Pengalaman Perjalanan Darat dari Jakarta ke Bali Tahun 1964 (1)
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Bulan Januari 1964, Horst Henry Geerken, seorang warga Jerman yang bekerja di perusahaan telekomunikasi Jerman, melakukan perjalanan darat dengan mobil dari Jakarta ke Bali. Tujuan akhir perjalannya adalah proyek pembangunan Bandara Tuban (Ngurah Rai) di wilayah Badung, Bali. Seperti apa pengalaman perjalanannya?
Dalam bukunya " A Magic Gecko" Henry menulis ia tiba di Jakarta tahun 1963. Januari 1964 ia harus melakukan perjalanan ke Bali untuk ikut dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Ngurah Rai yang saat itu disebut Bandara Tuban. Saat itu Bandara Tuban hanyalah sebuah landasan rumput sederhana bergelombang dan hanya sekali-sekali didarati oleh pesawat kecil. Presiden Sukarno ingin menjadikan bandara ini berstandar internasional untuk membuka Bali bagi pariwisata. Henry bertugas untuk menyediakan alat-alat yang berhubungan dengan telekomunikasi.
Bersama sopirnya, Henry pergi ke Bali dari Jakarta dengan mobil. Sebelum memulai perjalanan jauh ia melengkapi diri layaknya akan melakukan ekspedisi. Bagasi mobil penuh dengan berkaleng-kaleng bensin, sekaleng air, seprai, kompor kecil untuk merebus air minum dan menyikat gigi, potassium permanganate untuk mencuci dan membasmi kuman pada buah-buahan, obat-obatan, semprotan nyamuk, pembasmi semut, DDT untuk kutu dan lalat, lilin dan korek api, lampu petromaks karena sebagian daerah yang akan dilewati belum dialiri listrik, pisau, teh, gula, biskuit, kertas wc, alat jahit, handuk, dan sebagainya. Bagasi mobil penuh dan hanya tersisa ruang untuk koper.
Sopirnya, Sudjono, orang yang bisa dipercaya. Menurut Henry, caranya menyetir aman dan nyaman. Sebagian besar jalanan di pedesaan yang dilewati waktu itu sangat menyiksa karena penuh dengan lubang-lubang besar sehingga mobil berjalan sangat pelan. Per atau as patah sering sekali terjadi.
"Baru setelah Bandung kami mengambil istirahat pertama. Dengan suara keras, mobil Opel Admiral 2.8S berhenti dengan kasar di atas batu. Tangki bensin pecah dan bensin pun tumpah keluar mengaliri jalan,"tulisnya.
Sopirnya Sudjono berkata tidak apa-apa. Dia mengambil sebuah pisang yang masih mentah dari salah satu pohon yang tumbuh di sepanjang jalan. Pisang diremasnya dengan sepotong sabun sehingga menjadi seperti permen karet. Dengan "permen karet" tersebut dia memperbaiki tangki yang bocor. Tangki yang ditambal ini berhasil membawa mobil sampai di Bali dan kembali ke Jakarta. Mobil ini menempuh 3.000 kilometer dengan perbaikan yang diimprovisasi dan tidak menemukan masalah.
Sopirnya selalu berangkat pagi hari karena udara masih sejuk. Tentu saja mobil waktu itu tidak berpendingin AC.
"Paling lambat pukul lima kami berangkat sehingga saya bisa menikmati matahari terbit setiap hari. Mobil terkadang menabrak ayam yang banyak berkeliaran di jalanan.
Saya tidak mau ketinggalan matahari terbit di Jawa karena setiap hari seperti keajaiban. Pemandangan begitu indah dengan embun pagi yang masih menggantung, sawah membentang, dan pohon-pohon bambu dengan daunnya yang hijau. Sinar matahari pagi membuat pohon kelapa berkilau, warnanya hijau rimbun, membuat pagi cerah. Suasana pagi diselimuti kedamaianan dan kebahagiaan,"kenang pria yang tinggal di Indonesia selama 18 tahun.
Di sepanjang perjalanan, Henry melihat rumah-rumah sederhana yang terbuat dari gedek tersembunyi di balik pohon pisang dan pepaya yang tumbuh di bawah pohon kelapa. Di setiap desa, ia menemukan rumah dengan tanda palu dan arit merah yang mencolok. Partai Komunis Indonesia (PKI) waktu itu terorganisasi dengan rapi dan kantornya ada di mana-mana di seluruh negeri. Di sinilah anggota-anggota baru direkrut.
"Walaupun sopir saya menyetir sampai 10 jam sehari, pada hari pertama perjalanan saya ke Bali, kami hanya sampai di Cirebon di pesisir utara Jawa. Kondisi jalan sangat mengerikan, kadang hanya tanah berbatu dan kubangan yang harus diterjang oleh mobil kami,"tulisnya.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan ke Semarang menyusuri pesisir laut Jawa. Warna laut yang kehijau-hijauan berubah menjadi biru tua ketika bercampur dengan birunya langit. Di tepi laut selalu terdapat perkebunan kelapa yang daunnya melambai tertiup angin. Sepanjang perkampungan nelayan tercium bau khas campran ikan asin dan kopra.
Karena jalur antara Semarang dan Surabaya pada awal 1960-an tidak dapat digunakan akibat beberapa tanah longsor, kami harus berbelok ke arah selatan lewat Yogyakarta untuk sampai Bali. Dari Surakarta (Solo) ke Madiun, sopir mengambil jalan lewat desa di Pegunungan Sarangan. Setelah menginap di Sangangan, perjalanan dilanjutkan menuju kota Surabaya dan menginap di daerah Tretes. (bersambung ke bagian 2)
Reporter: bbn/tim