sebagai sesama Subyek Hukum (Pemkot, PD Pasar, Pemkab dan Desa Adat sesama Subyek Hukum) yang bernegosiasi secara sehat. Masuknya rumpun keperdataan bukan pidana. 
 
Kalau dipaksakan masuk pidana itu namanya kriminalisasi. Kalau saya keras katakan langkah Saber Pungli bagian dari upaya  pelemahan Desa Adat maka karena alasan mendasar ini.  Contoh, kasus di Pura Tirta Empul lebih parah lagi kekeliruan aparat. Pura Tirta Empul diemong Desa Pakraman Manukaya Let sejak jaman dulu, lahannya pun masih berstatus milik mereka. Lalu mereka mengadakan MoU dengan Pemkab Gianyar. Perlu diingat, MoU itu ranah Perdata, yaitu perjanjian permulaan. Namanya perjanjian, mahasiswa semester satu sudah tahu itu urusan perdata. Kalau ada konflik ya sengketa perdata. Bukan jadi pidana OTT segala. Itu Abuse of Power.
 
Mereka punya tempat mereka yang kelola, kok dibilang ilegal. Dikaitkan dengan pemerasan, lalu logikanya dimana? Tamu datang sendiri, dikenakan tarif masuk mereka terima. Kalau tidak terima kan tinggal balik dan pergi.  Itu kan lahan wewidangan mereka. Bukan milik pemkab bukan juga milik Polisi. Kalau ada kerjasama, sekali lagi itu urusan perdata. Jangan gunakan jurus Nabok Nyilih Tangan untuk menekan perjanjian seperti mau menaikkan retribusi dan lainnya. Tidak sehat. 

Kok kesannya, sekali lagi kesannya, pemerintahnya mengkriminalkan warganya sendiri dengan gunakan tangan Saber Pungli. Tidak sehat kelola pemerintahan dengan cara begitu. Di UU No 6 tahun 2014 tentang Desa telah memberikan opsi Bab XIII khusus tentang Desa Adat. Itu artinya, terlepas dari kekhilafan pemimpin Bali sebelumnya yang takut mengakomodir Desa Adat, UU telah mengakui eksistensi Desa Adat. Mari jaga kehornatan Desa Adat dengan merawatnya, membinanya, memperbaikinya. 
 
 
Kalau ada yang harus disinkronkan lakukan dengan pembinaan. Kalau ada pembenahan lakukan pembenahan. Karena sejarah Desa Adat sejak ditata di era Mpu Kuturan dulu terus mengalami penyesuaian jaman. Janganlah bangga menjadi bagian yang mempermalukan Desa Adat. Jangan juga bangga melakukan teror psikologis terhadap prajuru adat seluruh Bali dengan sampling kasus saat ini. Bila adat lemah maka kita tidak akan melihat Bali yang Bali lagi. Tidak akan melihat indahnya pranata sosial dan hukum khas nusantara di republik kita ini.
 
Semoga diskusi ini bisa menjawab beberapa pendapat hukum yang berbeda pandangan dengan saya. Senang bisa diskusi. Walau saling jawab lewat medsos. Tapi inilah jaman now. Jaman komunikasi milenial dengan sistem virtual.
 
Salam perjuangan,
Gede Pasek Suardika

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami