search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Sampah yang Belum Dipandang Sebagai Berkah
Rabu, 20 Februari 2019, 08:27 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) menjadi permasalahan dalam beberapa minggu terakhir di Bali, khususnya di Denpasar. Penyebabnya katanya mobilitas armada yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung masih terhambat. Truk pengangkut sampah ke TPA belum lancar, akibat adanya alat berat yang rusak. 
 
[pilihan-redaksi]
Selain itu, luasan areal untuk membuang sampah di TPA semakin menyempit sejak adanya penataan dari pemerintah pusat. Tumpukan sampah yang menggunung di TPS membuat penduduk di sekitar TPS terusik dengan bau yang tidak sedap. Tumpukan sampah yang menggunung tersebut seakan menjadi bencana yang siap mengancam dan bukan sebagai sebuah berkah yang akan memberi manfaat jika cerdas mengelola.
 
Sampai saat ini hanya segelintir orang yang memandang bahan buangan rumah tangga atau yang dikenal dengan sampah sebagai sebuah berkah. Pemulung menjadi salah satu kelompok yang dipandang rendah yang telah mampu memandang sampah sebagai berkah. Walaupun dipandang sebagai kelompok dengan pendidikan rendah dan tanpa keahlian namun pemulung yang mampu melihat nilai ekonomi sampah. 
 
Berbeda kemudian dengan kelompok kreatif yang dengan kesadaran lingkungan dan kemampuan melihat nilai ekonomi memanfaatkan sampah menjadi bahan baku kreativitas, sehingga mampu mengolah bahan buangan menjadi bahan bernilai ekonomis. Bagi pemulung dan kelompok kreatif, sampah adalah bahan baku yang melimpah dan tersedia secara gratis. Dalam perkembanganya kini juga mulai muncul kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk bank sampah sebagai upaya mengurangi bahan buangan yang harus berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
 
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali sebelumnya sempat merilis jika produksi sampah di Bali mencapai 12.000 kubik per-hari.  Hampir 70 persen dari jumlah sampah tersebut merupakan sampah organik dan 30 persen sampah anorganik. Putu Dian Paramitha Dewi, I Wayan Suarna dan I Wayan Budiarsa Suyasa dalam sebuah artikel berjudul “Potensi Energi Listrik Yang Dihasilkan Dari Emisi Gas Metana di TPA Suwung Provinsi Bali” yang dipublikasikan dalam Ecotrophic, Volume 11, Nomor 2 Tahun 2017 menuliskan jika Volume sampah yang masuk ke Tempat pembuangan akhir Suwung tahun 2016 mencapai 1.296.438 m3 dan didominasi oleh sampah organik (78,1%). 
 
Dimana sampah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang memiliki bentuk gas metana yang menyebabkan suatu awal masalah multi-dimensi, masif dan kompleks. Dalam artikelnya, para peneliti Universitas Udayana tersebut juga menuliskan bahwa besarnya energi listrik yang dapat dibangkitkan dari emisi metana di TPA Suwung adalah mencapai 6,66 MW. Hasil penelitian ini juga memberi petunjuk jika sampah dikelola dan gas metan yang dihasilkan mampu dimanfaatkan maka berkah berupa energi listrik dapat dinikmati. 
 
Berbicara terkait pengelolaan sampah maka yang sering menjadi topik adalah rendahnya kesadaran masyarakat, baik dalam hal kesadaran membuang sampah pada tempatnya hingga rendahnya kesadaran untuk mengolah sampah yang dihasilkan. Bahkan menumpuknya sampah dan kelebihan daya tampung TPA selalu yang menjadi kambing hitam adalah rendahnya kesadaran masyarakat, padahal disisi lain sering muncul keluhan dari masyarakat akan keterbatasan ketersediaan tempat sampah. 
 
Dalam pasal 7 poin d Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa Gubernur mempunyai tugas memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Tentu penyediaan sarana dan prasarana ini dalam upaya mempermudah masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sampah. Jika sarana dan prasarana pendukung saja tidak tersedia secara memadai maka akan sulit membangun kesadaran masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sampah. 
 
Dalam perda pengelolaan sampah terutama pasal 21 juga tercantum kewajiban kabupaten kota. Poin a disebutkan bahwa kabupaten/kota wajib melakukan pengangkutan sampah dan poin b disebutkan bahwa kabupaten/kota wajib menyediakan alat angkutan sampah yang terpilah, aman bagi kesehatan dan lingkungan. Kenyataanya yang sering ditemui cenderung sampah yang sudah terpilah kemudian tercampur dalam pengangkutan ke TPS atau TPA. Apabila pemerintah provinsi dalam hal ini gubernur dan pemerintah kabupaten gagal melaksanakan kewajibannya adakah sanksinya? Mengingat jika menengok pasal 38 dalam perda pengelolaan sampah terdapat pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang yang membuang sampah tidak pada tempatnya.
 
Swakelola sampah menjadi salah satu upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, namun implementasi swakelola harus sesuai dengan konsep dasar. Swakelola harus benar-benar melibatkan masyarakat dari proses pengurangan, penggunaan kembali hingga pengolahan sampah menjadi produk yang memberi nilai ekonomis. Jangan sampai kata swakelola sebatas label pada kendaraan pengangkut sampah, tetapi hanya memindahkan atau mengangkut sampah dari rumah penduduk untuk dibawa ke TPS. 
 
Ketika swakelola sampah hanya sebatas program mengangkut dari rumah penduduk ke TPS maka hal ini sama artinya mengajarkan sesuatu yang tidak benar kepada masyarakat. Dalam setiap sosialisasi terkait pengelolaan sampah masyarakat selalu direkomendasikan untuk kegiatan memanfaatkan kembali, mengurangi dan melakukan daur ulang. Dalam melakukan daur ulang masyarakat selalu diminta untuk melakukan pengomposan, tetapi sanyangnya pelatihan pengomposan sangat jarang diberikan. Belum lagi pengomposan metode apa yang harus digunakan juga tidak jelas. 
 
Walaupun selama ini terdapat kecenderungan pelatihan pengomposan yang diberikan adalah pengomposan dengan metode anaerob. Padahal pengomposan anaerob akan menghasilkan gas metan yang apabila tidak dimanfaatkan akan memberi kontribusi bagi pemanasan global. Selain itu gas metan juga memiliki daya rusak 20-30 kali lebih buruk dari CO2. Jadi perlu langkah-langkah yang terkoordinasi dan berkesinambungan agar upaya pengelolaan sampah dapat dilakukan secara optimal serta memberikan manfaat juga secara maksimal. 
 
[pilihan-redaksi2]
Sampah selama ini juga menjadi momok bagi pariwisata Bali, dimana tumpukan sampah dikhawatirkan akan membawa citra buruk bagi pariwisata Bali. Sampah seakan-akan menjadi bahaya dan menjadi ancaman bagi bisnis pariwisata. Permasalahalanya evaluasi dan perbaikan manajemen pengelolaan sampah tidak berlangsung secara berkelanjutan. Solusi yang sering digunakan dalam menangani permasalahan sampah selama ini yaitu mengangkut dan membuang ke TPA. Sedangkan penyelesaian di TPA dilakukan dengan menumpuk dan kemudian menimbun dengan tanah.
 
Sepertinya dalam pengelolaan sampah harus belajar dari masyarakat Desa Tangkas, Klungkung yang berhasil mengelola sampah desa melalui TPS 3R Darma Winangun. Melalui TPS 3R Darma Winangun, masyarakat Desa Tangkah tidak hanya mengubah sampah organik menjadi kompos dan pellet, tetapi juga menjadikan sebuah bisnis yang memberi nilai tambah secara ekonomi. TPS3R Darma Winangun yang diidirikan tahun 2015 juga telah mengembangkan sebuah paket wisata lingkungan atau paket wisata yang mengajak wisatawan untuk terlibat dalam menjaga kelestarian dan kebersihan. Kegiatanya meliputi memungut sampah, terlibat dalam proses pengomposan hingga penanaman pohon. Wisata lingkungan ini cenderung diminati oleh wisatawan yang berasal dari Jerman, Scotlandia, Cina, Swiss dan Amerika.
 
Penulis:
 
I Nengah Muliarta
Pemimpin Redaksi Beritabali.com

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami