search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Setahun, P2TP2A RS Sanglah Tangani 41 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Selasa, 31 Desember 2019, 13:45 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Selama tahun 2019, Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,Denpasar, Bali telah menangani sebanyak 41 kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di lingkup rumah tangga. 

[pilihan-redaksi]
Mengingat kasus kekerasan bagai fenomena gunung es, setiap rumah sakit juga ikut berperan dalam melaporkan kasus kekerasan yang ditangani bila mencapai kasus berat. Selama 2019, sebanyak 41 kasus tersebut di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan dewasa sebanyak 11 kasus dan dua di antaranya meninggal dunia, pemerkosaan 5 kasus, kekerasan seksual pada anak 21 kasus, dan kasus kekerasan pada anak 4 kasus. 

Semua kasus tersebut sudah diteruskan ke jalur hukum.  Jumlah kasus berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun 2018, di mana mencapai 58 kasus. Pada tahun 2018 tercatat, kasus KDRT terhadap perempuan dewasa sebanyak 16 kasus, pemerkosaan 22 kasus, dan kekerasan seksual pada anak sebanyak 20 kasus.

Kasus yang ditangani oleh P2TP2A adalah kasus 'domestic violence' atau kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini dianggap kasus yang masuk kotak pandora (Pandora Box Cases). Artinya penuh misteri sehingga kasusnya seperti fenomena gunung es, yang susah sekali untuk diungkap. Kesulitan tersebut dilatarbelakangi tiga hal yakni hubungan pelaku dengan korban bersifat spesifik, seperti antara ayah dengan anak, suami dengan istri, dan sebagainya. 

Kedua, tempat kejadiannya adalah di lingkup rumah tangga yang sifatnya privasi hal tersebut disampaikan, Ketua P2TP2A RSUP Sanglah, dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K) DFM, Senin (30/12) di Denpasar.

“Korban juga enggan sekali melaporkan diri, sehingga terjadi lingkar kekerasan (cycle of violence). Ada siklus kekerasan yang terjadi, yang pada akhirnya pelaku akan minta maaf. Maka korban tidak akan pernah melaporkannya. Sesuai fenomena gunung es, yang kita dapatkan di rumah sakit pasti jauh lebih kecil dibandingkan kejadian di masyarakat,” katanya.

Dalam pelaporan kasus kekerasan, sesungguhnya setiap rumah sakit wajib melaporkan dugaan kekerasan berdasarkan pola luka dari hasil pemeriksaan medis yang dilakukan. Mekanismenya, setiap rumah sakit wajib melaporkan kasus kekerasan jika terjadi pada anak-anak. Sedangkan untuk kasus kekerasan yang menimpa korban dewasa, pelaporan tergantung pada derajat lukanya, yakni sampai mengakibatkan luka berat hingga mengancam nyawa.

“Kalau derajat lukanya ringan atau sedang, itu masuk delik aduan. Jadi korban sendiri disarankan melapor. Sedangkan kalau yang dialami luka berat, itu RS yang melaporkan. Derajat luka berat itu ada standarnya, di antaranya sampai mengancam nyawa, menyebabkan kecacatan menetap, menghilangkan salah satu fungsi panca indera, kelumpuhan, dan kelainan mental lebih dari 4 minggu,” ucapnya.

Selama ditangani di RSUP Sanglah, beberapa bentuk kekerasan yang dialami korban seperti kekerasan fisik, seksual, psikologis, penelantaran, pengekangan, perendahan martabat, serta eksploitasi atau perdangangan manusia. Penyebab kekerasan tidak hanya karena kondisi ekonomi dan sosial, tapi juga faktor biologis korban seperti keterbelakangan mental termasuk pengekangan yang membuat istri bergantung pada suami.

“Bukan semata-mata karena masalah ekonomi sosial saja, tapi juga disebabkan kompleksitas masalah hidup. Juga ketidakmengertian, terutama orangtua kadang-kadang kurang mengerti batas antara kekerasan dan pendidikan. Kadang-kadang kekerasan itu dianggap sebagai mendidik,” ujarnya.

Ada juga disebabkan karena faktor biologis korban, seperti anak yang cacat, kelainan mental, atau istri yang bergantung. Kasus kekerasan anak dari Karangasem yang sampai patah tulang, itu memang memiliki keterbatasan karena mengalami osteogenesis imperfecta, jadi mudah sekali mengalami patah tulang.

"Karena kondisi itu akhirnya anak tersebut mengalami kekerasan. Sedangkan ada juga suami secara sengaja membuat istri bergantung sama suami. Misalnya pengekangan atau tidak membolehkan istri bekerja, sehingga mau tidak mau istri sangat bergantung pada suami," bebernya.

Dibentuknya P2TP2A didasari ketentuan perundang-undangan dan standar JCI maupun KARS. Pelayanan yang diberikan bersifat komprehensif yakni pencegahan dengan bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan LSM serta penegak hukum dalam penanganan korban. Selain itu juga penanganan kasus sebagai kuratif dan rehabilitatif dengan kunjungan rumah. 

“Korban memerlukan penanganan kebutuhan medis (perawatan dan pengobatan), kebutuhan psiko social (penanganan kejiwaan),dan kebutuhan mediko legal untuk membuktikan secara hukum kasus KDRT yang dialaminya, seperti alat bukti visum et repertum dan di luar rumah sakit memberikan saksi ahli di pengadilan,” pungkasnya.

Reporter: bbn/aga



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami