search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Barisan "Pecalangan" dan Politik Pengawasan
Minggu, 25 Oktober 2020, 20:45 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Barisan pecalangan, pecalang, turun tangan mengamankan Bali. Demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang tergabung dalam Bali Tidak Diam pada Kamis, 22 Oktober 2020, dikawal berlapis oleh lapisan Polwan (Polisi Wanita), Dalmas, dan pecalang. 

Rombongan Pecalang tersebut diangkut oleh dua bus dan kemudian bergabung dengan aparat keamanan (Polisi, TNI, dan Satpol PP) untuk “mengamankan” demonstrasi. Kehadiran pecalang mengagetkan sekaligus mengundang pertanyaan besar. 

Pecalang terjun langsung mengamankan demonstrasi merujuk pada keputusan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tentang pembatasan kegiatan unjuk rasa di wewidangan (wilayah) desa adat Bali selama gering agung Covid-19. Prajuru desa adat diinstruksikan oleh MDA untuk melarang kegiatan unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 100 peserta dengan ujung tombak para pecalang, krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu di wilayahnya. 

Aparat kepolisian mengungkapkan memang melibatkan pecalang karena mengedepankan kearifan lokal dengan melibatkan masyarakat adat yang mempunyai satuan pengamanan tradisional untuk menjaga wilayahnya. Tujuan utamanya adalah menjaga Bali tetap aman.

Pelibatan pecalang dalam pengamanan demonstrasi mengundang kompleksitas tersendiri. Tapi bukan itu saja persoalannya. Pelibatan “polisi adat” Bali ini terkesan berlebihan meski berargumentasi mengedepankan kearifan lokal. Persoalannya, kearifan lokal menjadi terkesan tidak arif lagi karena terdistorsi dan menjadi alat dari berbagai macam kepentingan. 

Kita bisa berdebat tanpa ujung untuk soal ini. Tapi, izinkan saya mengurai sejarah panjang pelibatan pecalang dalam berbagai kontestasi kepentingan yang bertujuan mulia untuk menjaga citra Bali yang aman, damai, dan harmonis. 

Namun, di balik tujuan mulia menjaga citra Bali tersebut, barisan pecalang dan milisi atau ormas-ormas yang terbentuk menyusulnya, menghadirkan dua problematik yang meresahkan. Pertama, elastis serta cairnya pecalang atau barisan jasa pengamanan lainnya membuatnya terombang-ambing diantara berbagai macam kepentingan yang memerlukan jasanya. 

Negara, birokrat, politisi, investor, bahkan sesama rakyat sendiri. Kedua, politik pengawasan terhadap gerak-gerik dan kritik dari rakyat terhadap kekuasaan termanifestasi secara horizontal. Artinya, negara dan kekuasaan menggunakan tangan-tangan masyarakat (milisi) sipil, tentu dengan berbagi dalih (menjunjung kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat, kedamaian dan keselamatan rakyat, dan yang lainnya), agar terjadi fragmentasi dan konflik horizontal di tengah masyarakat. 

Siasat ini mudah ditebak agar negara dan apparatus-nya hanya menjadi dalang dan “cuci tangan” di tengah polemik dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat.   

Politik Pengawasan

Sejarah pengawasan terhadap rakyat Bali menggunakan instrumen barisan milisi, telik sandi (mata-mata) terhadap tingkah polah rakyat memiliki rekam jejak panjang. Pecalang salah satunya dianggap sudah menjadi bagian dari kebudayaan Bali sejak zaman kerajaan dengan nama-nama yang berbeda seperti sikep, dolap atau sambangan

Entah ini diada-adakan, atau dikait-kaitkan, yang jelas pecalang mulai naik daun sejak menjadi Satgas (Satuan Tugas) pengamanan Kongres PDIP pada 1999 (Santikarma, 2004; Suryawan, 2015). Bagi para keluarga penyintas dan survivor Tragedi 1965 di Bali, satuan pecalang membawa ingatan mereka terhadap barisan hitam tameng, pasukan jagal yang membunuh orang Bali yang di-PKI-kan.      

Pecalang dalam pengamanan Kongres PDIP 1999 menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik anatara relasi politik dan kebudayaan. Ini karena kemudian dalam konteks politik, keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan yang dimunculkan oleh partai politik. 

Pasca Bom Bali 2002 dan 2005, pecalang mengambil bagian penting dalam fragmen razia, penggerebekan, atau “penertiban“ penduduk pendatang. Aksi sweeping tersebut dirasa penting untuk memulihkan keamanan dan kedamaian Bali pasca Bom Bali 2002 dan 2005. 

Masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu), nyame dauh tukad, nak Jawa, yang lambat laun merebut akses ekonomi politik. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. 

Jauh sebelumnya, belum lekang dalam ingatan, kewaspadaan dan kesiagaan telah lama tumbuh subur di Bali. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali.

Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan logam emas simbol pretima (Dewa Hindu) yang berada di dalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? 

Setelah itu, muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan, kewaspadaan, dan pengawasan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil di seluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.

Politik pengawasan melekat kuat dalam kebudayaan Bali. Lebih daripada itu, politik pengawasan ini selalu berhasil untuk menentang gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: demi keamanan dan ketertiban Bali. 

Selain itu, menjaga Bali dari kehancuran (yang sayangnya selalu ditimpakan) yang disebabkan pihak “pihak luar“. Oleh sebab itulah gerakan kritis, demonstrasi, dan anarkisme bukanlah perilaku orang Bali. Orang Bali adalah para prajurit yang selalu nindihin (membela) agar Bali tetap ajeg (kuat, kokoh, stabil).  

Mengajegkan Bali bagi orang Bali adalah memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru di tengah transformasi sosial yang semakin mendesak. 

Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman didalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu

Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank dari kelompok Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana inilah kemudian melahirkan politik pengawasan bagi orang Bali sendiri. Pecalang menjadi salah satu radar pengawas yang disiapkan untuk mengawasi gerak-gerik orang Bali, apalagi para “pendatang”. 

Pentas yang kita saksikan beberapa hari lalu, saat satuan pecalang bahu-membahu bersama aparratus keamanan negara menjaga demonstrasi mahasiswa dan elemen rakyat, secara tersirat menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan, dan hak milik. Negara bekerjasama dengan “wajah-wajahnya” di tengah masyarakat mendominasi narasi (yang seharusnya) dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. 

Rambu-rambu diciptakan dan ditentukan mana yang “semestinya” dan yang mana “melanggar”. Tujuannya adalah mendisiplinkan orang Bali agar tampak tertib, penurut, manis dan menjadi pelayan budaya dan pariwisata yang baik. Maka lahirlah manusia Bali yang Sapta Pesonik, lingkungan yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah), agar nantinya dalam postcard pariwisata tampil wajah Bali yang murah senyum, ramah dan sopan santun.

I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).  

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami