search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Inflasi Denpasar Naik, Biaya Hidup Warga Makin Berat
Selasa, 1 Juli 2025, 19:54 WITA Follow
image

beritabali/ist/Inflasi Denpasar Naik, Biaya Hidup Warga Makin Berat.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Hidup di kota besar seperti Denpasar kini tak lagi semudah dulu. Di pertengahan tahun 2025, angka inflasi tahunan kota ini tercatat sebesar 3,30 persen. 

Angka tersebut menjadikan Denpasar sebagai kota dengan inflasi tertinggi kedua di Bali, hanya sedikit di bawah Tabanan (3,38%). Jika dibandingkan, inflasi ini jauh di atas rata-rata provinsi (2,94%) maupun Badung yang relatif lebih stabil (2,11%).

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia mencerminkan perubahan nyata dalam keseharian warga. Dari pasar tradisional hingga pusat perbelanjaan, harga-harga pelan namun pasti merangkak naik. Data BPS mencatat, hampir seluruh kelompok pengeluaran mengalami kenaikan. Tekanan paling besar datang dari kebutuhan sehari-hari: makanan, jasa rumah tangga, hingga layanan pribadi.

Ketika Belanja Harian Jadi Beban

Kenaikan harga makanan jadi dan barang kebutuhan pribadi menjadi beban tersendiri bagi banyak keluarga, terutama kelas menengah. Mereka yang bekerja sebagai pegawai, guru, ASN, maupun pelaku UMKM merasakan langsung dampaknya. 

Pengeluaran rutin membengkak, sementara penghasilan cenderung tetap. Banyak yang mulai mengencangkan ikat pinggang: menunda makan di luar, membatasi hiburan, hingga berpikir ulang membeli barang tahan lama.

Tekanan ini makin kuat karena bukan hanya makanan yang naik. Harga sewa rumah, misalnya, naik hingga 4,43 persen. Bagi warga yang belum memiliki tempat tinggal sendiri, ini menjadi pukulan tambahan yang menggerus daya beli secara perlahan namun konsisten.

Jika kelas menengah mulai tertekan, kelompok berpenghasilan rendah bahkan sudah berada di titik kritis. Pekerja informal, buruh harian, hingga lansia yang hidup sendiri mengalami tekanan berlapis. Sebagian besar pendapatan mereka habis untuk kebutuhan pokok. 

Jadi, saat harga beras, cabai, tomat, atau transportasi naik, tak ada banyak ruang untuk beradaptasi. Dalam kondisi seperti ini, risiko yang dihadapi bukan sekadar menurunnya konsumsi, tapi juga menurunnya kualitas hidup. Asupan gizi keluarga terganggu, anak-anak mungkin harus berhemat dalam urusan pendidikan, dan kesejahteraan sehari-hari terancam.

Sayangnya, tanpa perlindungan sosial yang adaptif dan intervensi harga yang tepat, tekanan ini bisa berkembang menjadi persoalan sosial yang lebih luas.

Sinyal Campuran bagi Dunia Usaha

Di sisi lain, inflasi yang masih berada dalam kisaran sedang (3–5%) bisa jadi sinyal bahwa daya beli belum sepenuhnya hilang. Ini bisa memberi sedikit harapan bagi pelaku usaha, terutama di sektor retail, hospitality, dan jasa makanan. Namun harapan itu juga dibayangi oleh meningkatnya biaya operasional yang tak mudah dihindari.

Banyak komoditas penyumbang inflasi seperti makanan siap saji, emas perhiasan, hingga jasa rumah tangga sulit digantikan atau ditekan biayanya dalam jangka pendek. Alhasil, beberapa pelaku usaha mulai menunda ekspansi, atau menaikkan harga sebagai jalan keluar, yang justru bisa memperparah tekanan inflasi.

Tiga Langkah Menyambut Juli

Juli dikenal sebagai bulan dengan potensi tekanan tambahan: libur sekolah, tahun ajaran baru, dan lonjakan konsumsi. Karena itu, langkah antisipatif sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah bersama seluruh pemangku kepentingan bisa mempertimbangkan tiga pendekatan strategis:

1. Menjaga pasokan pangan segar, terutama komoditas penyumbang inflasi bulanan seperti cabai, tomat, bawang, dan beras. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan petani lokal, penguatan pasar tradisional, serta pengawasan distribusi.

2. Mengendalikan tarif pendidikan dan transportasi, khususnya menjelang awal tahun ajaran baru. Subsidi terbatas atau insentif untuk sekolah swasta dan operator transportasi umum dapat menjaga keterjangkauan bagi warga.

3. Mendorong konsumsi produk lokal dan UMKM, baik dalam bentuk kampanye beli produk Denpasar maupun insentif bagi pelaku usaha kecil. Ini bukan hanya soal meredam inflasi, tapi juga menjaga perputaran ekonomi tetap hidup.

Menjaga Harapan di Tengah Tekanan

Inflasi adalah gejala yang kompleks. Tapi di balik kompleksitas itu, ada cerita tentang ibu rumah tangga yang harus menyesuaikan menu harian, tentang pekerja yang menunda keinginan membeli sepatu baru, hingga pelaku UMKM yang harus memutar otak agar usahanya tetap berjalan.

Karena itu, pengendalian inflasi bukan semata urusan angka dan grafik. Ia adalah soal menjaga keseimbangan, antara harga dan harapan, antara daya beli dan kepercayaan. Jika kebijakan yang diambil mampu menyentuh realita masyarakat, maka inflasi bisa dikendalikan, dan ekonomi Denpasar tetap kuat di tengah tantangan yang tak ringan.

Penulis

Dr. Andri Yudhi Supriadi
Kepala BPS Kota Denpasar

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami